Mikayla adalah Perawat Gigi. Ia telah dikhianati oleh pacarnya sendiri yang berselingkuh dengan teman seangkatan perawat. Pacarnya adalah seorang anggota Polri. Namun cintanya kandas menjelang 2 tahun sebelum pernikahannya. Namun ia mengakhiri hubungan dengan pacarnya yang bernama Zaki. Namun disamping itu ia ternyata telah dijodohkan oleh sepupunya yang juga menjadi anggota Polri. Apakah ia akan terus memperjuangkan cintanya dan kembali kepada Zaki, atau lebih memilih menikah dengan sepupunya?
ikuti kisah selanjutnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesona Pandangan Pertama
“Ya Allah, aku bermimpi bertemu dengan dia lagi, mengapa dia selalu muncul dalam mimpiku akhir-akhir ini?” Mika pun terbangun dari tidur dan keringat yang sudah bercucuran lantaran selalu bermimpi dengan laki-laki b*rengsek yang hampir membuat hidup Mika hancur.
Ia mengambil air segelas yang sudah berada di meja kecil kamar kostnya,lalu ia minum dengan rakusnya.
Tampak terasa sunyi, ia melihat jam dinding masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Mika segera beranjak dari tempat tidurnya yang tidak terlalu besar, dengan ukuran single bed, hanya cukup untuk tidur satu orang saja.
Mika menuju toilet yang berada di dalam kamar kostnya itu, kamar kost yang tidak begitu besar namun tidak terlalu kecil juga.
Cukup nyaman bagi Mika seorang diri untuk melepas penat disaat ia lelah dengan rutinitas yang selalu bergelut dengan banyak pasien.
Sebagai kepala perawat gigi di salah satu klinik dokter gigi di Jakarta raya ini, cukup menguras tenaga Mika bahkan hampir membuatnya sering jatuh sakit karena tidak sempat untuk makan atau berisitirahat.
Sungguh melelahkan namun sangat mengasyikan, dengan perjuangannya kurang lebih empat tahun lamanya ia mengambil kuliah bidang keperawatan gigi.
*
Disepertiga malam ini, ia memanjatkan do’a dan ampunan kepada Allah.
Mika sangat rindu dengan kedua orang tuanya, ia rindu dengan adiknya.
Diusia yang sudah lumayan matang ini, ia pun masih saja melajang, ia belum ingin menikah.
Mika masih cukup trauma dengan kejadian yang terjadi sekitar lima tahun silam, mungkin hampir membuatnya frustasi gara-gara laki-laki b*rengsek yang sudah mengkhianatinya sewaktu Mika masih duduk dibangku kuliah.
Saat itu Mika berusia 20 tahun. Ya, Mika sedang kuliah hampir mendekati semester akhir.
Begitu banyak tugas-tugas praktek saat itu yang membuat Mika bersikap cuek pada lelaki b*rengsek yang tak lain pacarnya saat itu.
Laki-laki itu bernama Zaki, Zaki Wijaya. Ia kini telah menjadi anggota Polri.
Kala itu saat Mika dan Zaki masih berstatus pacaran, Zaki adalah kakak tingkat Mika. Dua tingkat diatas Mika.
Mika berpacaran dengan Zaki saat Mika baru mulai memasuki bangku kuliah pada akhir semester pertama.
Mika dikenalkan oleh kakak sepupunya yang kini telah menjadi anggota Polri juga.
Kakak sepupunya bernama Ali Abraham, ia sangat dekat sekali dengan Mika sedari kecil.
Mika selalu dijaga olehnya.
Ali sepupu dari keluarga Mamanya Mika, Mama Ali adalah kakak dari Mamanya Mika yang biasa Mika sebut tante.
Ketika itu, saat Mika berkunjung ke Semarang dengan keluarganya karena ada undangan pernikahan, mereka dengan tidak sengaja bertemu dengan Ali dan Zaki serta beberapa teman seangkatannya.
Entah bagaimana mereka bisa keluar dari Asrama Akpol.
