Bertaut Benang Merah
Aku masih menatap layar ponsel yang sedari tadi hanya kumainkan sekedarnya, karena aku harus konsentrasi dengan pekerjaan yang diberikan tuan Elhan untuk mengawasi gadis pujaannya.
Earphone yang terpasang pada telingaku memberi informasi akurat semua percakapan yang dilakukan gadis bernama Nindi. Entah bagaimana caranya tuan Elhan berhasil menyematkan penyadap pada gadis itu.
Terdengar berbagai percakapan yang membuat konsentrasi ku harus kupertajam lagi. Targetku itu sedang memulai usaha disalah satu gerai di Mega Mall. Mungkin tugas kali ini jauh lebih ringan daripada yang sebelumnya karena kini perebutan lahan yang pernah membahayakan keselamatan nona Nindi telah terselesaikan.
Kali ini aku harus mengamati apakah ada pria yang sedang dekat dengan gadis bernama Nindi itu. Tuan Elhan ingin meyakinkan bahwa nona Nindi bukan milik orang lain, sehingga dia bisa mendapatkan hati gadis itu tanpa menyakitinya.
"Bip...bip..."dering telepon mengerjap karena konsentrasi ku teralihkan.
" Ya tuan..."
" CK .. hentikan berkata tuan, bukankah aku ini adikmu sendiri!!" suara pria dari seberang membuatku tersenyum.
" Tapi kamu membayarku.."
" Aku lelah berdebat denganmu....jadi bagaimana kabar Orchid..."
" Aman..." tuan Elhan memakai nama Orchid sebagai samaran, baginya nona Nindi sebuah bunga yang berharga seperti anggrek, bunga kesayangan ibunya.
" Apa ada orang yang mencurigakan?"
" Tak ada yang mendekatinya kecuali orang-orang yang membantunya membuka gerai..."
" Mm...semoga tak ada ancaman lagi ..., sekarang pulanglah, tadi bibi Emi menanyakanmu..."
" Ada apa dengan ibuku?"
" Bibi hanya memastikan bahwa kamu tak bermain dengan senjata api lagi.." jawab tuan Elhan terkekeh.
" Hhh...ibu takut tak ada pria yang mau denganku.."
" Nah itu tau...menikahlah, lupakan pria dari masa lalumu, aku yakin banyak pria yang antri jika kamu membuka hati..."
" Bocah ingusan sedang memberiku ceramah tentang pernikahan hmmm!"
" Ha..ha.. setidaknya aku sudah siap menjalaninya...sudahlah, sekarang pulang temui bi Emi, bilang aja kamu habis meeting dengan rekanan sekalian pulang..."
" Hhmm...baiklah, lagipula aku tidak bohong kan karena memang sedang dinas luar..." jawabku kemudian lalu kututup sambungan telefon dari bocah ingusan yang selama ini menjadi bosku itu.
Tuan Elhan Sebastian, seorang anak konglomerat yang memilih untuk menjauh dari papanya karena tak sepaham. Apalagi semenjak punya ibu dan kakak tiri, hanya bila ada urusan yang sangat penting dia mau pulang ke rumahnya yang dulu.
Ibuku hanyalah salah satu asisten rumah tangga dirumah besar nenek tuan Elhan dari pihak mamanya. Namun keluarga itu begitu ramah dan tak pernah membedakan status kami, hingga kami begitu nyaman untuk mengabdi pada keluarga dari mendiang ibu tuan Elhan itu.
Atas permintaan ibuku, dua tahun yang lalu aku bergabung dengan perusahaan kecil yang telah dirintis oleh tuan Elhan.
Hal itu karena sebelumnya aku nekat masuk dalam Sekolah Tinggi Intelejen Negara setelah memutuskan berhenti dari kuliah di semester lima.
Aku berhasil masuk STIN melalui jalur talent scouting yang mana dipilih berdasarkan pertimbangan bakat/prestasi/kekhususan yang dapat mendukung pelaksanaan tugas intelijen.
Saat itu aku telah berada pada kondisi sangat tertekan oleh keadaan, jadi semua masalah yang kuhadapi membuatku keras hati dan hanya fokus pada pendidikanku. Dan hasilnya aku masuk dalam siswa berprestasi dengan penguasaan bahasa asing dan ilmu beladiri.
Setelah lulus aku aktif menjadi anggota BIN yang artinya bisa saja berkonfrontasi dengan CIA atau agen rahasia dari negara lain.
Risiko ketika berhadapan dengan intelijen asing sangat besar, bahkan bisa sampai kehilangan nyawa.
Sebagaimana diketahui, BIN adalah penjaga kestabilan negara, yang tak jarang dianggap sebagai batu sandungan oleh banyak orang.
Maka dari itu, pekerjaan ini menuntut bertaruh nyawa.
Dan ibu terus menerus sangat mengkhawatirkan keselamatan ku dan selalu berusaha membuatku keluar dari pekerjaan itu.
Meski berat, sebagai anak yang sangat menyayangi kedua orang tua, akhirnya aku menyerah saat ibu dua kali mengalami serangan jantung, karena selalu memikirkan anak bungsunya ini.
Tuan Elhan membayar mahal, agar aku bisa keluar dari anggota BIN.
