Kanaya mengerjapkan kedua matanya yang terasa berat. Hawa dingin masih menyelimuti kota Jakarta pagi ini. Ia beringsut bangun dari tempat tidur lalu menyambar handuk di gantungan.
"Rit, nggak sholat?" ajak Kanaya karena melihat Rita masih berada di dalam selimutnya.
"Aku lagi libur, Nay." jawabnya masih dengan suara seraknya.
Kanaya segera mandi. Sebenarnya, ia merasa sekujur tubuhnya letih. Beberapa hari ini ia harus bekerja dari pagi sampai malam. Terkadang ia harus melewatkan jam makan siang karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Tetapi ia bertahan sekuat tenaga. Bila ia mengingat kondisi sang ayah di kampung, ia mengumpulkan kembali semangatnya untuk terus berjuang demi keluarga.
Setelah sarapan pagi dengan mi instan dan ceplok telor, Kanaya bersiap berangkat. Ia menunggu Rita yang sedang berdandan di kamar. Ia duduk di teras ditemani bu Hana.
"Belum berangkat, Nay?" sapa bu Hana sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya.
"Sebentar lagi, bu. Masih nunggu Rita."
Bu Hana memperhatikan wajah Kanaya lekat\-lekat lalu menyadari gadis itu terlihat pucat.
"Kamu sakit, nak?" tanya beliau sedikit khawatir.
Kanaya meraba kening dan pipinya, ia merasa baik\-baik saja.
"Nggak kok, bu. Nay sehat. Cuma kelelahan paling bu." akunya jujur.
"Ayo, Nay, berangkat!" Rita muncul dari balik pintu.
"Bu, kami berangkat ya?" pamit Kanaya saat bangkit dari duduknya.
Namun, belum sempat berdiri tegak, tubuh Kanaya oleng. Beruntung Rita yang berdiri di sampingnya segera menangkap tubuhnya.
"Kamu kenapa, Nay?!" seru Rita panik.
Bu Hana membantu Rita memapah Kanaya kembali ke kursi. Ia mengambilkan Kanaya secangkir teh lalu membantu Kanaya minum.
"Mending kamu istirahat, Nay. Wajahmu pucat tuh." nasehat bu Hana disambut gelengan kepala Kanaya.
"Nggak apa-apa kok, bu. Barusan mendadak pusing. Bentar lagi pasti hilang pusingnya." ujar Kanaya bersikukuh tidak ingin bolos bekerja. Ia segera mengajak Rita berangkat meskipun sebenarnya kepalanya terasa nyut-nyutan.
Sesampainya di tempat kerja, Kanaya segera mengambil alat kebersihan lalu memulai pekerjaan rutinnya. Ia mengepel lantai lobi utama. Namun, karena kondisi tubuhnya yang sedang sakit, ia kesulitan melakukan pekerjaannya. Kepalanya terasa semakin berat. Entah sejak kapan badannya mulai menggigil. Berkali\-kali ia mengelap keringat dingin yang mulai muncul di dahinya.
"Kok pusing sekali ya.." gumamnya lemah, ia merasa tak kuat berdiri hingga tiba-tiba tubuhnya pun ambruk seketika.
Cindy yang baru saja datang dan melihat Kanaya pingsan segera berteriak minta tolong. Sekuriti dan beberapa karyawan yang kebetulan sedang mengobrol di pintu masuk pun segera datang menolong.
"Kenapa atuh neng Kanaya??" tanya pak Dadang pada Cindy.
"Nggak tahu, pak. Saya baru aja datang terus lihat Kanaya jatuh pingsan." jelas Cindy panik. Disentuhnya kening Kanaya pelan. Ia pun sangat terkejut karena panas tubuh Kanaya yang tinggi.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berkerumun di sini?" tanya sebuah suara membuat orang-orang yang sedang berkerumun mengelilingi Kanaya pun serempak menoleh.
"Ini pak ada yang pingsan." jawab pak Dadang panik.
Reino menghampiri mereka. Betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang jatuh pingsan di hadapannya.
"Kanaya!" serunya ikut panik.
Dengan sigap ia membopong tubuh Kanaya lalu membawanya menuju lift.
"Cindy! Ikut ke ruanganku!"
Mendengar perintah Reino ia pun segera mengikuti langkah bos nya itu tanpa bertanya lagi meskipun di dalam benaknya muncul sebuah pertanyaan tentang apa yang disaksikannya barusan. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat bos "RR" Group sedang menggendong panik seorang karyawan cleaning service yang nota bene adalah bawahannya sendiri. *Heloooow...Apa ada yang aku lewatkan? ucapnya dalam hati*.
"Cepat buka pintu itu!" perintahnya pada Cindy, menunjuk sebuah pintu yang ada di dalam ruangan Reino.
Cindy menuruti perintah Reino. Dibukanya pintu itu dengan cepat yang ternyata terhubung ke sebuah kamar. Ada ranjang besar di sudut ruangan, sebuah sofa panjang dan meja di depannya. *Ini mah kamar hotel, gumam Cindy takjub melihat isi di dalamnya yang mewah*.
"Kamu boleh kembali bekerja."
"Ba..baik, pak." jawab Cindy terbata.
Dengan kecewa ia keluar meninggalkan ruangan Reino meski ia sebenarnya masih penasaran mengenai sikap Reino tadi. Ia heran kenapa Reino terlihat begitu panik saat melihat Kanaya jatuh pingsan. Apalagi ia langsung menggendong tubuh gadis itu tanpa ba bi bu lagi. Sebenarnya ia bisa menyuruh pak Dadang atau karyawan lainnya untuk membawa Kanaya ke ruang kesehatan. Tapi itu tidak dilakukannya. *Ada apa antara Reino dan Kanaya*? Cindy mengurut keningnya, *kenapa jadi aku yang pusing? gumamnya pelan*.
Di dalam ruangan Reino.
Kanaya masih belum siuman. Reino melepaskan sepatu Kanaya lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Demamnya tinggi sekali." ujar Reino setelah menyentuh kening Kanaya.
Reino mengambil ponsel dari saku jasnya lalu menelepon seseorang.
"Daniel? Cepat datang ke kantorku." ucapnya pada seseorang di ujung telepon.
Setelah itu, Reino kembali duduk di tepi ranjang. Ia memandangi wajah Kanaya yang pucat. Di sentuhnya pipi gadis itu dengan lembut lalu beralih menyusuri setiap inchi wajah Kanaya dengan jemarinya seolah ingin membingkai wajah itu dalam memorinya. Ini adalah pertama kalinya Reino berani menyentuh wajah seorang wanita dengan tangannya. Menjadi seorang laki\-laki berparas rupawan dan mapan dalam segala hal, tak membuat dirinya dengan gampang menyentuh sembarang wanita. Sebenarnya sejak dulu banyak perempuan yang berusaha mendekatinya. Namun, ia tidak pernah tertarik sekalipun untuk meladeni karena ia tahu mereka hanya mengincar hartanya.
Tok...tok....tok....
"Masuk."
Seorang laki\-laki berjas putih masuk ke dalam ruangan sembari menenteng tas kerja di tangannya.
"Daniel, tolong kamu periksa dia." pinta Reino pada laki-laki yang bernama Daniel itu. Ia adalah seorang dokter muda yang dipercaya oleh keluarga besar Rahardian.
"Siapa dia, Rei? Pacarmu ya?" seringai nakal muncul pada senyum Daniel. Ia kenal betul siapa Reino karena mereka bersahabat sudah lama sejak kuliah di luar negeri. Ia belum pernah sekalipun melihat Reino dekat dengan seorang wanita mana pun. Seluruh waktu dan pikiran ia curahkan hanya untuk kuliah dan mengurusi bisnisnya.
"Jangan bawel kamu ya. Udah cepet kamu periksa. Dia pingsan, Niel." protes Reino sebal.
Daniel cuma cengengesan. Ia yakin Reino menyukai gadis di hadapannya itu. Kalau tidak, mana mungkin ia repot\-repot menelpon dan menyuruhnya segera datang.
"Dia cuma kelelahan, Rei. Tidak ada yang serius. Kamu kasih minum obat ini aja. Suruh dia banyak istirahat agar kesehatannya cepat pulih." terang Daniel setelah memeriksa Kanaya dengan seksama. Ia juga memeriksa denyut nadi dan tekanan darahnya. Semuanya normal.
"Thank you, bro." ucap Reino menyalami Daniel dan mengisyaratkannya untuk segera pergi.
"Kapan-kapan kenalin ya, Rei?" bisik Daniel di telinga Reino sebelum ia keluar dan menutup pintu ruangan itu, meninggalkan Reino berdua dengan Kanaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Sapta Rini
bos idaman banget ini mah 😍😍
2021-01-22
1