Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Tidak Manis
Selama beberapa hari terakhir, langkah kaki Gilang terasa lebih ringan saat melewati koridor lantai lima. Entah sejak kapan, ia mulai memperhatikan meja kerja di pojok dekat rak moodboard tempat Tari duduk. Mungkin sejak presentasi pertamanya. Mungkin sejak ia menyadari bahwa gadis itu, dengan polosnya, tidak datang membawa ambisi besar—hanya keyakinan kecil yang tumbuh perlahan.
Tari tidak sempurna. Tapi dia berbeda.
Gilang mulai mempertimbangkan hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya: bagaimana jika ia menyerah? Bukan kalah, tapi berhenti menilai Tari sebagai ancaman. Mungkin, ia bisa benar-benar membimbingnya. Mungkin, ia bisa melepaskan sedikit dendam yang selama ini tertahan.
Hari itu, ia berjalan menuju ruang rapat eksekutif tempat Bu Tirta biasa menerima tamu khusus. Rapat reguler sudah selesai, dan Gilang hanya ingin menitip beberapa laporan pada sekretaris. Tapi ketika hendak masuk, ia mendengar dua suara yang dikenalnya berbicara pelan.
Ia berhenti di ambang pintu yang tak tertutup sepenuhnya. Cahaya dari dalam merembes lewat celah, dan suaranya cukup jelas untuk didengar tanpa niat mencuri dengar.
“Jadi, Tari adalah jawabannya?” tanya suara laki-laki—tenang, berat, milik Pak Buldan, CFO yang telah bersama perusahaan sejak awal.
“Ya,” jawab Bu Tirta dengan nada penuh keputusan. “Bagaimanapun dia darah dagingku. Aku ingin melihat bagaimana perkembangannya.”
Gilang menegang.
“Lalu bagaimana dengan Gilang?” lanjut Pak Buldan. “Anak kesayanganmu itu?”
Hening sebentar. Lalu suara itu terdengar lagi, pelan tapi menusuk.
“Entahlah. Biarkan dia hidup sesuai pilihannya. Aku tak peduli. Aku sudah memberinya hidup yang layak dan dia sudah membayarnya dengan membantuku. Setelah Tari cukup pantas… aku akan menyuruh dia pergi dari rumah.”
Gilang nyaris tidak bernapas. Tapi telinganya menangkap kata terakhir yang membuat perutnya serasa ditinju.
“‘Habis manis sepah dibuang?’” tanya Pak Buldan, mungkin setengah bercanda.
Dan Bu Tirta menjawab dengan tawa ringan, “Tidak. Dia bahkan tidak manis.”
Gilang memejamkan mata.
Ia mundur perlahan, meninggalkan tempat itu dengan napas berat dan langkah kaku. Tangannya mengepal di saku celana. Hatinya kosong, tapi juga mendidih.
Semua pikirannya tentang Tari—tentang kemungkinan untuk berdamai, untuk bekerja sama, bahkan kemungkinan bahwa ia bisa menyukai gadis itu tanpa motif tersembunyi—semua remuk oleh satu kenyataan:
Ia tak pernah menjadi apa-apa.
Baginya, Bu Tirta adalah segalanya. Ibu, guru, dan tempat berpulang. Ia rela mengorbankan hidupnya, masa mudanya, bahkan hubungannya sendiri dengan dunia luar demi membuktikan bahwa ia layak. Tapi pada akhirnya, ia hanya alat.
Yang bisa ditinggalkan kapan saja.
Dan Tari… Tari adalah pengganti yang sah. Pewaris yang asli. Darah yang dianggap berharga.
Wajah polos itu, senyum sopan, tatapan tulus setiap kali mendengar arahan—semuanya kini terasa seperti tamparan.
Malam itu, Gilang duduk di ruang kerjanya, menatap satu folder di laptop bertanda merah: Tari – Progress.
Jari-jarinya mengetik cepat. Ia membuat catatan baru:
Evaluasi rencana pembimbingan: Dihentikan.
Strategi: Reorientasi untuk uji kegagalan.
Target: Melemahkan kepercayaan tim, menurunkan performa ide, mengekspos kelemahan operasional.
Tujuan: Membuktikan bahwa Tari tidak cukup pantas, bahkan dengan darah bangsawan sekalipun.
Gilang menutup laptop dan kembali ke kamarnya malam itu dengan kepala penuh gemuruh. Ruangan yang biasanya jadi tempatnya merapikan pikiran, kini terasa terlalu sempit untuk menampung rasa kecewa, marah, dan luka yang tumbuh bersamaan.
Ia duduk di ujung ranjang, masih mengenakan kemeja putih yang belum sempat ia lepas. Matanya menatap dinding kosong di seberang tempat tidur. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, pikirannya tak bisa ia redam dengan logika.
Dia bahkan tidak manis.
Kalimat itu berulang kali memukul dadanya. Bukan karena ia berharap disanjung—ia sudah terbiasa hidup tanpa pujian. Tapi Gilang pikir, setidaknya ada penghargaan. Setidaknya, Bu Tirta menganggapnya lebih dari sekadar alat yang bisa disingkirkan setelah tidak dibutuhkan lagi.
Ia teringat masa kecilnya—datang ke rumah itu dengan tubuh kurus dan mata penuh ketakutan. Diperkenalkan sebagai anak asuh. Diberi kamar. Diberi pendidikan. Diberi kepercayaan.
Dan ia balas semuanya. Dengan kerja. Dengan kesetiaan. Dengan tidak pernah menanyakan kenapa ia tidak pernah dipeluk seperti seorang anak sungguhan.
Gilang mencengkeram kain tempat tidurnya. Rahangnya mengeras. Ia ingin membenci. Tapi tak bisa sepenuhnya.
Karena… sebagian dari dirinya masih ingin dimiliki.
Masih ingin diakui.
Lalu datang Tari.
Gadis dengan langkah ragu tapi mata yang jujur. Yang seharusnya menjadi target. Tapi selama dua minggu terakhir… perlahan membuatnya ingin mematahkan tembok di sekelilingnya.
Gilang teringat saat ia mengamati Tari mencatat dengan sungguh-sungguh, menunduk dengan hormat saat diberi arahan, dan tetap berani menyuarakan ide meski ia tahu belum punya pengalaman.
Ia teringat caranya berdandan: cukup anggun untuk dunia bisnis, cukup lembut untuk tidak kehilangan jati dirinya. Ia teringat caranya berbicara: tidak mencoba menarik simpati, tapi selalu berusaha memahami.
Dan lebih dari itu—Tari membuat Gilang merasa… dilihat.
Bukan sebagai penerus perusahaan. Bukan sebagai tangan kanan Tirtamarta. Tapi sebagai seseorang.
Apakah aku akan mengkhianati orang yang akhirnya melihatku?
Pertanyaan itu menggema keras.
Tapi ia tahu jawabannya. Ia tidak mengkhianati Tari.
Ia hanya memastikan tidak ada lagi yang menghancurkannya terlebih dahulu.
Karena satu hal yang ia pelajari dari hidup bersama Bu Tirta adalah: kelembutan hanya membuatmu lebih cepat dibuang.
Dan Gilang… tidak ingin dibuang lagi.