Nona Nindi mengalihkan pandangan pada tuan Elhan, memberi kode agar bicara.
Seperti mengerti isyaratnya, tuan Elhan pun maju mendekatiku yang berhadapan dengan tuan Darren.
" Tentu saja tuan Darren, saat Shania menjadi istrimu, sepenuhnya dia menjadi milik dan tanggung jawabmu...jagalah dia, jangan sampai direbut oleh pria lain..."ucap tuan Elhan dengan nada meledek.
Aku masih diam menahan tawa, melihat perdebatan dua pria kekanakan itu.
" Lihatlah Nin, apa kau masih mau bertahan dengan pria arogan sepertinya?!?" tuan Darren menoleh kearah nona Nindi.
Nona Nindi menghela nafas menatap kakak dan suaminya itu.
" Yang pasti aku akan hidup dengan si kembar...aku ingin menetap dirumahmu saja kak, tempatnya begitu indah dan jauh dari keramaian kota..."ucap nona Nindi sambil melirik suaminya.
" Hmm...pilihan bagus Nindi, aku akan membangun sebuah rumah lagi disana untuk keluargaku kelak..."tuan Darren tersenyum lega.
Sekarang ganti tuan Elhan yang tertegun mendengar pernyataan istrinya itu.
Tiba-tiba suara ponsel tuan Elhan berdering dan diapun keluar ruangan untuk menerimanya.
" Nona...saat ini anda masih dalam bahaya, mohon jangan menjauh dari tuan Elhan..."aku mendekati nona Nindi.
"Tolong jelaskan padaku apa yang terjadi sebenarnya..."ucap nona Nindi padaku.
" Semua karena harta keluarga Sebastian, ahli waris resmi dari surat wasiat adalah tuan Elhan dan nona Ellena. Saat mereka berumur dua puluh tiga tahun semua aset otomatis berpindah pada mereka...dan itulah yang menyebabkan kekacauan ini..."sahutku
" Bukankah tuan Reyhan Sebastian masih hidup? kenapa ada surat wasiat?"
" Surat wasiat dari kakeknya, sejak awal tuan Reyhan mencintai nyonya Ellisa , dan berontak tak mau dijodohkan dengan ibunda tuan Elhan...saat nona Ellena lahir tiba-tiba saja ibunda meninggal dan tak lama kemudian kakek tuan Elhan juga meninggal karena kecelakaan...dan akhirnya tuan Elhan berhasil menguak dalang dari semua kematian keluarganya..."
Nona Nindi memijat pelipisnya mendengar ceritaku drama keluarga bertema perebutan harta itu.
" Anda jangan khawatir, keluarga paman Danu dan Bu Cicik sudah diamankan, jadi saat ada yang mengancam anda dengan keselamatan mereka, itu hanya gertakan saja...."aku berusaha membuatnya merasa tenang.
" Shania...lalu siapa kamu sebenarnya, sepertinya kamu begitu setia pada Elhan...apa kau menaruh hati padanya juga?" tuan Darren bertanya dengan memicingkan matanya padaku.
Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar asumsi tuan Darren.
" Saya terlahir dari keluarga sederhana yang menggantungkan hidup dari keluarga nenek Marini, saya anak bungsu Bu Emi. Mungkin nona Nindi pernah bertemu dengan ibu dan bibi saya ...."
" Oh..Bu Emi dan Bu Lastri, tentu saja aku mengenalnya, mereka sangat baik dan ramah..."sahutku sambil menerawang, mungkin dia sedang mengingat ibu dan bibiku itu.
" Dari kecil saya dilatih beladiri dan bersekolah diasrama sampai lulus lalu mengabdi pada tuan Elhan, karena saat tuan Elhan lahir nenek Marini selalu berpesan padaku agar selalu menjaganya...karena itu saya menyanyangi nya seperti adik saya sendiri...."
" Eh...maksudmu...jadi berapa umurmu sekarang?" tuan Darren semakin penasaran dengan data diriku.
" Bulan depan genap dua puluh tujuh tahun..."
" Hah...."
Nona Nindi dan tuan Darren melongo menatapku seakan tak percaya.