Mika pun juga tidak tahu, apa memang disana ada jam istirahat untuk diperbolehkan keluar Asrama atau bagaimana, intinya Mika bertemu dengan Ali dan Zaki disebuah Kafe yang tak jauh dari Asrama Akpol itu.
Saat keluarga Mika sedang membeli oleh-oleh, Mika tetap berdiam diri disebuah Kafe.
Karena kaki Mika sudah cukup lelah, rasanya ia ingin sekali segera pulang ke Jakarta.
Saat Mika duduk sembari memainkan benda pipihnya, dengan tiba-tiba datanglah seseorang masih menggunakan seragam pendidikan dan menepuk pundak Mika dengan sangat kencang.
Plaaaakkkkkkkk!!!!
“Astaghfirullahaladzim, ya Allah siapa sih?” Teriak Mika sontak menoleh kearah yang telah menepuk pundaknya dengan sangat kencang.
“Hahahahaaaaaaaaa....” Tawanya sangat lepas dan diikuti oleh yang lainnya.
“Ya ampun, Bang Ali! Bang Ali sakit ini pundakku. Kelewatan sih, lihat itu jari-jari Bang Ali segede-gede jempol semua, kebayang sakitnya seperti apa ini pundakku. Pokoknya nggak mau tahu, Bang Ali harus tanggung jawab.” Mika merengek saking kesakitan.
“Ya Allah, segitunya sih adik sepupuku yang cantik dan imut ini.” Goda Ali sembari mencolek dagu lancip Mika.
“Ih, pegang-pegang.” Tepis Mika.
“Eh, kamu sedang apa disini? Kamu sendirian atau dengan siapa?”
“Dengan Mama, Tante Dian, dan Om Omar.”
“Dalam rangka acara apa datang ke Semarang? Pasti kangen sama abang ya?”
“Idih, kepedean. Hanya ada undangan pernikahan saja.”
“Oh, masih lama di sini?”
“Nanti sore juga mau balik.”
Ali pun mengangguk.
“Oh ya, kenalin nih bro. Ini adik sepupu gue Namanya Mikayla, cantik kan? Nggak jauh beda kan sama gue yang tampan ini?” Ucap Ali dengan pedenya mengenalkan Mika kepada teman-temannya.
“Mikayla."
"Mikayla."
"Mikayla.”
Mika mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan tiga orang teman yang Bersama dengan Ali.
“Zaki.”
“Danu.”
“Indra.”
Mika telah berkenalan dengan teman-teman Ali.
Mika memperhatikan sosok Zaki yang telah mencuri perhatiannya.
Dia tampan, gagah, tinggi, manis, dan sangatlah kriteria Mika.
Nampaknya, Mika tertarik padanya.
Apakah Zaki juga tertarik dengan Mika?
Entahlah! Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?
“Ya sudah, kami kembali lagi ke Asrama ya Mika, soalnya nggak bisa lama-lama keluar asrama nanti kena hukuman.” Ali membuyarkan lamunan Mika.
Mika pun mengangguk perlahan.
“Mika, titip salam untuk Mama dan Tante ya Mika, kalau nanti pulang ke Jakarta hati-hati dijalan, abang balik asrama dulu ya.” Ucap Ali mengulurkan tangannya untuk Mika cium punggung tangannya.
“Iya, Bang Ali.” Sahut Mika seraya mencium punggung tangan milik Ali.
Diikuti senyum para teman-temannya itu, belum sempat mereka bercerita lebih mendalam, mereka sudah kabur ke asrama.
Baiklah tidak apa, mungkin bisa dilain waktu.
***
“Mila, apakah alat-alat semuanya sudah disterilkan?” Ucap Mika kepada Mila, perawat baru yang sedang masa probation.
“Sudah, Kak.”
“Good Mila, ini tolong kamu letakkan dimeja dokter ya.” Mika memberikan Mila beberapa lembar Informed Consent untuk tanda persetujuan Tindakan medis nantinya.
“Oke, kak.”
“Thanks ya, Mil.”
