Kanaya segera turun dari mobil menyusul Reino. Keduanya disambut seorang perempuan paruh baya di depan pintu rumah besar itu.
"Selamat datang, tuan." sambut perempuan itu sopan sembari memberi isyarat agar keduanya segera masuk ke dalam.
"Terima kasih, bi."
Reino menarik tangan Kanaya agar mengikutinya masuk ke dalam rumah. Gadis itu bingung. Sebenarnya ini rumah siapa sih? Kenapa tidak langsung ke hotel saja? Seharusnya kan ia berada di hotel bersama teman-teman lainnya? Banyak pertanyaan berkecamuk di pikiran Kanaya sekarang hingga akhirnya ia berani membuka mulut untuk menjawab rasa penasarannya.
"Maaf, pak. Kenapa kita ke sini?"
Reino yang baru saja melepas tas pinggangnya spontan menoleh.
"Ini rumahku." jawab Reino singkat. Ia meletakkan tas pinggangnya di meja ruang tamu. Sekilas ia melihat raut wajah Kanaya yang semakin bingung.
"Sini duduk dulu." ujar Reino sambil menepuk sofa mengisyaratkan agar Kanaya duduk di sampingnya. Gadis itu menurut saja. Ia mengambil tempat di sisi Reino namun tetap memberi jarak antara keduanya.
"Kenapa jauh-jauh gitu? Takut ya?" Reino tersenyum menggodanya.
Kanaya tersipu. Kenapa laki-laki itu begitu mudah menebak isi kepalanya.
"Bukan begitu, pak. Hanya saja kita hanya berdua di ruangan ini, saya merasa tidak nyaman." jujur Kanaya akhirnya.
*Pantas dari tadi kamu lebih banyak diam, Nay. Tidak seperti sahabatmu, Rita, yang mirip petasan cina. Reino tersenyum*.
"Tadinya, mau langsung ke hotel. Tapi hari ini acara bebas kok. Besok pagi baru kita jalan-jalan keliling Bali. Jadi aku putusin buat mampir sebentar ke sini. Ini rumah orang tuaku, biasanya kami pakai untuk berlibur saja." panjang lebar Reino menjelaskan namun Kanaya masih tak bisa menangkap maksudnya.
*Lalu untuk apa aku diajak ke sini? batin Kanaya bertanya-tanya*.
"Tapiii..nanti saya diantar kembali ke hotel kan pak? Rita belum tahu kalau saya di sini. Hape saya batreinya habis pak." Kanaya berkata dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Reino, karena sejujurnya gadis itu sedikit takut bila harus berduaan dengan laki-laki.
"Kamu tenang saja, Nay." Reino menangkap kekhawatiran yang dirasakan gadis di sampingnya itu. "Setelah makan siang, kita kembali ke hotel. Sebenarnya, Rita dan Dewi tahu kalau kamu sama aku."
"Maksud bapak?" tanya Kanaya mengerutkan dahinya tanda heran.
"Memang kamu pikir kita ketemu di parkiran bandara itu cuma kebetulan?"
"Lalu?" rasa penasaran Kanaya bertambah besar. Tanpa sadar Kanaya beringsut mendekati Reino, menunggu laki-laki itu melanjutkan ceritanya. Kini mereka duduk berhadapan di atas sofa.
"Tadi itu pas rombongan sudah naik ke bus, aku lihat Rita dan Dewi masih ada di pintu keluar nungguin kamu, Nay. Mereka bilang kamu masih ke toilet. Ya sudah aku bilang ke Rita, biar kamu bareng aku aja. Aku suruh mereka berangkat dulu karena yang lain sudah nunggu di bus. Kamu sih lama banget ke toiletnya." Reino menyentil lembut dahi Kanaya sontak membuat gadis itu malu. Sentuhan kecil itu membuat hatinya berdesir halus.
Reino menyadari perubahan wajah Kanaya yang selalu tersipu saat ia melakukan kontak fisik pada gadis itu sejak pertama kali bertemu, memboncengnya di sepeda motor, menggandeng tangannya serta menyentuh dahinya seperti barusan. Ia bertanya dalam hati, mungkinkah ini pertama kalinya bagi gadis itu bersentuhan dengan lawan jenis?
Reino adalah laki\-laki idaman semua wanita. Fisiknya yang nyaris sempurna dan didukung oleh kekayaan yang dimiliki keluarganya, tentu saja menjadi magnet tersendiri bagi kaum hawa. Sudah menjadi hal biasa jika setiap waktu ada saja wanita yang berusaha mendekatinya. Entah itu dengan ketulusan atau hanya demi hartanya saja. Namun, itu tak membuat Reino mudah jatuh cinta begitu saja. Selama ini ia belum pernah merasa benar\-benar jatuh hati pada seorang wanita, tetapi pada Kanaya, ia merasakan hal yang berbeda.
"Pak... Pak Reino kok melamun sih?"
