“Halo, Sayang.” Nana masuk ke dalam ruang kerja Cahyo tanpa permisi, “Ada acara apa ini? Tanganmu sakit sampai minta disuapi seperti ini?” sindir Nana.
Yuni mendengus, sungguh dia sangat tidak suka bertemu dengan wanita itu saat berada di kantor Cahyo.
“Aku rasa begitu. Tanganku beberapa hari ini sangat sakit jika digunakan untuk memegang sendok, apa lagi garpu.” jawab Cahyo.
“Bagai mana dengan memegang yang lainnya?” Nana mengedipkan sebelah matanya.
“Apa kamu tidak malu?” Yuni mengatakan itu tanpa menoleh sedikit pun ke Nana, bisa dikatakan dia marah, bisa juga disebut jijik. Entah, yang Yuni tahu dia sangat geram saat ini.
“Hahahahahaha.” Cahyo terbahak, “Kau sangat manis, Sayang.” Cahyo memuji Yuni.
“Apa masalahmu, Nona?” Nana lebih mendekat lagi, kurang beberapa langkah dan dia siap merob-ek mulut yang tidak tahu diri itu.
“Aku rasa aku akan menyuapimu lagi nanti, Mas. Aku bawa ini dulu ke luar.” Yuni segera mengemasi mangkuk dan piring yang isinya sudah berpindah ke dalam perutnya dan juga Cahyo. Dia akan membawanya keluar dari tempat yang kini berubah panas ini.
“Iya, Yun.” Cahyo mengangguk dan meraih air mineral yang selalu tersedia di sebelah tempat duduknya.
Nana yang melihat Yuni berjalan ke luar dengan membawa nampan berisi piring kotor itu hanya menyeringai, “Kau memang pantas membawa itu, apa lagi jika ditambah dengan lap yang tersampir di pundakmu itu.”
Yuni tetap diam saja. Namun, saat berada di ambang pintu, Yuni berbalik dan melihat Nana yang berjalan mendekati Cahyo, “Setidaknya mulutku masih suci karena aku tidak memasukkan semua hal yang menjijikkan ke dalam mulutku yang berharga ini.”
Nana segera berbalik, napasnya yang naik turun dan matanya sedikit melotot, dia siap membu-nuh Yuni yang seperti sedang mengejeknya.
“Hahahahahaha.” Cahyo yang mendengarkan itu malah menikmati pertunjukan sekarang.
Nana pun berbalik dan mengerutkan keningnya mendengar tawa yang terkelakar dari Cahyo, “Kau meledekku juga?”
“Tentu saja tidak. Tapi aku hangat suka melihat Yuni lebih berani menghadapimu.” jujur Cahyo.
“Itu karena hatimu sudah tertarik kepadanya.”
“Apa itu salah?”
“Apa itu salah?!” Nana sedikit menaikkan nada bicaranya, “Kau menanyakan hal seperti itu kepadaku?”
Cahyo terkekeh, “Itu wajar karena kita sudah tinggal serumah selama hampir dua tahun. Aku rasa tidak masalah dengan hal itu.”
“Kau---“
“Apa kamu ke mari hanya untuk membahas hal yang tidak penting seperti ini?” Cahyo memotong ucapan Nana dengan cepat.
Nana mendengus, menarik napasnya berkali-kali agar emosi dalam tubuhnya menurun, dan mendekati Cahyo langi, “Tidak.”
“Lalu?”
“Aku ingin membahas proyek yang sedang berlangsung di Gersik.” Nana memang ingin membahas hal itu tadi, tapi saat melihat pemandangan menjengkelkan tadi, membuatnya merasa sedikit terbakar.
Cahyo dan Yuni sudah pulang ke rumah saat ini. Entah kepala Cahyo rasanya sangat pusing setelah membahas proyek di Gersik dengan Nana tadi sore.
“Apa mau aku pijit?” tawar Yuni.
Cahyo hanya mengangguk. Memosisikan kepalanya di atas pangkuan Yuni dan mulai memejamkan matanya saat tangan halus itu memutar dan memijit kepalanya.
“Apa lebih baik?” tanya Yuni setelah beberapa saat.
“Sepertinya aku akan ke luar kota selama beberapa minggu.”
“Dengan ... Nana?”
