NovelToon NovelToon

Bertaut Benang Merah

Suara itu

Aku masih menatap layar ponsel yang sedari tadi hanya kumainkan sekedarnya, karena aku harus konsentrasi dengan pekerjaan yang diberikan tuan Elhan untuk mengawasi gadis pujaannya.

Earphone yang terpasang pada telingaku memberi informasi akurat semua percakapan yang dilakukan gadis bernama Nindi. Entah bagaimana caranya tuan Elhan berhasil menyematkan penyadap pada gadis itu.

Terdengar berbagai percakapan yang membuat konsentrasi ku harus kupertajam lagi. Targetku itu sedang memulai usaha disalah satu gerai di Mega Mall. Mungkin tugas kali ini jauh lebih ringan daripada yang sebelumnya karena kini perebutan lahan yang pernah membahayakan keselamatan nona Nindi telah terselesaikan.

Kali ini aku harus mengamati apakah ada pria yang sedang dekat dengan gadis bernama Nindi itu. Tuan Elhan ingin meyakinkan bahwa nona Nindi bukan milik orang lain, sehingga dia bisa mendapatkan hati gadis itu tanpa menyakitinya.

"Bip...bip..."dering telepon mengerjap karena konsentrasi ku teralihkan.

" Ya tuan..."

" CK .. hentikan berkata tuan, bukankah aku ini adikmu sendiri!!" suara pria dari seberang membuatku tersenyum.

" Tapi kamu membayarku.."

" Aku lelah berdebat denganmu....jadi bagaimana kabar Orchid..."

" Aman..." tuan Elhan memakai nama Orchid sebagai samaran, baginya nona Nindi sebuah bunga yang berharga seperti anggrek, bunga kesayangan ibunya.

" Apa ada orang yang mencurigakan?"

" Tak ada yang mendekatinya kecuali orang-orang yang membantunya membuka gerai..."

" Mm...semoga tak ada ancaman lagi ..., sekarang pulanglah, tadi bibi Emi menanyakanmu..."

" Ada apa dengan ibuku?"

" Bibi hanya memastikan bahwa kamu tak bermain dengan senjata api lagi.." jawab tuan Elhan terkekeh.

" Hhh...ibu takut tak ada pria yang mau denganku.."

" Nah itu tau...menikahlah, lupakan pria dari masa lalumu, aku yakin banyak pria yang antri jika kamu membuka hati..."

" Bocah ingusan sedang memberiku ceramah tentang pernikahan hmmm!"

" Ha..ha.. setidaknya aku sudah siap menjalaninya...sudahlah, sekarang pulang temui bi Emi, bilang aja kamu habis meeting dengan rekanan sekalian pulang..."

" Hhmm...baiklah, lagipula aku tidak bohong kan karena memang sedang dinas luar..." jawabku kemudian lalu kututup sambungan telefon dari bocah ingusan yang selama ini menjadi bosku itu.

Tuan Elhan Sebastian, seorang anak konglomerat yang memilih untuk menjauh dari papanya karena tak sepaham. Apalagi semenjak punya ibu dan kakak tiri, hanya bila ada urusan yang sangat penting dia mau pulang ke rumahnya yang dulu.

Ibuku hanyalah salah satu asisten rumah tangga dirumah besar nenek tuan Elhan dari pihak mamanya. Namun keluarga itu begitu ramah dan tak pernah membedakan status kami, hingga kami begitu nyaman untuk mengabdi pada keluarga dari mendiang ibu tuan Elhan itu.

Atas permintaan ibuku, dua tahun yang lalu aku bergabung dengan perusahaan kecil yang telah dirintis oleh tuan Elhan.

Hal itu karena sebelumnya aku nekat masuk dalam Sekolah Tinggi Intelejen Negara setelah memutuskan berhenti dari kuliah di semester lima.

Aku berhasil masuk STIN melalui jalur talent scouting yang mana dipilih berdasarkan pertimbangan bakat/prestasi/kekhususan yang dapat mendukung pelaksanaan tugas intelijen.

Saat itu aku telah berada pada kondisi sangat tertekan oleh keadaan, jadi semua masalah yang kuhadapi membuatku keras hati dan hanya fokus pada pendidikanku. Dan hasilnya aku masuk dalam siswa berprestasi dengan penguasaan bahasa asing dan ilmu beladiri.

Setelah lulus aku aktif menjadi anggota BIN yang artinya bisa saja berkonfrontasi dengan CIA atau agen rahasia dari negara lain.

Risiko ketika berhadapan dengan intelijen asing sangat besar, bahkan bisa sampai kehilangan nyawa.

Sebagaimana diketahui, BIN adalah penjaga kestabilan negara, yang tak jarang dianggap sebagai batu sandungan oleh banyak orang.

Maka dari itu, pekerjaan ini menuntut bertaruh nyawa.

Dan ibu terus menerus sangat mengkhawatirkan keselamatan ku dan selalu berusaha membuatku keluar dari pekerjaan itu.

Meski berat, sebagai anak yang sangat menyayangi kedua orang tua, akhirnya aku menyerah saat ibu dua kali mengalami serangan jantung, karena selalu memikirkan anak bungsunya ini.

Tuan Elhan membayar mahal, agar aku bisa keluar dari anggota BIN.

Setelah aku bekerja dengan tuan Elhan, sekarang aku dihadapi dengan masalah baru.

Menikah.

Menurut ibuku, diusiaku yang kedua puluh enam tahun ini, seharusnya aku sudah berumah tangga. Namun sampai detik ini tak satupun pria yang bisa mengubah pendirian ku untuk tetap sendiri.

Tak ada yang tau masalahku, yang membuatku menjadi seperti ini, kecuali tuan Elhan.

Aku beranjak dari dudukku dan berniat meninggalkan tempatku yang berada.

Setelah berpindah-pindah tempat, kurang dari satu jam yang lalu aku memutuskan untuk memesan minuman dan makanan kecil disalah satu unit yang berada disebelah gerai baru milik nona Nindi itu.

" Selamat siang John...." suara itu membuatku mengerutkan keningku saat aku hendak membayar dikasir. Suara yang tak asing bagiku.

" Siang bos, bagaimana liburannya...?"sahut pria muda dikasir yang melayaniku.

" Banyak referensi yang masuk untuk menu kita selanjutnya..." ucap pria itu dengan bersemangat.

Aku mendongak menatap kedua pria didepanku secara bergantian.

Dan saat kasir selesai menghitung pesananku, ada denyut aneh dalam dadaku melihat sosok pria disampingnya itu.

" Tujuh puluh dua ribu, nona..." kasir itu tersenyum ramah.

Sementara kuserahkan lembaran uang seratus ribu padanya, pria yang disebelah kasir ikut tersenyum dan menyapaku.

" Bagaimana pendapat anda tentang hidangan kami nona...?" pria itu tersenyum ramah.

Deg...deg...

Suara itu benar-benar tak asing dan seketika berhasil mengacaukan pikiranku.

Reflek kakiku bergerak mundur. Dengan diam aku segera berbalik dan mempercepat langkahku tanpa menoleh lagi.

Kudengar suara itu memanggilku berulang kali, namun aku tak peduli.

Setelah sampai pada tempat parkir, aku masuk kedalam mobil kecilku itu dan mengatur nafas untuk menetralkan kembali kerja jantungku.

Mengapa aku seperti ini, bukankah aku memang mencarinya, kenapa saat menemukannya, tak tahu harus berbuat apa.

Dasar bodoh kamu Shania...kenapa kamu tak siap dengan rencanamu sendiri.

Kuputar kunci mobil dan segera pergi dari tempat itu.

Jalanan yang cukup padat, tak menghalangiku untuk melajukan mobilku dengan cepat. Aku cukup terlatih untuk hal seperti ini, dan tentu saja menjadi salah satu kekhawatiran ibuku juga.

Aku sendiri merasa heran, semua hal yang seharusnya dilakukan oleh pria aku bisa melakukannya.

Hhh...namun semua itu tak berarti bagiku, semua prestasi yang kumiliki hanyalah refleksi kekecewaan dari masa laluku.

" Ibu ...."kupercepat langkah kakiku menuju paviliun disamping rumah besar yang disediakan untuk para asisten rumah tangga itu.

" Shania!!!....." ibu tergopoh-gopoh keluar saat mendengar suara ku.

Sebuah senyuman mengembang diwajah wanita paruh baya itu saat menyambutku.

" Ibu...aku merindukan mu .." kupeluk tubuh ibuku dengan sayang.

" Makanya sering-seringlah pulang, bukankah jarak kantormu tak terlalu jauh..."sahut ibu.

" Iya Bu maafkan Shania deh...." padahal aku hanya menghindar dari bujukan ibu agar aku menikah dengan anak dari temannya.

" Apa kamu sudah makan nak...?"

" Mana mungkin aku pulang, kalau sudah kenyang...Shania juga rindu masakan ibu, jadi selalu lapar bila sampai rumah he..he.." kurangkul pinggang ibu saat kami bersama melangkah masuk rumah.

Ibu hanya terkekeh, pasti selalu teringat dari kecil saat aku pulang dari bermain aku pasti minta makan, meskipun sudah makan dari rumah temanku.

Kuletakkan tas ransel dikursi sebelahku, sambil duduk manis menunggu satu porsi makan siang yang disediakan ibu.

Teringat kembali memori digerai tadi, suara pria itu memang lebih berat dari yang kuingat waktu itu, namun logat dan nada bicaranya masih sama.

Bahkan saat aku melihat fisiknya kini juga jauh berbeda dari lima tahun yang lalu. Namun bayangan tatapan matanya tak pernah bisa kulupakan.

" Shania...jangan melamun, apa yang kamu pikirkan hmmm?" suara ibu membuyarkan lamunanku.

" Hanya masalah kantor Bu..." sahutku sambil menarik piring yang diletakkan ibu dimeja makan itu, lalu mulai menikmatinya.

" Hei...jangan terlalu memikirkan pekerjaan terus..."

" Pikirkan juga tentang menikah..." kulanjutkan kalimat ibu sambil nyengir.

Dan itu berhasil membuat ibu sewot padaku.

Semakin dekat

" Baru mulai ya..." suara itu kembali terdengar membuatku menajamkan pendengaranku.

Hari ini aku tak pergi secara langsung ke gerai nona Nindi, karena rekanku telah memasang CCTV dibeberapa sudut tempat itu, sehingga aku bisa mengawasinya dari kantor yang berada tak jauh dari gerai nona Nindi.

Tuan Elhan merupakan salah satu pemilik Mega Mall ini, jadi ada ruangan khusus kantor yang memang digunakan untuk menjalankan usahanya. Kami yang bekerja untuknya disini hanya tiga puluh orang, sedangkan dikantor pusat yang berada di ibukota sudah ada ratusan orang yang dipekerjakan untuk proyek yang lebih besar.

" Rencana masih lusa, ini baru persiapan saja..." kudengar suara nona Nindi menjawabnya.

" Kenalkan namaku Darren, sekarang kita tetangga..."sudut bibirku terangkat mendengar nama itu.

Ternyata instingku begitu kuat, tak salah lagi setelah suara dan wajahnya yang kukenali ternyata benar nama itu memang miliknya.

" Ah iya , aku Nindi...aku akan menjual desert...mohon bimbingannya senior.."terlihat dilayar laptopku, nona Nindi menjabat tangan pria itu.

" Tentu saja junior, aku akan membimbingmu..ha..ha..." tertawa lepas karena kalimatnya sendiri.

Pikiranku mulai melayang jauh. Rencana apa yang harus kupersiapkan untuk menghadapinya.

Sejak bekerja pada tuan Elhan, aku memang berniat untuk mulai mencari pria itu. Ada hal besar yang harus kuselesaikan dengannya.

Tak kusangka aku benar-benar menemukannya.

" Bip...bip..."

" Halo..."

" Jemput aku dibandara, dan bawa berkas proyek N-16, kita akan bertemu klien satu jam lagi..." suara tuan Elhan terdengar tegas.

" Baik..." sahutku singkat.