Kali ini Reino yang dibuat salah tingkah. Kanaya menguncang lengannya barusan, membuyarkan imajinasinya tentang kisah cinta dalam kehidupannya.
"Maaf, Nay." ucapnya gelagapan. "Cuma kecapean aja kok." Reino nyengir. Untuk mencairkan suasana ia bangkit dari sofa, mencari Bik Inah di dapur.
"Bik... Masakin mie rebus dong. Dua ya?" pinta Reino begitu melihat bik Inah sibuk di dapur.
"Loh, kok mie rebus, tuan? Ini bibik mau masak rendang kesukaan tuan Reino."
"Masak rendangnya nanti aja. Aku pengen mie rebus buatan bik Inah. Jangan lupa kasih telor mata sapi ya?" pintanya manja pada bik Inah, orang yang telah menjadi pengasuhnya sejak masih bayi.
Reino berlalu meninggalkan dapur lalu kembali ke ruang tamu mencari Kanaya. Namun, gadis itu tidak ada. Ia telusuri beranda depan hingga ke taman pun tidak kelihatan batanv hidungnya.
\*Kemana kamu, Nay? gelisah Reino mencarinya\*.
Tak lama mencari, Reino melihat Kanaya di sisi lain rumahnya, sedang duduk di atas ayunan panjang dari kayu sambil memandang ke arah laut. Reino menatapnya dari kejauhan. Rambut Kanaya tergerai tertiup angin. Pandangannya jauh menerawang. Sesekali ia ayunkan kakinya agar ayunan itu tetap bergerak.
Reino berjalan menghampiri Kanaya tetapi ia tidak menyadari kedatangan Reino di belakangnya. Kanaya sedang memejamkan mata menikmati hembusan angin di wajahnya. Seumur hidup ia belum pernah pergi liburan. Liburan termewah baginya adalah pergi mudik ke rumah kakeknya di kota sebelah kampung halamannya yang berjarak hanya 2 jam perjalanan saja. Itu saja ia sudah bersyukur.
"Sedang apa, Nay? Di sini kencang loh anginnya." tegur Reino sembari duduk di sisi Kanaya.
"Iya, pak. Tapi saya suka. Ini pertama kalinya saya bisa pergi berlibur. Jujur saya belum pernah ke Bali pak." Kanaya mengakuinya dengan lugas.
"Kalau begitu besok kamu puas-puasin jalan-jalan." ujar Reino, tangannya tiba-tiba saja membelai anak rambut Kanaya dan menyelipkannya ke belakang telinga.
*Duh gusti, kenapa hati ini berdebar\-debar? Rasanya jantungku mau copot, bisiknya dalam hati*.
Kanaya mengalihkan pandangan ke arah lain, menghindari dua bola mata Reino yang memandangnya lekat.
"Tuan, sini makan dulu. Mienya sudah siap di meja." bik Inah melambai, memaksa keduanya untuk segera masuk.
"Kalau boleh saya pinjam charger ya, pak?"
"Di tas pinggangku ada. Ambil saja. Oh ya, Nay, jangan panggil bapak dong. Ini kan di luar kantor. Panggil Reino aja. Atau mas Reino." ujar Reino ketika keduanya sudah berada di meja makan.
'*Mas Reino' Kanaya mengulangnya dalam hati. Kenapa jadi aneh memanggilnya dengan sebutan 'mas' sekarang. Kanaya garuk\-garuk kepala*.
"Ayo dimakan, Nay. Nanti keburu dingin jadi ga enak."
"Iya, pak. Eh maksud saya mas, Reino." ralatnya terbata. Dengan cepat ia menyendokkan mie ke dalam mulut dan mengunyahnya. Reino tersenyum. Ia sendiri makan dengan lahapnya. Tapi pandangannya tak beralih sedikitpun dari Kanaya yang semakin terlihat gugup di hadapannya.
***
Jam di dinding ruang tengah berdentang 6 kali. Kanaya cemas. Ini sudah malam. Tapi di luar hujan turun deras sekali. Reino memutuskan untuk kembali ke hotel esok hari saja.
"Hujannya deras sekali, Nay. Kita menginap saja ya?" ajak Reino padanya.
Kanaya tak menjawab. Ia ragu sekaligus khawatir. Sungguh tidak pantas jika seorang perempuan menginap di rumah laki\-laki. Kanaya paham betul soal itu. Melihat Kanaya terdiam, Reino mengerti. Ia tidak ingin memaksanya untuk tinggal.
"Oke. Kita ke hotel sekarang ya?"
Kanaya terkejut akan ucapan Reino. Ia memandang wajah bosnya itu, berusaha mencari tahu apakah laki\-laki itu marah aksn sikapnya.
"Mas Reino tidak usah repot ngantar. Kalau boleh biar saya pergi sama sopir mas Reino saja."
"Ga apa-apa, Nay. Ayo kita pergi sekarang."
------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Susanti Agustinah
Ceritanya bagus Thor.. ditunggu kelanjutannyaa
2020-03-25
3