Mila pun membalas senyuman Mika.
Mika melanjutkan untuk mengecek seluruh ruangan OP (ruangan praktek) untuk dipastikan apakah sudah ready atau belum.
“Kak, Handscoon kita tinggal 3 box, Kak. Boleh order lagi nggak, kak?” tanya Fatih pada Mika.
“Boleh, Tih. Tapi kamu list dulu saja ya, nanti ordernya barengan dengan yang lainnya, kebetulan, powerchain juga sudah mau habis.” Jawab Mika pada Fatih. Fatih perawat gigi juga.
“Baik, Kak.”
“Dona, Fahmi dan Ria apakah sudah datang Tih?”
“Sudah, kak. Dona dan Ria mereka sedang sarapan di Pantry, kalau Fahmi sepertinya sedang ngecek kompresor.”
“Oh, baiklah. Kamu sudah sarapan belum? Pasien hari ini lumayan banyak loh, Tih. Jangan sampai kamu tumbang.”
“Alhamdulillah sudah, Kak. Aku juga bawa bekal kok.”
“Syukurlah kalau begitu.”
*
Pukul 16.00 Mika sudah absen untuk lepas assistant.
Ting!!
(Mika, aku sudah sampai)
Ada pesan masuk ke ponsel Mika, rupanya Ali. ia datang untuk menjemput Mika.
(Iya, Bang. Aku baru selesai absen, tunggu ya)
Aku bergegas keruangan dokter untuk berpamitan.
“Dokter, aku pulang dulu ya, dok.” Ucap Mika pada drg. Olivia yang sedang asyik memainkan benda pipihnya.
“Oh Iya, mbak Mika. Hati-hati ya! Eh mbak, jangan lupa order Bracket Damon dua pieces ya, mbak.” Sahut drg. Olivia dan mengingatkan Mika untuk memesan Bracket Ortho Jenis Damon.
“Wah, jadi nih pasien pasang Damon.” Goda Mika pada drg. Olivia.
“Hahahhaa iya nih, nanti kita makan-makan ya mbak bareng dengan yang lainnya.”
“Siap, dokter. Pasti itu hahaha... Ya sudah aku pulang dulu ya, dok. Selamat sore, dok.”
Mika segera menutup pintu ruangan dokter.
Ia bernama drg. Olivia, lebih tepatnya drg. Olive Wijaya Sp. Ortho.
Ia dokter gigi spesialis Orthodontie, lebih ke bagian behel atau kawat gigi.
Untuk merapikan gigi tidak harus menggunakan kawat gigi saja, kini sudah tersedia berupa Invisalign buatan USA, dan ada versi terjangkaunya yaitu Aligner.
Jadi bagi yang ingin merapikan gigi tinggal dipilih dan diperhitungkan saja ingin yang mana.
Untuk yang instan dan tidak terlalu terlihat, tanpa menggunakan kawat gigi bisa menggunakan Invisalign atau Aligner, namun harus sanggup merogoh kocek lebih dalam lagi sekitar lima belas juta sampai delapan puluh juta rupiah.
Penggunaan kurang lebih dalam jangka hanya beberapa bulan saja.
Lain halnya dengan penggunaan kawat gigi yang minimal harus dua tahun. Namun harga lebih terjangkau.
Sekitar lima juta sampai tiga puluh juta saja.
***
“Maaf ya, abangku sayang. Lama ya menunggunya?” Goda Mika pada Ali yang sudah hampir memanyunkan bibirnya lima meter.
Mika pun memasuki mobil milik Ali.
“Ah, gombal.” Jawabnya sembari keluar dari parkiran klinik.
“Ih, kenapa kamu, bang? Sewot benar romannya? Apa habis disakiti lagi sama Janice?”
“Tahu deh, malas bahas dia.”
“Nah kan, pasti Janice jalan sama cowok lain lagi, ya?” Tanya Mika pada Ali yang sudah melajukan mobilnya.
“Begitu deh, aku pingin putus saja.”