Baju santai yang kugunakan untuk berperan sebagai pengunjung, segera kuganti dengan stelan formal dan tak lupa kacamata yang memang harus kugunakan saat membaca.

Tak lama kemudian aku sudah berada dibandara, dengan membawa seorang supir karena aku harus berperan sebagai asistennya.

Tuan Elhan memang sudah terbiasa mandiri, sehingga tak memerlukan asisten pribadi. Namun disetiap tim ada dua orang yang harus siap menjadi asisten dadakan seperti diriku saat ini.

" Bagaimana kabarnya...?" ucap pria bucin yang duduk dikursi belakang berdampingan denganku.

" Hmm..." aku tak begitu mempedulikannya karena sedang sibuk mempelajari semua yang diinginkan klien kami.

" Hei...jawablah..."

Aku menoleh ke samping dan menatapnya dengan datar.

" Apalagi yang bisa kulaporkan, bukankah kamu sudah melihatnya sendiri..." sahutku sewot.

Tuan Elhan terkekeh lalu menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam.

" Aku merindukannya..."ucapnya kemudian.

Huh , dasar pria bucin!!!

"Apa semua pria yang jatuh cinta memang bertingkah aneh sepertimu?" gumanku sambil merapikan berkas dan menyimpannya dengan rapi karena mobil yang membawa kami telah sampai diparkiran sebuah restoran.

" Aku jadi penasaran bagaimana bila kamu mengalaminya sendiri..." sahut tuan Elhan membela diri.

" Ck... tak usah berlagak seperti ibuku!! ayo turun, kita hampir terlambat..."sahutku sebelum membuka pintu mobil.

Tuan Elhan lama-lama menjadi titisan ibuku, karena selalu memancing tentang pendampingku kelak.

Kami berdua masuk kedalam ruang VVIP karena klien kami memang pemilik restoran ini.

" Selamat siang tuan Chen.." tuan Elhan menjabat tangan seorang pria yang menurut data pribadinya berumur lima puluh tiga tahun itu.

" Wah...tuan Elhan, selamat datang...tak kusangka anda benar-benar masih muda...hebat!" tuan Chen menyambut kami dengan senyuman yang mengembang dan sikap ramahnya itu.

" Anda terlalu memuji tuan Chen..."

" Ayo-ayo silahkan duduk....maaf karena tiba-tiba meeting hari ini, karena besok pagi saya harus menjenguk cucu saya di Philipina, dan pasti istri saya akan marah bila saya masih saja mementingkan pekerjaan..."

" Tidak masalah tuan Chen, kebetulan waktu saya luang..."

" Wah-wah saya suka sekali dengan anak muda yang bersemangat seperti anda...sebentar ya, anak saya dalam perjalanan kesini, saya ingin dia yang menangani kontrak dengan anda...silahkan menikmati makan siang dulu..." tuan Chen segera meminta pramusaji menghidangkan beberapa menu istimewa.

Kami menikmati makan siang sambil bercakap ringan. Tak lama kemudian datanglah dua pria yang bergabung dengan kami.

" Maaf papa, aku bertemu dengan sahabatku...jadi kuajak sekalian kemari"

" Hmm...kamu juga harus minta maaf dengan tuan Elhan, Jimmy..." ucap tuan Chen.

Sementara itu aku masih menikmati makan siang dalam diam dan hanya fokus pada makanan didepanku yang sepertinya tak habis-habis.

Mungkin karena aku tak begitu berselera dengan Chinese food yang disajikan. Dimataku semua makanan itu berlendir, jadi memang bukan favoritku.

" Dan ini asisten saya nona Shania..." suara tuan Elhan membuatku tersentak, kemudian dengan cepat aku mengikutinya berdiri dan menganggukkan badan.

Kemudian kami kembali duduk.

" Kalian sangat serasi tuan Elhan, apa kalian punya hubungan khusus ha..ha?"seperti papanya, tuan Jimmy juga suka berkelakar.

Aku mendongak mendengar kalimat itu terlontar dari tuan Jimmy.

Dan seketika akupun tercekat melihat pria disamping tuan Jimmy itu.

" Tuan Jimmy salah sangka, nona Shania masih saudara saya, lagipula saya sudah mempunyai wanita spesial...he..he..."

Aku hanya bisa tersenyum, sambil sesekali melihat pada semua pria disekitarku untuk mengurangi kegugupan ku karena melihat sosok pria yang menjadi target rencanaku selama bertahun-tahun.

" Dengarlah Darren, nona Shania masih single...ayolah cepat menyusulku, anak keduaku akan segera lahir, kenapa kekasih saja kamu belum punya sih..." celetuk tuan Jimmy membuat pria bernama Darren itu mulai keki.

" Hei lihatlah nona Shania jadi malu...tapi apa kita pernah bertemu sebelumnya nona?" tuan Darren bertanya denganku.

" Maaf, seingat saya kita baru bertemu disini..." sahutku dengan nada datar.

" Oh...maaf, mungkin saya salah..." tuan Darren terkekeh diiringi dengan tepukan dipundak oleh tuan Jimmy.

Setelah itu kami membicarakan kontrak kerja dan berakhir hampir satu jam kemudian.

" Hei ... kak Shania... sepertinya tuan Darren tertarik padamu..." goda tuan Elhan saat perjalanan pulang.

" Berhenti memanggilku kak..."

" Ayolah ... bukankah dia tampan, hmm?"

" Apa kau tak pernah melihat pria itu?" sahut ku sambil memasang senyum balas dendam akan ledekannya itu.

" Jadi kalian memang pernah bertemu ya?"

" Iya...tapi saat itu penampilan ku sangat berbeda dengan hari ini, jadi aku berhasil mengecohnya..."

" Wah... sepertinya kalian akan jadi dekat deh.." dia kembali membuatku sewot.

" Bukan dekat denganku tapi..." ucapanku terhenti agar pria bucin disampingku masuk perangkap ku.

" Tapi apa?"

Kubuka ponselku yang khusus kugunakan untuk pengintaian.

" Lihatlah sendiri..."aku mulai tersenyum dan menahan tawa, bersiap melihat reaksinya setelah kuperlihatkan hasil dari rekamanku.

Hanya dua detik saja, tuan Elhan langsung bereaksi dengan suara tegasnya.

" SIAL!!! Segera selidiki orang bernama Darren itu!!!"

Aku hanya bisa menahan tawa, mendengar kemarahannya itu.

" Hei...aku serius!!!" tuan Elhan mengerutkan dahinya dan menatapku.

" Baik tuan..." sahutku formal

" CK...!!!"

Padahal aku sudah menyiapkan diri melihatnya marah, namun saat dia benar-benar marah aku masih saja susah payah menahan tawaku.

Dasar pria bucin!! Aku kan hanya memperlihatkan gambar percakapan tuan Darren dan nona Nindi, lalu berlanjut dengan pulang bersama yang membuatnya naik pitam.

Kusebut namanya

Hari berganti dan berbagai kejadian tak sesuai dengan rencana namun ternyata membawa kebahagiaan bagi tuan Elhan.

Dan peristiwa itu membuatku sempat kalang kabut.

Dari tadi malam aku ikut menginap dirumah sakit karena kondisi nenek Marini belum stabil. Bagaimanapun nenek sangat menyayangiku seperti cucunya sendiri.

Sebenarnya aku belum sanggup untuk berpisah dengan nenek, namun tuan Elhan sudah berniat untuk melepas nenek Marini untuk selamanya.

Pagi itu tuan Elhan menanyakan keberadaanku dan memintaku untuk segera menemuinya didepan gedung itu.

" Siapkan satu set gaun putih dan stelan putih untukku!!" ucap tuan Elhan saat keluar dari rumah sakit tempat nenek Marini dirawat.

" Baik...ukuran gaun putihnya?" tanyaku sambil mengikuti langkahnya yang tergesa menuju tempat parkir.

Pertanyaan ku itu membuatnya berhenti melangkah dan sejenak menatapku.

" Sama denganmu...langsung bawa kerumah Bu Cicik ya, kita bertemu disana satu jam lagi" jawabnya kemudian.

Lalu kami kembali melangkah dengan cepat menuju mobil kami.