" Kukira kamu seumuran dengan Elhan!!!" ucap tuan Darren sambil mengerutkan keningnya.
" Wah...kalian ternyata serasi....aku harus memanggilmu kak Shania" mata Nona Nindi semakin berbinar menatap kami berdua saling bergantian.
Mendengar komentar nona Nindi, aku dan tuan Darren saling memandang. Saat aku menatapnya tanpa ekspresi, dia terlihat salah tingkah, memangnya ada yang salah denganku ya?
Menjelang jam sebelas siang, tuan Darren mengajakku pulang.
" Mau makan siang apa?" tanya tuan Darren padaku.
" Saya makan dirumah saja, tadi ibu masak untukku..."
" Apa ayahmu dirumah?" tanyanya lagi.
" Sepertinya tidak, biasanya akhir pekan baru pulang...ayah jarang sekali dirumah, karena ikut dalam beberapa proyek yang dikerjakan oleh perusahaan Sebastian...memangnya kenapa?"
" CK...apa kamu lupa tentang pembicaraan kita tadi?"
Aku berpikir keras, pembicaraan apa yang ada hubungannya dengan ayah, perasaan tadi tak pernah membicarakan ayah sama sekali deh ...
" Hei... bagaimana aku bisa melamarmu jika orang tuamu tidak ditempat..."
" Hah..." kenapa aku jadi terkejut sih.
" Bukankah besok kita akan menikah?"
" Astaga!! Jadi beneran besok? " tanyaku masih tak percaya.
" Huh...kamu ini bagaimana sih? Kemarin saja ribut pengen nikah denganku, jadi apa nggak nih...?"
" Tuan Darren anda membuatku sangat pusing, persiapan pernikahan sangat kompleks, mana bisa langsung besok dilaksanakan..."
" Biar aku yang urus semuanya, besok pagi semua keperluan mu akan diantar ,besok siang kujemput, kita menikah dirumahku didesa..." ucapnya tegas.
Kok sekarang dia jadi otoriter begitu sih...ah.. sudahlah..
" Baiklah tuan Darren, tapi tolong katakan pada ibuku, kita lihat reaksinya ya...bicaralah pelan-pelan karena ibu punya sakit jantung..."sahutku sambil menoleh kearahnya.
" Eh...begitu ya..?" wajahnya terlihat berpikir.
Entah kenapa, meski kadang terlihat bodoh, dia memang tampan, perasaan ini sama seperti waktu aku melihatnya pertama kali. Meski memang tak saling kenal, dia begitu mencolok dimataku diantara beberapa pria yang berkumpul saat itu.
" Akan kucoba..." sahutnya lagi.
Kusandarkan kepalaku sambil menipiskan bibirku, aku tak sabar akan melihat drama saat ibu mendengar seorang pria melamarmu.
Beberapa saat kemudian, kami telah sampai dirumah.
Aku masuk rumah besar, karena biasanya jam makan siang, ibu dan bi Lastri sedang menyiapkan makan siang untuk warga rumah besar. Dirumah besar ada nona Ellena yang baru datang dari Melbourne tempat adik dari nenek Marini.
" Hai kak Shania....lama kita tak bertemu ..." nona muda centil itu memang ramah seperti majikan kami yang lain.
" Nona Ellena baru datang ya..."sahutku saat nona Ellena menggandengku menuju meja makan.
" Iya...kata kak Elhan kak Shania mau menikah?...senangnya, selamat ya...kapan hari besarnya....?"
" Nanti ada orang yang mau bertemu dengan ayah ibu memberi tahu kapan....?"
" Eh benarkah? Apa tuan Darren akan menentukan tanggal kalian menikah?" sontak ibu yang sedang menyiapkan makanan segera mengelap tangannya dicelemek yang dipakai.
Ibu serta merta mendekat dan menatapku penuh selidik.
" Eee...itu orangnya didepan Bu, apa ibu bersedia menemuinya?" tanyaku polos.
"Kamu ini!!! kenapa nggak bilang dari tadi sih??Ayo ajak dia ke paviliun..." sahut ibu sambil menggandengku keluar dari rumah besar.
" Eh..jangan bi Emi, disini saja aku juga ingin bertemu dengan calon kakak ipar ku..." nona Ellena ikut bersemangat.