“Lho, kok putus Bang? Kan Abang ingin menikah sama Janice.”
“Bagaimana ingin menikah kalau kelakuannya nggak ada perubahan sama sekali, aku sudah muak.”
Mika pun hanya terdiam mendengar celoteh Ali, rupanya dia sedang galau.
Janice adalah pacar Ali, mereka berpacaran kurang lebih hampir tiga tahun.
Bahkan mereka ingin melanjutkan kejenjang yang lebih serius yaitu pernikahan.
Sebenarnya sudah dari tahun lalu Ali melamar Janice untuk mengajak menikah, namun rupanya Janice masih sibuk berkarir dan belum berminat untuk menikah.
Usia Ali udah sangat matang untuk seorang IPDA yang memang sudah pantas untuk menikah, tahun ini Ali berusia tiga puluh dua tahun.
“Kamu mau makan apa, Mika? Mau pulang ke kost dulu atau mau langsung makan?” tanya nya membuyarkan lamunan Mika.
“Pulang ke kost dulu saja deh, Bang. Aku mandi dulu boleh?” Mika balik bertanya.
“Oke.” Ali langsung melajukan mobilnya kearah jalanan menuju kost.
Sesampai di kost, Mika langsung masuk kamar kost dan segera mandi.
Hari ini malam minggu, Ali mengajak Mika keluar untuk sekedar nongkrong di Kafe dan menikmati kopi kesukaannya.
Ali adalah sepupu terdekat Mika, sejak kecil kemana-kemana mereka selalu Bersama.
Mika sangat sayang sekali dengannya, ia selalu menjaga Mika dimanapun dan kapanpun ketika ia sedang tidak bertugas keluar kota.
Keluar dari toilet Mika dikejutkan oleh Ali yang sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjangnya.
“Ya ampun, Bang Ali! kenapa masuk kamar nggak bilang-bilang?” Mika kaget bukan kepalang.
Terlihat Mika masih menggunakan handuk saja, sedangkan Ali sudah berada dikamar.
“Masih untung yang masuk aku, kalau orang lain bagaimana? Apa kamu nggak di apa-apakan sama orang? Kenapa pintu kamar nggak kamu rapatkan?” Jawabnya sembari menjitak kepala Mika yang hendak keluar dari kamar kost Mika.
“Aaawwwwwww, sakit tahu, Bang.”
Mika pun merapihkan dirinya dengan sangat kilat, mengingat Ali sudah menunggu lama.
Takut dia nanti menjadi bad mood lantaran menunggu Mika.
***
“Assalamu’alaikum Tanteee, Tanteeee, Tantee Dian?” Ucap Mika saat memasuki rumah tantenya itu yang tak lain adalah kakak Mamanya.
“Wa’alaikumsalam, ponakanku sayang.” Jawabnya yang masih menggunakan mukena selepas sholat maghrib.
“Tante, aku menumpang sholat maghrib ya, Tan."
“Kalian pada mau pergi, ya?” Tanya Dian kepada Mika dan Ali.
“Iya, Ma. Sedang suntuk aku.” Jawab Ali yang sedang melepas jam tangannya pertanda ingin mengambil air wudhu untuk segera sholat maghrib.
“Ya sudah, kalian sholat maghrib dulu sana!”
15 menit sudah kami menyelesaikan kewajiban sebagai umat muslim yaitu sembahyang.
Mika pun menghampiri Dian dan Omar yang sedang duduk menonton acara televisi.
“Mika, kenapa kamu nggak tinggal disini saja bareng kami, nak? Daripada uang kamu buat sewa kost segala. Mendingan kamu tabung saja. Toh Mama dan Papamu juga sudah menyerahkan kepercayaannya pada Tante dan Om.” Ucap Tante Dian.
“Iya betul itu, Mika. Sayang-sayang lho uangnya.” Sahut Omar dengan logat ke Arab-arabannya itu.
Omar adalah keturunan Arab, ia menikah dengan Dian dan memiliki tiga orang anak.
Ali anak pertama, Hasan anak kedua dan Nadhifa anak ketiganya.