Cahyo terkekeh, mendengar kalimat itu rasanya sangat lucu, “Tidak. Mungkin dengan Surya, Nana tidak akan bisa diandalkan jika ikut ke sana.”
Yuni tersenyum, setidaknya Cahyo memang melakukan pekerjaannya di sana.
“Kenapa diam? Apa sudah lega?”
“Memangnya kenapa?”
Cahyo terkekeh lagi, “Aku suka melihatmu cemburu. Apa kau mulai menyukaiku?”
Yuni sedikit menjambak rambut Cahyo lebih kencang.
“Au?! Ada apa denganmu, Yun. Kau akan membuat rambutku rontok dan terlihat jelek.” Cahyo melotot sambil mengusap rambutnya sendiri.
“Itu karena Anda menjengkelkan, Mas Cahyo.”
“Hahahahahaha. Baru kali ini ada orang memanggil Anda tapi dengan sebutan ‘mas’”
“Mas!”
“Hahahahahahaha.” tawa Cahyo semakin kencang saat Yuni memukul pundaknya. Dia merasa sangat lucu melihat Yuni yang jengkel karena tingkahnya, melihatnya tertawa dan kesal bersamaan, membawa kepuasan tersendiri di hati Cahyo.
Yuni yang melihat Cahyo sudah terlelap di atas pangkuannya membuatnya tidak tega jika harus memindahnya ke posisi yang lebih nyaman lagi, Yuni kawatir Cahyo akan terbangun dan membuat kepalanya pusing lagi. Yuni pun memilih ikut tidur dengan masih duduk bersandar di bantalan ran-jang, dia pun suka jika Cahyo bisa senyaman ini jika berada di dekatnya.
***
Yuni menggeliat, tidurnya sangat nyaman dan hangat. Saat perlahan dia membuka matanya dan menemukan Cahyo yang berjarak terlalu dekat, membuat napasnya menjadi sedikit sesak. Entah kapan dia sudah berbaring di sini dan Cahyo juga sudah memeluknya dengan sangat erat, karena Yuni pun juga tidak pernah merasa mengubah posisi tidurnya sejak melihat Cahyo terlelap semalam.
Dengan perlahan dia menyisihkan tangan kekar Cahyo yang membelitnya, dan berniat bangun pagi seperti biasanya.
“Jangan banyak bergerak. Aku mengantuk, biarkan begini sebentar saja.” suara Cahyo terdengar sangat berat dan membuat tubuh Yuni kaku.
Yuni pun hanya bisa diam dan menurut meski rasanya aneh karena semakin hari dia merasa Cahyo semakin dekat dengannya meski tidak pernah melakukan hal yang berlebihan.
Yuni merasa tubuhnya terguncang pelan. Dia membuka matanya malas dan menemukan Cahyo yang berdiri di sebelahnya dengan hanya memakai handuk yang melilit pinggangnya saja.
“Mana baju yang harus kupakai?” tanya Cahyo.
Yuni yang belum sepenuhnya sadar hanya bisa mengerutkan keningnya dan mengerjap-kerjapkan matanya, tidak paham dengan apa yang Cahyo katakan.
“Aku harus berangkat ke Gersik, bajuku mana, Yun? Ini sudah hampir jam delapan.”
Yuni yang mendengar itu segera bangkit dari tidurnya dan berjalan dengan cepat ke ruang ganti. Mencari setelan yang menurutnya pas dikenakan Cahyo dan segera menyerahkannya. Setelah itu barulah dia ke kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alamnya, dan pergi ke dapur untuk membuatkan Cahyo susu jahe seperti biasanya.
“Hati-hati, Sayang.” Mama Cahyo memeluk anak semata wayangnya, beliau biasa melakukan hal itu saat Cahyo akan bepergian dan menginap, papanya pun juga melakukan hal yang sama. Sejengkel apa pun orang tua dengan anaknya, mereka akan tetap menyayanginya seperti sebuah kacang yang selalu melindungi isinya, meski terkadang mereka terbuang saat orang menganggap isi itu lebih berguna dari pada hanya sekedar kulitnya saja.
“Iya, Ma, Pa. Yun, aku berangkat dulu.” Cahyo memeluk Yuni dengan erat, ada rasa kecewa karena tidak bisa mengajaknya ikut serta ke Gersik bersamanya.
