Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Penjelasan Doctrina
Cahaya lilin memantul tenang di permukaan topeng gelap itu, menciptakan bayangan tipis yang merayap pelan di sepanjang dinding. Udara di ruangan itu menggantung tanpa arah, seolah seluruh tempat dibangun bukan untuk kenyamanan, melainkan untuk menyimpan sesuatu—sebuah rahasia yang tak boleh menyentuh dunia luar. Dan dari balik topeng tak bernyawa itu, suara pria itu terdengar pelan, namun cukup jelas untuk meredam waktu. Ia tak butuh gema untuk menciptakan wibawa.
"Selamat datang, Maelon, di desa kecil kami," ucapnya seperti membaca dari kitab tua yang hanya terbuka ketika malam benar-benar dalam. "Dan selamat bergabung di Ordo Nirakarna."
Nama itu jatuh seperti bayangan yang telah lama menguntit dari balik punggungnya—asing, tapi terasa akrab, seperti bagian dari dirinya yang sudah menunggu ditemukan. Ia menatap pria bertopeng itu… dan tahu. Bukan dari wajah, bukan dari suara. Tapi dari cara ia duduk. Dari aura yang tak memaksa, namun memenjarakan. Seolah ini semua… memang sudah dirancang.
Pria itu. Yang menyebut namanya saat pertemuan pertama. Saat semuanya masih kabur.
Jeffrie Nova memecah ketegangan dengan suara ringan yang tak sepenuhnya santai. “Maelon, perkenalkan. Dia adalah Roy… Roy Envallen.”
Ia memberi isyarat. “Duduklah.”
Mereka pun duduk mengelilingi meja rendah di tengah ruangan yang memeluk keheningan. Lilin yang menyala membakar waktu seperti jam yang tak memerlukan detak.
Roy bersandar perlahan ke kursi yang berderit samar, lalu berkata, “Kau pasti punya banyak pertanyaan, bukan?” Nadanya netral—bukan karena bosan, melainkan karena sudah terlalu sering mendengarnya. Seperti seseorang yang siap mendengar segalanya, namun tak pernah memberi semuanya.
Ia menarik napas pelan, menatap api itu sejenak sebelum bertanya, “Bagaimana kau tahu namaku… sejak awal?”
Roy diam. Lalu menggeleng. Suaranya terdengar sedikit lebih berat, seperti menahan sesuatu di balik kata. “Keingintahuan bisa membunuhmu, Maelon. Demi kebaikanmu sendiri… aku tidak bisa menjawab itu.”
Ia menunduk, menggenggam jarinya. Ia tahu—tidak semua jawaban datang saat kau siap bertanya. Beberapa hanya muncul saat kau siap menanggungnya. Ia mendongak kembali.
“Apa… ini? Yang aku rasakan saat melawan mereka. Cahaya itu. Kekuatan ini… Apakah itu Aetheron?”
Roy tak menjawab. Hanya menoleh pada Jeffrie.
Jeffrie mengangguk pelan. “Itu adalah salah satu dari dua belas kekuatan… yang disebut Doctrina.” Pandangannya tajam. “Dan Aetheron—kekuatan dalam dirimu—adalah energi murni. Ia tidak berasal dari bentuk, emosi, waktu, atau substansi. Ia adalah nyala kehendak, tak terikat, tak terbendung.”
Aetheron. Nama itu menggema di dalam dirinya, seperti gema dari tempat yang pernah ia lupakan. Ruangan kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang menakutkan. Lebih seperti ambang pintu pertama dari dua belas yang tersembunyi—dan kini terbuka.
Roy mengangkat tangannya, seolah meraba sesuatu yang tak terlihat. Suaranya tetap datar, namun kali ini terdengar seperti serpihan pengalaman panjang yang tak pernah ia bagi.
“Ada dua belas kekuatan utama… Doctrina. Dua belas pilar dunia. Mereka berdiri dalam keseimbangan yang rapuh. Saling menolak, namun tak terpisahkan.”
Ia mengangkat dua jarinya.
“Velcras—penguasaan tubuh. Memadatkan otot, mempertajam refleks. Disiplin dan kendali jasmani.”
“Umbraweave. Bayangan. Gelap menjadi senjata, berjalan dalam celah keraguan.”
“Morteflux. Kematian dan jiwa. Mereka yang menyentuhnya… bisa bicara dengan yang mati.”
“Chronodein. Distorsi waktu. Memperlambat detik, mempercepat akhir.”
“Ignisthal. Api purba. Membakar dari akar realitas, bukan hanya daging.”
“Ferravox. Logam dan mekanika. Tubuh menjadi senjata. Dunia tunduk pada struktur mereka.”
“Vitravale.” Nada suaranya sedikit menegang. “Ilusi dan emosi. Meremukkan dari dalam, membuat kenyataan menjadi pertanyaan.”
“Aetheron.” Ia menatap Maelon. “Energi murni. Tanpa bentuk. Ledakan kehendak.”
“Vermireth. Binatang. Ikatan antara dominasi dan naluri.”
“Sanguira. Darah. Sumber kekuatan dan penderitaan.”
“Terraclysm. Tanah dan gempa. Amarah yang menghancurkan fondasi.”
“Dan terakhir…” Ia berhenti sejenak. “Nullis. Anti-kekuatan. Peniadaan. Kekosongan yang menelan segalanya.”
Keheningan yang datang setelahnya terasa seperti segel. Seolah hanya menyebut nama-nama itu sudah cukup untuk mengundang sesuatu.
Jeffrie, yang diam sejak tadi, berbicara pelan. “Dan setiap Doctrina memiliki dua belas tingkatan kekuatan. Lapsus. Bukan sekadar naik… tapi berubah.”
Ia menggambar lingkaran kecil di atas meja yang berdebu.
“Setiap Lapsus adalah luka baru dalam batinmu. Dunia dalam dirimu akan berubah, pecah, dan dibangun ulang.”
Dengan suara hampir seperti mantra, ia menyebut:
Reah – retakan pertama.
Drelm – getaran dalam daging.
Cirth – benturan kehendak dan kekuatan.
Vurn – pemusatan pada satu kesadaran.
Nethr – penajaman. Batas mulai kabur.
Astrin – perluasan kehendak.
Iskarn – pemusnahan bentuk lama.
Drevaal – manifestasi penuh.
Calvereth – penerobosan hukum.
Vaelthor – transendensi batas duniawi.
Nihclare – kekosongan.
Blasphoria – penistaan terakhir.
Roy tetap diam, lalu menambahkan pelan, “Tak semua yang mencapai Blasphoria… kembali dalam wujud manusia.”
Dan saat itu juga, Maelon sadar—apa yang ia tapaki bukan sekadar jalan kekuatan. Tapi jalan pengikisan. Jalan yang menanggalkan.
Cahaya lilin bergoyang lembut, memanjangkan bayangan di dinding tua. Api kecil di sudut ruangan sesekali berderak—napas terakhir dari dunia yang belum benar-benar mati. Dan Roy, masih duduk di sana, menunduk sedikit, seperti sedang mendengarkan sesuatu yang tak terdengar.
Maelon tak segera menjawab. Ia hanya duduk, menatap api yang kini seperti mata tua yang mengamati dalam diam. Ada sesuatu dalam ruangan ini—bukan hanya sejarah, tapi gema dari keputusan yang tak bisa dibatalkan. Seperti seseorang yang masuk ke ruang pengakuan, tapi keluar dengan beban tambahan yang tak bisa ditebus oleh doa.
Roy menoleh sedikit, masih dalam postur yang nyaris tak berubah sejak awal. “Kami tidak meminta sumpah, Maelon,” katanya tenang. “Karena kau tidak bisa mengingkari sesuatu yang sudah menjadi bagian dari dirimu.”
“Ordo Nirakarna bukan kelompok,” lanjut Jeffrie pelan, seolah menyambung dari celah antara kalimat. “Bukan organisasi. Kami… adalah luka.”
Maelon menoleh padanya. “Luka?”
Jeffrie tersenyum samar. “Kami semua pernah menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak disentuh. Mengetahui sesuatu yang seharusnya dilupakan. Dan dari sanalah kekuatan ini—Doctrina—mulai tumbuh. Tapi itu bukan anugerah. Itu penanda. Bahwa kita telah melewati batas yang tidak bisa dibalikkan.”
Ia menunjuk dada Maelon perlahan. “Kau sudah melewatinya.”
Suasana terasa lebih berat dari udara. Ada sesuatu yang perlahan menekan dari balik dinding, seperti dunia luar tak ingin percakapan ini terjadi. Tapi Roy tak terpengaruh. Ia membuka sebuah kotak kayu kecil di atas meja, di dalamnya ada segumpal batu kristal yang tampak nyaris tak nyata—seperti serpih dari mimpi buruk yang membatu.
“Kau ingin tahu bagaimana kami tahu namamu?” katanya tanpa menatap Maelon. “Karena ini.” Ia menyentuh batu itu. “Aetheron meninggalkan jejak pada waktu, pada tempat, dan… pada mereka yang cukup rusak untuk mendengarnya.”
Batu itu berdenyut—pelan, tapi hidup. Bukan seperti cahaya, tapi seperti ingatan yang masih berdarah.
“Dan kau muncul dalam ingatan itu,” bisik Roy. “Bahkan sebelum kau menyentuh kekuatan itu. Karena Doctrina bukan sesuatu yang dipilih. Ia memilih. Dan kadang, bahkan sebelum tubuhmu cukup kuat… jiwamu sudah ditandai.”
Maelon menatapnya tanpa berkata. Ia tahu kalimat itu tak hanya menjelaskan… tapi memperingatkan.
Jeffrie bersandar ke belakang, seperti hendak menjauh dari pembicaraan yang terlalu dekat dengan inti. “Kami punya waktu. Tapi tidak banyak. Dunia di balik tembok sudah mulai retak. Kau melihatnya, bukan? Makhluk-makhluk yang tak seharusnya muncul. Pengguna kekuatan yang seharusnya tak bersatu. Mereka semua… bergerak.”
Roy menambahkan, “Dan kau, Maelon, adalah bagian dari alasan mereka bangkit.”
Sunyi. Seperti lubang tanpa dasar. Seperti kebenaran yang terlalu dalam untuk dimuntahkan sekaligus.
“Apa maksudmu?” tanya Maelon akhirnya, pelan.
Roy menatapnya untuk pertama kalinya benar-benar dalam. “Karena dalam setiap generasi, selalu ada satu yang tidak seharusnya ada. Satu jiwa… yang membawa celah dalam keseimbangan dua belas Doctrina.”
Dan cahaya lilin itu, entah kenapa, tampak bergoyang sedikit lebih keras.