“Nggak ah, Tan, Om. Aku di kost saja.”
“Dia nggak mau tinggal disini karena takut nggak bisa bangun siang, Ma, Pa.” Sahut Ali yang telah berdiri dibelakang Mika.
“Ih, apa sih? Sok tahu banget deh.”
“Memang iya kan?”
“Enggak!”
Mika pun menggebuk badan Ali berkali-kali menggunakan bantal sofa.
*
Sampailah mereka di Kafe kawasan Selatan Jakarta.
Untung saja belum terlalu ramai, jadi mereka bisa lebih leluasa memilih tempat duduk.
Mika memilih tempat duduk outdoor agak sedikit memojok untuk dapat melihat indahnya suasana Jakarta dari ketinggian dengan view yang sangat menarik dengan kelap-kelip cahaya lampu seantero Jakarta raya ini.
Tak lama mereka duduk, datanglah pelayan membawa buku menu.
“Aku mau nasi goreng seafood pedas, es vanila latte sama air mineral satu ya, mba.” ucap Mika.
“Kalau aku mau steik tenderloin, es cappuccino, sama air mineralnya juga satu saja.” Sahut Ali.
Mbak-mbak pelayan pun mengulang kembali pesenan mereka.
“Mbak, ada asbak?” tanya Ali yang rupanya sudah memantik api dicerobong asapnya itu.
“Ada, Kak. Mohon ditunggu untuk pesanannya ya, Kak.”
Setelah pelayan pergi dari hadapan mereka, keduanya pun menikmati suasana Kafe tersebut. Lumayan nyaman dan Mika suka sekali dengan viewnya.
“Bang, abang lepas dinas berapa hari?” tanya Mika pada Ali.
“Tiga hari saja, Mik. Setelah itu aku dinas keluar kota. Mau ke Surabaya.” Jawab Ali seraya menghisap cerobong asapnya dengan asyik.
“Oh, begitu.”
“Kenapa memang, Mik? Sudah sih kamu pindah ke rumah Mama saja, biar kamu ada yang pantau, nggak keluyuran sampai pulang malam.”
“Aku nggak keluyuran, Bang. Tapi kalau aku banyak pasien, pasti aku akan lembur dan pulang malam.”
“Kamu jangan terlalu ngoyo kerjanya, ingat kesehatan kamu. Oh ya, dengar-dengar Zaki sedang pulang ke Jakarta deh.”
“Bodho amat deh, Bang. Aku nggak peduli. Aku sudah nggak ingin mengingat-ingat dia lagi. Sudah nggak mau ketemu dia lagi.” Mika sangatlah benci dengan Zaki.
Setelah kejadian lima tahun silam itu.
“Ya sudah, kamu fokus kerja saja yang benar dan inget kesehatan kamu lebih penting.”
*
Makanan telah terhidang, Mika dan Ali melahap dengan rakusnya karena sudah sangat lapar perut mereka.
“Alhamdulillah kenyang, makasih ya Bang traktirannya.”
“Sudahlah, kayak sama siapa saja kamu ini, setelah ini mau kemana lagi?”
“Terserah Abang saja.”
“Ya sudah, aku bayar dulu ya, kamu tunggu disini dulu, jangan kemana-kemana.”
Mika pun mengangguk.
Ia meraih ponselnya dan membuka sosial media sejenak.
“Mikayla, akhirnya kita bertemu lagi setelah sekian lama kita berpisah. Aku sangat rindu sekali sama kamu Mika.” Datanglah seorang pria menghampiri Mika, dan tak asing sekali Mika dengan suaranya.
Mika menoleh kearah suara itu dan ternyata si b*rengsek itu yang muncul di hadapan Mika.
Seketika mata Mika melotot dan memanas.
Ingin rasanya ia teriak sekencang-kencangnya dan menampar manusia itu berkali-kali.
Luka lama yang sudah hampir hilang kini muncul kembali.
“Ngapain kamu disini? Pergi dari hidupku, pergiii...!!!!”