Setelah aku bekerja dengan tuan Elhan, sekarang aku dihadapi dengan masalah baru.
Menikah.
Menurut ibuku, diusiaku yang kedua puluh enam tahun ini, seharusnya aku sudah berumah tangga. Namun sampai detik ini tak satupun pria yang bisa mengubah pendirian ku untuk tetap sendiri.
Tak ada yang tau masalahku, yang membuatku menjadi seperti ini, kecuali tuan Elhan.
Aku beranjak dari dudukku dan berniat meninggalkan tempatku yang berada.
Setelah berpindah-pindah tempat, kurang dari satu jam yang lalu aku memutuskan untuk memesan minuman dan makanan kecil disalah satu unit yang berada disebelah gerai baru milik nona Nindi itu.
" Selamat siang John...." suara itu membuatku mengerutkan keningku saat aku hendak membayar dikasir. Suara yang tak asing bagiku.
" Siang bos, bagaimana liburannya...?"sahut pria muda dikasir yang melayaniku.
" Banyak referensi yang masuk untuk menu kita selanjutnya..." ucap pria itu dengan bersemangat.
Aku mendongak menatap kedua pria didepanku secara bergantian.
Dan saat kasir selesai menghitung pesananku, ada denyut aneh dalam dadaku melihat sosok pria disampingnya itu.
" Tujuh puluh dua ribu, nona..." kasir itu tersenyum ramah.
Sementara kuserahkan lembaran uang seratus ribu padanya, pria yang disebelah kasir ikut tersenyum dan menyapaku.
" Bagaimana pendapat anda tentang hidangan kami nona...?" pria itu tersenyum ramah.
Deg...deg...
Suara itu benar-benar tak asing dan seketika berhasil mengacaukan pikiranku.
Reflek kakiku bergerak mundur. Dengan diam aku segera berbalik dan mempercepat langkahku tanpa menoleh lagi.
Kudengar suara itu memanggilku berulang kali, namun aku tak peduli.
Setelah sampai pada tempat parkir, aku masuk kedalam mobil kecilku itu dan mengatur nafas untuk menetralkan kembali kerja jantungku.
Mengapa aku seperti ini, bukankah aku memang mencarinya, kenapa saat menemukannya, tak tahu harus berbuat apa.
Dasar bodoh kamu Shania...kenapa kamu tak siap dengan rencanamu sendiri.
Kuputar kunci mobil dan segera pergi dari tempat itu.
Jalanan yang cukup padat, tak menghalangiku untuk melajukan mobilku dengan cepat. Aku cukup terlatih untuk hal seperti ini, dan tentu saja menjadi salah satu kekhawatiran ibuku juga.
Aku sendiri merasa heran, semua hal yang seharusnya dilakukan oleh pria aku bisa melakukannya.
Hhh...namun semua itu tak berarti bagiku, semua prestasi yang kumiliki hanyalah refleksi kekecewaan dari masa laluku.
" Ibu ...."kupercepat langkah kakiku menuju paviliun disamping rumah besar yang disediakan untuk para asisten rumah tangga itu.
" Shania!!!....." ibu tergopoh-gopoh keluar saat mendengar suara ku.
Sebuah senyuman mengembang diwajah wanita paruh baya itu saat menyambutku.
" Ibu...aku merindukan mu .." kupeluk tubuh ibuku dengan sayang.
" Makanya sering-seringlah pulang, bukankah jarak kantormu tak terlalu jauh..."sahut ibu.
" Iya Bu maafkan Shania deh...." padahal aku hanya menghindar dari bujukan ibu agar aku menikah dengan anak dari temannya.
" Apa kamu sudah makan nak...?"
" Mana mungkin aku pulang, kalau sudah kenyang...Shania juga rindu masakan ibu, jadi selalu lapar bila sampai rumah he..he.." kurangkul pinggang ibu saat kami bersama melangkah masuk rumah.
Ibu hanya terkekeh, pasti selalu teringat dari kecil saat aku pulang dari bermain aku pasti minta makan, meskipun sudah makan dari rumah temanku.
Kuletakkan tas ransel dikursi sebelahku, sambil duduk manis menunggu satu porsi makan siang yang disediakan ibu.
Teringat kembali memori digerai tadi, suara pria itu memang lebih berat dari yang kuingat waktu itu, namun logat dan nada bicaranya masih sama.
Bahkan saat aku melihat fisiknya kini juga jauh berbeda dari lima tahun yang lalu. Namun bayangan tatapan matanya tak pernah bisa kulupakan.
" Shania...jangan melamun, apa yang kamu pikirkan hmmm?" suara ibu membuyarkan lamunanku.
" Hanya masalah kantor Bu..." sahutku sambil menarik piring yang diletakkan ibu dimeja makan itu, lalu mulai menikmatinya.
" Hei...jangan terlalu memikirkan pekerjaan terus..."
" Pikirkan juga tentang menikah..." kulanjutkan kalimat ibu sambil nyengir.
Dan itu berhasil membuat ibu sewot padaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Miswa Ryani
baru Nemu,,
tulisannya nyaman dibaca
lanjut lah
2023-02-06
0
Nur hikmah
mmpir.....like tpi msih binggung
2021-08-12
3
Nevi Sutarti Kawaru
menarik ceritanya
2021-07-21
4