" Aku akan kerumah pamannya Nindi pakai mobil mu...kamu diantar pak Zen saja"

" Baik, hati-hatilah kamu juga semalaman pasti kurang istirahat..."sahutku mengkhawatirkannya.

Tuan Elhan mengangguk dan segera berlalu membawa mobil miniku.

" Ayo pak , kita ke butik Miss Rose...."

" Siap Non..."

Dengan kecepatan tinggi kami menuju butik gaun pengantin disalah satu unit Mega Mall. Agar lebih cepat mendapatkan pesanan tuan Elhan, kuputuskan untuk menelfon Tante Rosi, pemilik butik Miss Rose lebih dulu...

" Halo Tante..."

" Iya Sha, ada perlu apa? tumben pagi sekali kamu telfon hmm?" suara Tante Rosi diselingi dengan percakapan dengan orang lain.

" Apa Tante sudah berada di butik?"

" Hu um, aku sudah sampai kok..."

" Aku dalam perjalanan kesana Tan, tolong siapkan satu set gaun putih dan stelan putih untuk cowok juga ya..."

" Eh...jadi kamu akan tunangan ya atau malah mau lamaran?..., wah senang sekali...cepatlah kemari, aku punya sesuatu yang cantik untuk gadis cantik sepertimu..."

" Ma...maksud saya .."

Tut..Tut...

Hhh...Tante Rosi juga salah satu orang yang menginginkan aku segera menikah.

Aku hanya bisa menghela nafas karena merasa pusing dengan orang-orang itu.

Tak lama kemudian aku telah sampai didepan Mega Mall dan segera kulangkahkan kakiku menuju butik Miss Rose.

Langkahku sedikit berlari, saat kulihat lift akan terbuka sambil sesekali melihat jam yang melingkar ditanganku.

Dan akhirnya aku bisa masuk kedalam lift dengan nafas memburu, lalu memencet tombol menuju lantai lima.

Aku menetralkan nafasku dengan bersandar pada dinding ruangan sempit itu.

" Hei... bukankah kamu yang pernah melarikan diri sebelum menerima uang kembalian ..."

Suara itu membuatku menoleh dengan cepat.

O...orang ini!!! kenapa aku bisa bertemu lagi dengannya dalam posisi seperti ini!

Hanya berdua saja dengannya didalam lift.

" Ah..iya ,maaf saat itu saya buru-buru..." sahutku datar karena tak tau harus beralasan apa.

Dari data yang diminta tuan Elhan tentang pria bernama lengkap Darren Alvaro itu, sampai sekarang masih single dan tidak ada tanda-tanda sedang dekat dengan cewek manapun.

Dia pengusaha waralaba yang sudah membuka banyak cabang diberbagai kota. Namun aku tak bisa mengetahui tentang keluarganya, selama aku menyelidikinya, dia hanya berkutat dengan bisnisnya saja.

" Kalau gitu , sekarang ikutlah denganku untuk mengambil uang kembalianmu, karena saat ini aku tak membawa uang cash..." ucap tuan Darren kemudian.

" Maaf... tidak perlu tuan, saya sudah melupakannya. Lagipula saya harus mengejar waktu..." ucapku sambil memperhatikan angka diatas pintu lift, berharap bisa sampai dengan cepat.

Saat pintu akan terbuka, aku segera bersiap keluar.

" Hei tunggu!!!"

Sebuah tangan menahan lenganku.

Dan secepat kilat reflekku bekerja karena sentuhan mendadak itu.

Kuputar lenganku dan seketika tendangan kakiku mendarat diperutnya.

" Ah maaf tuan, saya tidak sengaja..." kesadaran ku kembali saat melihatnya mengaduh karena ulahku itu...

" Hhh...kau ini!!" ucapnya sambil berusaha berdiri tegak.

"Sekali lagi maaf....permisi" aku segera keluar saat pintu lift terbuka, setelah membungkukkan badanku sebagai tanda permintaan maaf ku.

Hhhh...aku memang sudah terbiasa merespon dengan cepat, sentuhan yang mendadak membuatku merasa terancam. Untung saja tadi aku tak sempat mengeluarkan pistol yang selalu kubawa dan mengarahkan ke kepalanya...

Aku akan mengurusmu tuan Darren, hanya saja aku butuh waktu untuk menghadapimu.

" Nah ini cobalah Shania..." Tante Rosi menyerahkan lima gaun agar aku mencobanya.

" Aku tak punya waktu untuk mencobanya Tante, dan sekali lagi ini bukan pernikahanku..." ucapku merasa sewot karena sedari tadi Tante Rosi masih beranggapan bahwa gaun ini untukku sendiri.

" Huuh...kau ini selalu saja begitu, lalu kenapa kamu yang repot begini sih..."

" Karena ini bagian dari pekerjaan ku Tante...aku pilih ini saja" dengan melihat saja aku yakin gaun yang kupilih itu akan pas dipakai oleh nona Nindi. Tak lupa dengan sepatu dan semua aksesoris juga sudah tersedia dalam paket tersebut.

" Jadi sekarang kamu ikut WO ya??" Tante Rosi masih saja penasaran.

" Yeah...anggap saja begitu..." sahutku malas.

Kuberikan kartu debit pada kasir butik itu, setelah Tante Rosi membungkus dengan rapi semua pesananku tadi.

Masih setengah jam lagi, aku segera berjalan cepat dengan membawa paperbag besar dikedua tanganku. Tau gini tadi kubiarkan pak Zen ikut masuk agar aku tak kerepotan membawa dua benda besar ini.

" Hei nona! Tunggu! "

Akupun menoleh dan mendapati tuan Darren mendekat. Dengan nafas memburu karena berjalan tergesa, aku berhenti dan menipiskan bibirku.

Ni orang benar-benar menghambat jalanku.

" Aku tak mau berhutang padamu, jadi aku mengikutimu...ini kembalian yang kemarin dulu..." dengan wajah datar dia menyerahkan lembaran uang padaku.

Kedua tanganku yang memegang paperbag cukup besar, membuatnya bingung bagaimana menyerahkan uang itu padaku.

Tangan kananku terulur agar dia membawakan paperbag besar yang cukup berat itu.

" Tolong bawakan dulu..." ucapku.

Setelah dia menerima paper bag itu dengan kanan kirinya, akupun mengambil uang dari tangannya dan kumasukkan dalam tas kecil yang kubawa.

" Ini berat sekali, kamu sendirian ?"

" Hmm...sopirku menunggu dibawah, terima kasih tuan, maaf saya harus segera pergi..." sahutku sambil mengambil kembali paper bag dari tangannya itu.

" Biar kubawakan sampai parkiran..." tuan Darren melangkah sambil membawakan salah satu barang belanjaku yang memang berat itu.

" Eh ... tidak usah tuan, aku bisa sendiri..." akupun mengejarnya.

" Aku juga mau kebawah, sudahlah jangan protes lagi, bukankah kamu sedang mengejar waktu..."

Aku hanya mendengus kesal dengan keputusannya itu. Bagaimanapun aku tak mau bergantung dengan orang lain, apalagi orang di sebelahku ini...

Sekali lagi kuhela nafas, untuk tak menghiraukan nya. Anggap saja dia orang lain.

Ternyata bantuannya memang meringankan lengan ku yang baru sebentar saja sudah capek membawanya, tak sampai sepuluh menit aku sudah sampai parkiran mobil dimana pak Zen telah menungguku.

" Sekali lagi terima kasih tuan Darren...." ucapku padanya sambil memasukkan barang-barang tadi dikursi belakang.

" Kamu mengenalku?!?"

Astaga , aku lupa!!! bukankah seharusnya aku tak mengenalnya, kenapa mulut ini reflek memanggil namanya sih.

" Mmm...kemarin, pegawai anda memanggil dengan nama itu kan?" sahutku polos.

" Oh benarkah!...ya sudah saya pergi dulu..."sejenak dia tampak berpikir, kemudian berlalu dari hadapanku.

Fiuh...lega rasanya, untungnya aku bisa berpikir dengan cepat, sehingga dia tak mencurigaiku...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!