Ibu mengangguk dan kami bertiga keluar menemui tuan Darren.
" Kak Darren...ayo masuklah..." nona Ellena maju dan mengajak pria yang menatapku bingung karena tak mengenal gadis itu.
" Eh iya..."
" Silahkan duduk, kenalkan aku calon adik ipar..." celoteh nona Ellena.
Tuan Darren melirik kearahku, seakan minta penjelasan dariku.
" Ini nona Ellena, adik dari tuan Elhan..."ucapku padanya.
" Jadi kapan kalian menikah?" nona Ellena begitu penasaran.
Tuan Darren begitu canggung menatap ketiga wanita didepannya ini.
" Ee... sebelumnya saya minta maaf, bukannya saya bermaksud merepotkan, tapi...saya akan menikah dengan Shania ....besok. Apa ibu memberikan restu pada kami?"
" Hah!!!" ibu berusaha mencerna semua kalimat yang diucapkan calon menantunya itu
" Benarkah???" seru nona Ellena.
" Anda jangan khawatir, semua akan saya siapkan, rencananya besok siang akan saya jemput karena acaranya akan dilaksanakan ditempat tinggal keluarga saya dulu..."
" Benarkah anda akan menikahi Shania?"ucap ibu masih belum percaya.
" Saya sudah cukup lama mengenal Shania, maaf bila baru beberapa kali berkunjung ke sini..."
" Tapi kenapa harus besok? Aku bahkan belum punya kado..." sahut nona Ellena sambil cemberut.
" Karena besok peringatan meninggalnya ibu saya, dulu saya pernah berjanji didepan jenazah ibu, akan menikah dihari itu...jadi saya harap rencana saya ini direstui..."
" Tuan ...eh...nak Darren, sudah lama ibu menantikan momen ini, Shania itu memang sangat sulit menerima kehadiran seorang pria, bila sekarang dia bersedia, saya sebagai ibu tidak keberatan kapanpun kalian menikah...." ucap ibu tampak tenang.
" Terimakasih...ibu...maaf bila saya belum sempat bertemu dengan ayah..."sahut tuan Darren canggung.
" Hmm...untuk urusan ayah, biar ibu saja yang atasi...oh iya, kalau begitu ayo makan siang dulu, sudah ibu siapkan...."
" Mmm...mohon maaf Bu, saya harus segera pergi membereskan beberapa hal, terkait rencana besok, jadi saya mohon pamit ..."ucap tuan Darren beranjak dari duduknya.
" Oh...begitu ya, baiklah... hati-hati dijalan..."sahut ibu dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
Setelah kepergian tuan Darren....
" Manis sekali calon kakak ipar ya.... Ah iya aku juga harus pergi cari kado dulu nih,...da...dah .. calon manten!!" goda nona Ellena padaku, sebelum melangkah dengan riang meninggalkan aku dan ibuku yang sedang panik itu.
Sementara itu, sikap ibu yang sebenarnya mulai terlihat. Ibu yang tadi tampak anggun dan berwibawa terlihat mondar-mandir dengan wajah bingung.
" Jadi apa yang harus aku lakukan, besok begitu cepat, apa saja yang harus kusiapkan !!!"
" Ibu... bukankah dia bilang akan menyiapkan semuanya, kenapa ibu bingung begitu sih?"
" Astaga Shania, kenapa kamu begitu tenang sih, bagaimanapun pernikahan perlu menyiapkan banyak hal, mana bisa kita bergantung padanya, apa yang bisa ibu lakukan sekarang??"
" Bagaimana bila menghubungi ayah dulu..."
" Ah iya, benar juga..." ibu tergopoh-gopoh keluar dari rumah besar.
Akupun mengikutinya, dan saat bertemu dengan Bi Lastri diteras ibu tak menghiraukannya.
" Hei...apa yang terjadi? Kenapa kalian tergesa-gesa seperti itu" ucap bi Lastri.
" Ibu sedang kangen dengan ayah bi, jadi ingin segera menelfonnya.." ucapku sambil lalu dan mengedipkan mata membuat Bu Lastri semakin penasaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments