Yuni yang sekarang sudah berbeda. Selain jatah bulanan dari Cahyo, penghasilan dari toko bunganya juga membuatnya memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan.
Perlahan selera busananya pun juga berubah, meski keseluruhan penampilannya tetap sama, tapi Yuni sedikit merekah sekarang. Seperti kuntum bunga yang siap untuk mekar dan memikat banyak kumbang, begitulah Yuni sekarang.
Cahyo pun tidaklah bu-ta. Dia cukup senang melihat perubahan besar dalam diri Yuni. Cahyo merasa Yuni sangat pantas menyandang gelar sebagai nyonya Cahyo. Bahkan Cahyo pun akan tersenyum sendiri jika mengakui hal itu.
“Mas, sudah siap?” tanya Yuni saat melihat Cahyo terus saja tersenyum di depan cermin. Mereka akan menghadiri undangan makan malam salah satu rekan kerja Cahyo sekarang.
Cahyo berbalik dan mengangguk, menggandeng tangan itu, dan membawanya beriringan untuk segera berangkat saat ini juga.
Acara sangat formal malam ini, Cahyo senang Yuni sudah mulai terbiasa saat datang ke acara seperti ini. Jika dulu Yuni sering mengeluh saat diajaknya, kini Cahyo yang mengeluh karena kadang Yuni dinilai terlalu akrab dengan istri para kliennya.
“Mas, aku ke toilet sebentar.” bisik Yuni dan diangguki oleh Cahyo.
Yuni baru saja keluar dari toilet saat dirinya tidak sengaja bertemu dengan Hendra yang juga sama-sama keluar dari toilet, “Sedang apa?”
Hendra terkekeh, “Lihat! WOW ... apa ini Yuni yang aku kenal?”
“Jangan meledekku seperti itu.” Yuni memukul lengan Hendra pelan.
“Aku tidak pernah bertemu denganmu di kantor?”
“Iya, aku jualan bunga sekarang. Di perempatan dekat jalan Seruni.”
“Ya. Aku tau itu, apa aku boleh mampir kapan-kapan?”
“Tentu saja. Tapi maaf aku harus segera kembali ke mejaku.”
“Oh ... ya. Maaf sudah menahanmu terlalu lama.”
Yuni tersenyum, mendadakan tangannya dan segera meninggalkan Hendra.
“Kok lama, Yun?” tanya Cahyo setelah Yuni kembali duduk di sebelahnya.
“Maaf, Mas. Tadi ketemu sama temen di toilet.”
Cahyo hanya mengangguk mengiyakan Yuni.
Cukup malam acara makan malam ini selesai. Cahyo dan Yuni sampai di rumahnya jam sepuluh lebih. Dengan badan yang lelah, Cahyo segera merebahkan tubuhnya di ran-jang tak memedulikan pakaiannya yang masih lengkap dengan dasi dan juga sepatu yang dikenakannya dari tadi.
Yuni yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya bisa menggeleng melihat Cahyo yang sudah terlelap, padahal Yuni pun sangat yakin, tubuh lelah itu pasti terasa sangat lengket.
Dengan telaten Yuni melepas sepatu dan juga dasi Cahyo, melonggarkan ikat pinggang dan juga kancing kemejanya, serta membuat Cahyo senyaman mungkin. Dielusnya rahang tegas yang ditumbuhi bulu agak kasar itu, dan tersenyum setelahnya. Yuni tak pernah lelah membayangkan pernikahannya yang seharusnya indah, bahkan berdoa pun Yuni selalu melakukannya, entah sehari berapa kali. Yuni yakin, Tuhannya pasti selalu mendengar doa itu dan akan mengabulkannya suatu saat nanti.
***
Yuni sedang sibuk di toko bunganya siang ini. Saat dua pekerjanya sedang melayani konsumennya, Yuni malah sibuk menata karangan bunga spesial untuk orang yang juga spesial hari ini. Ratih ulang tahun dan Yuni ingin memberinya kejutan beberapa jam lagi. Ratih merintis toko kue tak jauh dari tempat Yuni, bukan hanya hari ini, di hari-hari yang lain pun kadang mereka juga sering bertemu dan jalan bersama.
“Mbak Yuni, ada tamu.” kata salah satu pekerja di toko bunga Yuni.
“Siapa?”
“Namanya Hendra, Mbak.”
Mendengar itu Yuni segera meninggalkan pekerjaannya dan keluar untuk menyambut Hendra, “Makasih udah dateng.”
“Tentu dong, udah makan belom? Kita cari makan, yuk?”
“Bentar. Yuk ikut masuk, aku lagi bikin bunga buat Ratih.”
“Ratih?” Hendra mengikuti Yuni yang berjalan memasuki toko miliknya.
“Jangan bilang kamu lupa kalo sekarang ultahnya Ratih.”
Hendra terkekeh sambil menganggukkan kepalanya.
Yuni yang gemas segera memukul Hendra, sungguh tidak menyangka Hendra bisa melakukan hal itu kepada sahabatnya sendiri, “Dasar kamu, ya ... .”
Hendra malah terbahak sambil memegangi lengannya yang baru saja diserang oleh Yuni, “Dah buru kelarin, entar keburu habis jam makan siangku.”
Pilihan yang bagus. Yuni pun memilih cepat menyelesaikan rangkaian bunga itu agar cepat bisa bertemu dan merayakan ultah Ratih.
“Selamat ulang tahun.” teriak Yuni yang baru saja masuk ke dalam toko kue Ratih dan segera memeluk sahabatnya itu.
“Aaaaaa ... bunganya indah bangetttt, makasih ya, Cantikku. Kamu? Tumben inget aku?” Ratih yang baru saja tersenyum lebar segera meleruk saat menemukan Hendra di antara dirinya dan juga Yuni.
Hendra terkekeh, “Aku kerja kaleee, kan aku juga musti mentingin anak panti dari pada sering ngapelin kamu dan berakhir dengan dipecat tidak jelas.
“Enak aja. Emang aku mau gitu kamu apelin?”
“Dah, dah, dah, yuk makan kue aja, masak ultah gak ngasih kue buat tamu?” Yuni memilih segera melerai dua sahabatnya itu agar tidak terjadi perdebatan lebih panjang lagi. Yuni sangat sadar, jika Hendra dan Ratih bertemu, pasti ada saja pertengkaran. Entah itu penting atau bahkan tidak penting sama sekali.
“Tentu saja. Tunjuk yang kamu mau, hari ini gratissss!” Ratih terkekeh setelah mengatakan itu, dia sangat senang Yuni selalu ada meski kesibukan mereka sekarang sering membuatnya jarang memiliki banyak waktu untuk menonton film atau pun hanya nongkrong di mall.
Banyak yang tiga orang itu obrolkan, memang kalau sudah bertemu seperti ini, waktu berapa pun rasanya tetap kurang. Dan mereka akan selalu melewatkan setiap detiknya dengan kalimat demi kalimat yang tidak pernah terputus sedikit pun.
Cahyo... “Ke mana Yuni?” tanya Cahyo yang melihat ruang istirahat Yuni di toko tidak dihuni oleh siapa pun.
“Mbak Yuni keluar, Pak Cahyo.” Jawab salah satu pekerja Yuni.
“Keluar?”
“Iya, tadi Bang Hendra ke sini trus Mbak Yuni keluar sambil bawa bunga yang besar.”
Cahyo yang mendengar itu segera berbalik. Masuk ke dalam mobilnya dan kembali ke kantor.
Sebenarnya dia ingin mengajak Yuni makan siang bersama tadi, tapi mendengar nama Hendra membuat nafsu makannya hilang sudah. Entah kenapa nama itu selalu sukses membuatnya di puncak kemarahannya.
Cahyo yang baru pulang dari kantornya dan melihat Yuni sedang berdandan di depan meja riasnya, segera mendekati Yuni dan bersedekap dada, melihat bayangan itu memalui pantulan kaca besar di depan Yuni dan menatapnya dengan tajam siap untuk memangsanya.
“Kenapa, Mas?” tanya Yuni tanpa menghentikan kegiatannya yang sedang sibuk mengoleskan entah apa ke wajahnya yang kian mulus dan berseri itu.
Cahyo tidak menjawab pertanyaan itu. Bukan karena tidak mendengarnya, dia hanya marah dan kesal dalam waktu yang bersamaan.
Yuni yang merasa tidak enak segera menghentikan kegiatannya dan berbalik menatap Cahyo, “Mas?”
“Kamu ingin cerita sesuatu?” tanya Cahyo singkat.
“Maksud, Mas? Cerita apa?”
Cahyo hanya mengedikkan punggungnya bersamaan.
Yuni tampak berpikir sebentar lalu menatap Cahyo lagi, “Sepertinya tidak ada, Mas.” Yuni berbalik berniat untuk menyisir rambutnya yang agak basah karena dia baru saja selesai mandi tadi.
Cahyo yang merasa geram segera berdiri, mencakup rambut Yuni sekenanya dan sedikit menariknya, “Aku. Tidak. Suka. Melihatmu. Mulai. Pintar. Berbohong. Seperti. Ini.”
“Ah ... ampun, Mas. Aku tidak berbohong sedikit pun.” Yuni memegangi kepalanya agar Cahyo tidak terlalu kencang saat menarik rambutnya, sungguh ini sangat sakit.
Cahyo yang tampak tidak peduli, semakin mengencangkan tarikannya dan menempelkan bibirnya di telinga Yuni, “Sekali lagi aku tau Hendra mengajakmu keluar ... aku akan membuat rambut ini terlepas dari kepalamu.”
“Aku tidak melakukan hal yang aneh, Mas. Ratih ulang tahun dan kita merayakannya bertiga.” buliran bening itu sudah terjun bebas dari tadi, rasanya sangat pedih dan semakin sakit.
“Aku menurutmu aku percaya?”
Yuni menggeleng meski itu sangat sulit dia lakukan.
Dilepasnya dengan keras rambut itu sampai tubuh Yuni sedikit terguyung, Cahyo menepuk-nepukkan tangannya seakan melempar kuman yang menempel di telapak tangannya dengan jijik, dan menunduk lagi mendekati Yuni yang masih bergeming di tempatnya, “Kau tau kenapa aku tidak pernah menyentuhmu selama ini?”
Yuni menggeleng, bukan karena dia tidak tahu, tapi karena dia tidak mau mengeluarkan apa pun yang dia tahui.
“Karena kau sangat menjijikkan. Kau bekas Hendra dan aku tidak mau menyentuhmu karena kau sudah bekas orang lain.”
Yuni semakin keras menggeleng, pipinya sudah terlalu basah dan hatinya sudah terlalu sakit. Entah bagaimana bisa Cahyo berpikir sangat buruk tentangnya, jangankan melakukan hal sehina itu, memikirkannya saja bahkan Yuni tidak pernah, dan kalimat Cahyo sungguh mengiris perasaannya.
Cahyo yang geram segera keluar dari kamar itu dan membanting pintu kamarnya untuk meluapkan kemarahannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
hahaha yg menjijikan itu bukan nya dia yah?🤣🤣🤣 yg gak mau lepas dari perempuan mu ra han itu...
2023-05-09
1
Aisyah Usman
Cahyo ini ya knp kasar gt sih... tp author ga mau ngaku
2021-05-06
1
Yoon Hee
biasanya q gak suka novel yg masih on going. tp berhubung tokohnya ada yg bernama yuni. jd agak gmn gitu. . .
yahhh... nama asliku yuni...
bikin yuni ini senang dong thor. jgn sedih mulu
2021-05-06
4