Reino baru saja akan menyalakan mesin mobilnya di parkiran kantor ketika terdengar suara petir menggelegar di langit. Rupanya hujan akan segera turun. Ia memacu perlahan kendaraannya keluar dari area parkir. Di luar, ternyata mendung hitam telah menggelayut, seakan tak mampu lagi menampung air hujan. Reino menghela nafas. Ia teringat akan Kanaya. Apakah ia sudah sampai di rumah? Pasti sebentar lagi hujan deras.
"Ayo, Nay. Angkat telponnya..." gumam Reino seraya menatap layar di ponselnya.
Tak diangkat. Reino menghubungi ulang nomer tersebut hingga beberapa kali tapi nihil tak ada jawaban. Kemana dia? ucap Reino dalam hati.
Hujan gerimis mulai turun membasahi bumi. Hal ini tentu saja membuat Reino semakin khawatir. Ia tidak bisa membayangkan Kanaya naik ojek dalam keadaan hujan seperti ini. Seharusnya ia tadi mengantar gadis itu tanpa peduli meskipun ia menolak.
Reino melaju perlahan dalam hujan yang semakin deras. Ia menengok kanan kiri di sepanjang jalan yang ia lalui. Ia berharap akan bertemu dengan Kanaya di jalan.
"Apa kamu sudah di rumah, Nay.." gumamnya sendiri.
Reino menepi sejenak untuk berfikir. Ia lalu meraih ponselnya dan mencari nomer Rita. Teringat cerita Kanaya waktu itu, kalau ia tinggal satu kos dengan Rita. Segera ia menghubungi Rita.
"Halo, Rit. Apa Kanaya sudah pulang?"
"Nay? Belum pak. Dia tadi pamit katanya ada lembur sampai jam 4 tapi sampai sekarang belum pulang." terang Rita.
"Lembur? Oh Oke. Terima kasih ya."
Arloji di tangannya menunjukkan pukul 17.45. Mungkinkah ia masih di kantor? Tapi seingatnya tadi tidak ada siapa-siapa di kantor.
Reino memutar kembali mobilnya ke arah kantor saat hujan turun semakin deras. Reino merasa cemas. Guyuran hujan di kaca mobil membuat pandangannya terbatas. Ia memperlambat laju mobilnya di tengah terpaan angin hingga akhirnya ia sampai di pelataran kantornya. Ia tergesa keluar dari mobil. Setengah berlari ia menuju ruang Cleaning Service yang letaknya di lantai 1 namun sepi tak ada siapapun di sana. Ia meraih ponsel di sakunya lalu mencoba menelpon nomer Kanaya lagi.
*Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan*.
"Ah sial! Kenapa malah tidak aktif!" umpatnya kesal.
Di tengah kepanikannya yang memuncak, muncul seorang sekuriti keluar dari lift.
"Selamat malam, pak. Kenapa atuh bapak masih di kantor?" tanya pak Dadang, sekuriti senior di "RR" Group.
"Saya mencari karyawan CS pak Dadang. Kanaya. Kata temannya dia lembur."
"Oh neng Kanaya? Ada pak. Tadi sih saya ketemu di belakang, sedang membereskan alat kebersihan pak."
Tanpa menunggu penjelasan pak Dadang, Reino segera mencari Kanaya di belakang. Ternyata benar. Gadis itu sedang duduk membelakangi Reino, selonjoran di teras belakang kantor sambil memijit-mijit pundaknya. Pasti ia kelelahan, gumam Reino sendiri.
"Belum pulang, Nay?" sapa Reino mengejutkan Kanaya.
Kanaya menoleh ke arah sumber suara dan terkejut melihat kehadiran Reino di sana. Kanaya segera bangkit dari duduknya lalu menghampiri laki-laki itu.
"Bapak kok belum pulang?" tanya Kanaya heran, karena ia ingat tadi sore Reino pamit pulang.
"Kamu juga kenapa masih di sini? Ini sudah malam, Nay." Reino balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Kanaya.
"Tadi saya sudah mau pulang, pak, tapi tiba-tiba di luar hujan deras. Saya ga bisa pulang. Jadi sambil nunggu reda saya lanjutkan bersih-bersih pak." jelasnya.
"Terus tukang ojek langgananmu belum datang?"
"Tukang ojek??" Kanaya bingung. Ia menggaruk telinganya yang tidak gatal.
"Iya tukang ojek. Tadi kamu bilang ke saya kalau kamu dijemput tukang ojek langganan, makanya kamu ga mau saya antar pulang." ujar Reino mengingatkan.
*Upsss...ketahuan bohong kan. Padahal tadi cuma nyari alasan aja biar ga pulang bareng si bos, sesalnya dalam hati*.
"Eh iya, pak. Anu..tukang ojeknya ga jadi jemput. Ga punya jas hujan katanya." Kanaya menjawab sekenanya hingga membuat Reino tersenyum geli.
*Kamu tidak pandai berbohong rupanya, Nay. Reino membatin*.
"Sudahlah. Ayo ikut aku." tanpa bertanya lagi Reino menarik tangan Kanaya dan membawa gadis itu pergi.
Ini kedua kali Reino menyentuh tangannya hingga membuat hati Kanaya berdebar-debar tak karuan namun ia berjalan patuh mengikuti langkah kaki bosnya hingga sampai ke pelataran kantor.
"Masuk!" perintah Reino tegas.
"Tapi, pak...." protesnya masih berusaha menolak.
"Cepat masuk, Nay. Aku akan mengantarmu pulang."
Kanaya melihat ketegasan pada sorot mata Reino yang tajam, hingga membuatnya menundukkan kepala, mengalah pada perintahnya. Ia pun segera masuk ke dalam mobil dengan perasaan tak enak.
Kanaya membisu sementara Reino mulai melajukan mobilnya meninggalkan kantor. Ia fokus mengemudi meski sesekali terlihat menoleh kepada Kanaya.
"Kenapa kamu takut sekali jika berada di dekatku? Apa aku ini menakutkan bagimu?"
"Mm..bukan begitu, pak.." jawab Kanaya tanpa melanjutkan kalimatnya.
Kanaya menundukkan pandangan, tangannya meremas ujung atasan baju seragamnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
*Duuhh pak Reino... Masa iya saya harus bilang kalau dekat dengannya jantung ini serasa mau copot saja, batinnya*.
"Saya hanya merasa tidak enak pak. Takut sama omongan orang. Nanti dikiranya saya sengaja mendekati bapak."
Lagi-lagi Reino hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Lantas sebenarnya apa kamu ada niat seperti itu?" Reino berusaha memancing Kanaya supaya mengutarakan apa yang ada di benaknya dan ia berharap Kanaya juga merasakan sesuatu di hatinya, seperti yang ia rasakan kini.
"Mendekati bapak? Ah tidak pak, tidak ada niat seperti itu." jawab Kanaya cepat hingga membuat hati Reino sedikit kecewa.
*Mana berani saya mendekati bapak? Kita ini berbeda dunia, bisik hati Kanaya*.
Berada sedekat ini dengan seorang Reino Rahardian merupakan sebuah mimpi bagi seorang wanita biasa seperti Kanaya. Kebaikan dan perhatian yang diberikan Reino harus ia tanggapi wajar seperti seorang atasan kepada bawahannya saja. Jangan sampai salah mengartikannya, begitulah Kanaya selalu mengingatkan dirinya sendiri.
"Pak, di depan toko itu belok kanan. Tempat kos saya di ujung gang itu." Kanaya memberitahu Reino.
Sesampainya di depan kos Kanaya, Reino keluar dan membukakan sisi pintu satunya. Gerimis masih turun. Reino melepas jasnya lalu menggunakannya untuk melindungi kepala gadis itu hingga sampai di teras depan.
"Terima kasih, pak." ucap Kanaya tulus dibalas anggukan kepala Reino.
"Aku pulang dulu." pamitnya.
Reino segera melangkahkan kaki menuju mobil dan pergi. Kanaya tak beranjak masuk sebelum melihat mobil Reino menghilang diujung gang.
"Eh baru pulang, Nay? Kok sampai malam begini?" sambut Rita di dalam kamar.
Kanaya meletakkan tasnya di atas kasur lalu meraih handuk dan alat mandi.
"Nunggu hujan reda. Rit. Habisnya deres banget."
"Tadi pak Reino telpon nanyain kamu loh. Aku bilang kamu belum pulang. Kedengarannya dia khawatir sama kamu." terang Rita antusias. Ia merasa kalau pak Reino menyukai sahabatnya itu.
"Barusan pak Reino yang nganterin aku pulang."
Rita membelalakkan kedua matanya.
"Seriussss???"
"Iyaaa, Rit."
"Terus gimana??" tanya Rita semakin penasaran saja. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan Kanaya darinya.
"Ya ga gimana-gimana, Rit. Pak Reino langsung pulang."
Rita menghela nafas kesal.
"Kamu itu ya ga ada basa-basinya. Harusnya itu kamu persilahkan dia masuk. Kasih minum kek. Kan kasihan udah jauh-jauh nganter juga, masa ga dapat apa-apa." omel Rita panjang.
"Ga ah. Entar apa kata ibu kos, laki-laki kok dibiarin masuk." ujar Kanaya mencari alasan demi membenarkan sikapnya.
"Yeee... ga apa-apa juga kali kalau cuma bertamu di ruang tamu. Ibu kos juga ga bakal marah, kecuali kalau nginap. Hehe."
Kanaya melotot. Ditinggalkannya Rita yang masih terkekeh di dalam kamar. Ia segera menuju kamar mandi karena seluruh badannya terasa lengket oleh keringat. Hari ini melelahkan sekali, batin Kanaya.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Kanaya duduk di atas kasur, meraih ponselnya dari dalam tas.
"Batreinya habis." Kanaya mengambil charger dari nakas di dekat tempat tidur.
Setelah beberapa saat ia baru bisa menyalakan ponselnya. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan semua panggilan itu dari Reino. Kanaya mengeryitkan dahi.
*Jadi dari tadi pak Reino berusaha menghubungiku? Apa dia mencemaskanku? tanya hatinya*.
Kanaya merasa bersalah. Benar kata Rita. Seharusnya tadi ia mempersilahkan Reino masuk barang sebentar, sekedar sebagai ungkapan terima kasih karena telah mengantarkannya pulang.
\*Aku harus minta maaf, ujar Kanaya dalam hati\*.
Kanaya mengetik sebuah pesan untuk Reino lewat aplikasi chatting. Berharap Reino tidak tersinggung atas sikapnya tadi.
Kanaya : Maaf pak tadi baterai saya habis, jadi tidak tahu kalau bapak menelpon😅
...............................
Tidak ada balasan. Kanaya menunggu sambil melamun di atas tempat tidur. Namun yang ditunggu justru tak kunjung membalas.
"Rit, apa pak Reino marah ya? Dia ga balas chat ku."
Rita menoleh, lalu membetulkan posisi duduknya di samping Kanaya. Ia memperhatikan raut wajah sahabatnya itu dengan seksama.
"Itu mungkin aja, Nay. Besok di kantor kamu harus minta maaf langsung ke pak Reino." saran Rita padanya.
"Aku ga berani, Rit. Kalau di kantor kan ga mungkin aku ke ruangannya. Ga enak tahu diliat karyawan lain." Kanaya menghela nafas panjang.
"Kamu pura-pura aja mau bersihin ruangannya. Kan ga bakalan ada yang curiga."
Kanaya berpikir sejenak. Mungkin Rita benar. Membersihkan ruangan kantor kan termasuk dalam tugas hariannya. Ini kesempatannya untuk meminta maaf pada pak Reino.
"Oke deh, besok aku coba." jawab Kanaya lega.
---------------------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments