Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 : Wanita Penjual Sapu Tangan
Malam belum terlalu larut, ketika Jagat memutuskan berjalan-jalan seorang diri.
Suntuk. Itulah yang Jagat rasakan. Dia bosan karena terjebak rutinitas. Ternyata, memfokuskan diri pada pekerjaan, tak membuat hidupnya lebih baik.
Empat tahun berlalu tanpa terasa. Umur Jagat terus bertambah. Ketampanan, kegagahan, serta gelimang harta tak membuatnya dapat menyembunyikan rasa sepi yang terus mengiringi.
Ya. Jagat masih terpenjara dalam cinta masa lalu yang tak tergapai.
Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas. Jagat menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Dia melihat ke sebelah kanan, di mana ada taman dengan air mancur warna-warni.
Jagat menggumam pelan, lalu melepas sabuk pengaman. Dia memutuskan keluar dari mobil. Ketika hendak menutup pintu, tiba-tiba ada seorang wanita menghampirinya.
“Aku menjual sapu tangan sulam. Lihatlah, Pak. Ada banyak pilihan menarik. Semuanya sangat cantik. Cocok sekali diberikan kepada pasangan Anda,” ucap wanita berpenampilan sederhana itu.
Jagat yang awalnya hendak ke taman air mancur, terpaksa mengurungkan niat. Dia menatap wanita penjual sapu tangan itu, lalu beralih pada barang yang ditawarkannya tadi.
“Maaf. Aku bukan penyuka sapu tangan,” tolak Jagat.
“Anda bisa memberikan sapu tangan ini untuk pasangan, ibu, atau saudara perempuan.” Wanita itu membuka lipatan sapu tangan, kemudian memperlihatkannya pada Jagat. “Lihatlah. Cantik, kan? Aku sendiri yang membuat sulaman ini.”
Jagat tidak segera menanggapi. Sesaat kemudian, pengusaha tampan itu menggeleng pelan, lalu pergi meninggalkan si wanita penjual sapu tangan.
Jagat duduk di undakan anak tangga, di antara beberapa orang yang tengah menikmati indahnya malam dengan suguhan air mancur warna-warni. Namun, yang Jagat lakukan justru berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Perhatian pria tampan itu tertuju pada wanita penjual sapu tangan di seberang jalan. Entah mengapa, tiba-tiba ada rasa iba melihat wanita itu berdiri di pinggir jalan, dengan tatapan penuh harap. Paras cantiknya terlihat lusuh. Dia tampak kelelahan.
Jagat memicingkan mata, dengan tatapan terus tertuju pada si wanita yang berjalan gontai meninggalkan tempatnya menjajakan sapu tangan tadi. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba wanita itu jatuh pingsan.
Orang-orang yang kebetulan ada di sana, langsung mengerubungi wanita itu. Begitu juga dengan Jagat, yang bergegas menghampiri. Dia menyibakkan kerumunan, hingga berdiri paling depan.
Jagat memeriksa denyut nadi wanita itu. “Di mana klinik terdekat?” tanyanya.
“Sekitar 10 meter dari sini ada tempat praktik dokter, Pak. Tapi, pada jam seperti ini pasti sudah tutup.”
“Tidak apa-apa. Kita coba ke sana.”
Jagat membopong wanita itu, mengikuti orang yang menjadi penunjuk jalan. Mereka memasuki gang dengan ukuran tidak terlalu lebar, hingga tiba di depan tempat praktik dokter yang dimaksud. Benar saja. Jam praktik sudah .berakhir.
Namun, Jagat terus memencet bel, hingga ada seorang wanita paruh baya yang muncul dari dalam rumah.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya wanita paruh baya itu. Akan tetapi, sepertinya dia tidak membutuhkan jawaban. “Kenapa dia?” tanyanya, tanpa membuka pintu gerbang.
“Izinkan kami masuk,” pinta Jagat. “Wanita ini tiba-tiba pingsan di tepi jalan. Tolong periksa dia. Semoga tidak ada yang serius,” jelasnya.
“Sebentar. Saya harus melapor kepada pak dokter terlebih dulu.”
“Apa? Yang benar saja?” Jagat melayangkan tatapan protes. “Maksud Anda, kami dibiarkan menunggu di luar seperti ini?”
“Anda datang di luar jam praktik. Kami sudah tutup dua jam yang lalu, Pak.”
“Ini darurat\, Bu!” tegas Jagat. “Saya membawa wanita ini kemari karena jaraknya lebih dekat dibanding ke klinik lain atau rumah sakit ____”
“Ini sudah prosedur kami, Pak,” sela wanita paruh baya itu. “Silakan tunggu sebentar.”
Jagat berdecak kesal. Dia harus menahan bobot si wanita lebih lama.
Beberapa saat kemudian, wanita paruh baya yang tadi bicara dengan Jagat, muncul dari dalam rumah. “Maaf, Pak. Sekarang sudah lewat dari jam praktik. Pak dokter sangat lelah. Silakan bawa ke klinik lain saja,” ucapnya.
“Apa?” Jagat menatap tak percaya. “Saya sudah menunggu selama 12 menit 19 detik. Enteng sekali Anda mengatakan itu,” protesnya penuh penekanan.
“Saya hanya menyampaikan pesan dari pak dokter”
“Seperti inikah pelayanan yang dia berikan? Bagaimana jika ada orang yang membutuhkan bantuan medis darurat?”
“Kami memiliki jam praktik ____”
“Keadaan darurat tidak bisa diperkirakan akan datang jam berapa!” sela Jagat tegas. Tak dirasakannya lagi beban berat karena terus membopong wanita yang masih dalam keadaan pingsan itu.
Jagat makin mendekat ke pintu gerbang. “Dia seorang dokter? Seperti itukah cara kerjanya? Sungguh mengecewakan.”
Jagat menoleh pada plang yang terpasang di depan rumah, lalu tersenyum samar. “Saya tidak akan memohon. Namun, jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada wanita ini …. Sampaikan pada pak dokter, dia mendapat salam dari Jagat Hartadi. Pemilik Niskala Madyantara Abadi.” Jagat langsung berbalik setelah berkata demikian.
“Tunggu, Pak,” cegah wanita paruh baya itu, seraya membuka pintu gerbang. “Silakan masuk,” ucapnya.
Jagat mengembuskan napas pelan dan dalam, lalu berbalik. Tanpa banyak bicara, dia membawa wanita itu menuju bangunan tidak terlalu besar, yang merupakan tempat praktik dokter.
“Pak dokter akan segera kemari,” ucap wanita paruh baya itu, seraya berlalu.
“Astaga. Ada apa dengan negara ini?” gumam Jagat, seraya membaringkan wanita penjual tisu itu di ranjang pemeriksaan.
“Nama Anda sangat ditakuti, Pak,” ucap pria yang mengantar Jagat ke sana.
Jagat tersenyum kecil. “Itu nama teman saya,” ujarnya enteng, lalu kembali fokus pada wanita yang terbaring dengan mata terpejam rapat.
Tak berselang lama, dokter yang ditunggu muncul. Dia menyuruh Jagat dan pria penunjuk jalan, agar keluar dari ruang pemeriksaan.
Jagat menurut. Dia menunggu di luar dengan sabar, meskipun sempat terbesit pikiran konyol dalam benaknya. Entah mengapa, Jagat harus melakukan itu terhadap seseorang yang tidak dikenalnya sama sekali.
Namun, satu sisi hati pria tampan 41 tahun tersebut mengatakan sebaliknya. Jagat adalah seorang dermawan, yang mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dengan sesama. Itu dibuktikan dengan berdirinya beberapa yayasan sosial, yang berada di bawah naungan perusahaannya.
Beberapa saat berlalu. Dokter keluar dari ruang periksa. Dia langsung menghampiri Jagat, yang berdiri setelah melihat kemunculannya.
“Anda mengenal wanita itu, Pak?” tanya sang dokter, yang masih terbilang muda.
“Tidak,” jawab Jagat singkat. “Wanita itu pingsan di pinggir jalan. Saya hanya berniat menolongnya,” terang pria dengan T-shirt lengan panjang tersebut.
Sang dokter manggut-manggut pelan. “Saya sudah melakukan pemeriksaan awal. Tapi, saya menyarankan agar wanita itu melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke dokter spesialis, untuk mengetahui dan mendapat penjelasan secara detail,” jelasnya.
“Apa yang terjadi?”
“Wanita itu sedang hamil.”