“Mas, hati-hati di sana.”
Orang tua Cahyo yang ingin memberi waktu untuk anaknya, memilih masuk ke rumah lebih dulu. Mereka yakin Yuni dan Cahyo ingin mengatakan sesuatu yang tidak mau didengar oleh mereka.
“Ingat, Yun. Kalau aku melihat Hendra lagi di sekitarmu, aku akan langsung pulang dan memb-unuh bocah ingusan itu.”
“Mas, aku sama Hendra gak ada apa-apa.”
“Nyatanya ...”
...
“Dia menyukaimu.”
Yuni terkekeh, memeluk Cahyo sedikit erat karena dia memang menginginkannya saat ini, “Aku senang Mas bilang gitu.”
“Maksudmu kamu senang setelah tau Hendra menyukaimu?”
Yuni segera melepas pelukan itu dan bersedekap dada, “Kau sangat menjengkelkan, Mas.”
“Hahahahahaha. Aku memang setampan itu.”
“Mas?!” pekik Yuni.
Cahyo semakin terbahak melihat Yuni yang semakin kesal, melihat bibir mengerucut itu membuat Cahyo gemas. Dengan gentle dia pun langsung menyam-barnya dan melum-atnya, menye-sapnya dalam dan memainkan lidah itu sebentar.
Lama, bahkan sangat lama rasanya Cahyo tidak melakukan hal itu dengan Yuni. Dan entah, rasanya dia rindu dan ingin lebih lagi meski Cahyo sangat sadar waktunya sangat terbatas saat ini.
“Oh, kalian menodai mataku yang masih suci ini.”
Cahyo segera melepas bibir Yuni dan mencari sumber suara yang berani mengganggu waktu bersenang-senangnya, “Kapan kau datang? Sepertinya aku tidak pernah mengundangmu?” ledek Cahyo saat melihat Surya sudah berada dekat di belakangnya dengan pintu mobil yang terbuka, bahkan Cahyo tidak mendengar suara mobil mendekat tadi.
“Itu karena ciumanmu yang seperti raja hutan yang siap menerkam mangsanya saja, padahal tempat ini tidak begitu romantis, mau saja kamu Yun dicium di tempat seperti ini.” ledek Surya.
Yuni yang mendengar itu pun hanya bisa merasakan panas di pipinya.
“Jawab saja, ngapain ke sini?” tuntut Cahyo.
“Mobilku sedang tidak baik, aku akan menaruhnya di sini dan berangkat bersamamu.”
Cahyo mengerutkan keningnya, “Kau sangat tidak sopan berani nebeng dengan bos besar sepertiku.”
“Ah ... itu hanya formalitas saja, karena aku tetap temanmu di luar jam kerja seperti ini.”
Yuni pun terkekeh, dia memang tahu kalau Cahyo dan Surya sudah berteman sejak di bangku kuliah, “Sudah, Mas berangkat aja sama Surya biar ada teman ngobrolnya, ini juga sudah siang.”
“Kau berani mengusirku dari rumahku sendiri?” Cahyo menoleh ke Yuni.
“Jangan berciuman lagi, ayolah kita berangkat sekarang juga.” Surya berjalan dan mendekati mobil yang biasa digunakan Cahyo, dia tidak ingin melihat banyak drama setelah tahu Cahyo berjalan mendekati Yuni lagi.
Yuni terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangannya.
“Lihat! Dia sangat kurang ajar sekali.” Cahyo mendekati Yuni menge-cup bi-bir itu sekali dan cepat, “Aku berangkat.”
“Hati-hati, Mas.”
“Jangan sampai aku mendengarmu bertemu dengan Hendra saat aku tidak ada.”
Yuni mengangguk, “Iya, Mas. Aku janji.”
Cahyo pun mengangguk, men-cium bi-bir itu sekali lagi, dan benar-benar berangkat sekarang. Meninggalkan rasa yang seperti tinggal separuh meski dia sendiri pun tidak tahu itu apa artinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
Cahyo udah bucin tuh..
2023-05-25
1
Ayan Reva
next donk kak
2021-05-11
1
Susana
segitunya A'a Cahyo?? ☺☺
2021-05-10
1