“Hey! Mau ke mana?”
Yuni menoleh dan tersenyum. Setelah mengenal seseorang yang menyapanya dari atas motornya itu, “Aku mau pulang? Kamu dari mana, Hen?”
“Aku anter, yuk?” Hendra segera menepuk jok belakang motornya dan mengulurkan helm yang selalu di bawanya ke mana pun, itu hanya untuk berjaga jika menemukan orang di jalan dan dia harus mengantarnya, seperti saat ini.
Bukannya mengantar Yuni pulang, Hendra malah mengajaknya mampir ke toko kue dan mengajaknya masuk. Yuni yang awalnya menolak pun ikut masuk juga karena tidak enak jika mengabaikan ajakan kecil itu, padahal Hendra sudah mau mengantarnya.
“Kok banyak, Hen?” tanya Yuni sambil membawa satu kardus besar berisi kue bronis coklat yang tampak menggiurkan itu.
“Iya. Kamu keberatan gak kalau aku ngantar kue itu dulu? Gak jauh trus searah juga sama alamat yang kamu bilang tadi?”
“Iya , gak papa.”
Suasana ramai langsung menyambut kedatangan Yuni dan Hendra. Bahkan kue yang dibawa Hendra setelah memintanya ke Yuni pun, sudah ditarik dengan paksa oleh sekerumunan anak kecil yang menyambutnya tadi.
“Kamu sering ke sini, Hen?” tanya Yuni sambil menatap anak-anak yang menikmati kue bronis itu.
Hendra mengangguk, “Iya, aku besar di sini. Sekolah sambil kerja, trus sekarang udah agak enakkan kerjanya, aku nabung buat kuliah. Mangkanya aku ngebet biar cepet lulus skripsinya jadi bisa masuk perusahaan besar.” Hendra memang yatim piatu, berbeda dengan Ratih yang anak orang berada, meski mereka berteman sejak SMA.
“Aku salut sama kamu, Hen. Moga aja cepet lulus dan bisa bekerja di tempat yang kamu mau.”
“Kamu sendiri? Kenapa masuk kuliahnya telat?”
Yuni tersenyum miris, menertawakan hidupnya yang suka bercanda, “Aku tidak betah di rumah. Aku juga ingin kuliah dari dulu, jadi aku masuk juga telat, tabunganku masih tujuh juta waktu awal masuk itu.”
“Bukannya suami kamu orang kaya?” Jawaban Yuni terdengar ambigu, berbalik dengan kenyataan yang selalu dilihatnya.
Yuni yang sadar telah melakukan hal yang salah, sedikit gelagapan dan membuang mukanya, “Yuk pulang, Hen. Aku lelah.”
Hendra terkekeh. Setelah berpamitan dengan ibu panti, Hendra pun mengantar Yuni pulang.
Sore ini suasana cukup ramai. Saat ada anak yang tiba-tiba berlari menyeberang di jalan area perumahan, karena mereka hampir sampai di rumah Yuni, Hendra menarik rem motornya agar tidak sampai menabrak anak itu, “Buk, anaknya Buk?!” Hendra sedikit berteriak agar ibu dari anak itu menyadari anaknya sudah kabur dari pengawasannya.
Laju motor yang cepat dan tarikan rem yang kencang pun membuat dudukan Yuni merosot ke depan dan membuatnya menabrak tubuh Hendra dan langsung memeluknya dai belakang, “Maaf, Hen. Aku gak sengaja.”
Lihat. Bahkan sesuatu yang menabrak dengan kenyal itu terasa mengganggu sekarang, “Gak papa, kamu juga gak papa, kan?”
“Enggak kok,” Yuni memundurkan kembali dudukannya, “Yuk! Nanti keburu sore.”
Tanpa berniat untuk mampir, Hendra segera meninggalkan Yuni di depan rumahnya setelah menurunkannya tadi. Dia pun cukup sadar karena Yuni seorang wanita bersuami meski perasaan itu sangat sulit untuk diingkari Hendra.
***
Hari-hari kadang terasa begitu lambat. Sudah hampir Satu tahun tidak terasa meski dijalani Yuni dengan begitu menjemukan.
Malam ini, entah kenapa papa Cahyo meminta Yuni dan juga Cahyo berkumpul di ruang keluarga.
“Papa merasa kalian sedang Mempermainkan papa. Pokoknya papa tidak mau tau, tahun ini Yuni harus hamil.” Tuntun Papa Cahyo.
“Kita masih berusaha, Pa.” Jawab Cahyo.
“Berusaha? Berusaha dengan apa? Jangan Kamu pikir papa tidak tahu kalau kamu setiap malam tidur di ruang kerja. Papa bukan orang bodoh Cahyo. Papa melakukan semua ini demi masa depan kamu.”
“Kita sudah melakukannya, Pa. Iya kan, Yun?” Cahyo menoleh ke Yuni dan segera diangguki oleh Yuni.
“Oiya? Benar, Yun?” papa Cahyo tidak mau dengar, putranya itu sudah banyak membohonginya.
“Sudah, Pa.” Yuni tidak mungkin kan mengatakan kalimat lainnya.
“Berapa kali?”
“Dua.” Kata Yuni.
“Sering.” Kata Cahyo.
Setelah menjawabnya secara bersamaan, Cahyo dan Yuni saling menoleh, Cahyo dengan pelototannya dan Yuni dengan wajah takutnya sambil menggeleng.
Papa Cahyo terbahak, “Yun, Yun, mana ada orang nikah selama satu tahun lebih melakukannya hanya dua kali saja.” Satu kebohongan mulai muncul ke permukaan.
“Sayang, jangan terlalu menekan anak-anak, mereka masih muda.” Mama Cahyo menengahi.
“Yuni masih muda, tapi Cahyo? Putramu yang selalu kamu bela ini sudah terlalu sering membohongi kita. Mulai besok, Yuni bekerja di kantor, tugas kuliah kerjakan dari rumah biar papa yang atur, dan papa tidak mau kamu menolaknya.” Papa Cahyo menunjuk ke putranya.
“Pa ... .”
“Tidak untuk kali ini. Semakin sering kalian bersama, semakin banyak kesempatan untuk saling mencintai.” Papa Cahyo berdiri dan berniat pergi dari tempat itu.
“Pa, “ panggil Yuni, “Yuni pasti akan hamil beberapa bulan lagi, Yuni janji. Tapi untuk bekerja di tempat Mas Cahyo, Yuni menolaknya, Pa. Maaf.” Yuni tidak mau berurusan dengan wanita yang tempo hari itu.
“Okey! Papa pegang kata-katamu.”
Hening.
Hanya menyisakan Cahyo dan Yuni saja. Bahkan mama Cahyo pun sudah ikut papa masuk ke dalam kamarnya sekarang.
Cahyo menoleh ke Yuni, bertepuk tangan sambil mengejek dan terkekeh setelah melihat pertunjukan itu, “Kau sangat hebat, Yun? Bagaimana kau akan mengisi perutmu itu dengan bayi? Karena aku tidak akan pernah menyentuhmu.”
Yuni yang tidak ingin berdebat lebih memilih untuk berdiri dan berjalan ke kamarnya. Dia akan tidur karena otaknya serasa berputar sekarang.
Cahyo yang merasa diabaikan Yuni segera menyusulnya, mengunci pintu kamarnya dari dalam dan menghempaskan tubuh Yuni ke ranjang.
Mendapatkan perlakuan itu, Yuni hanya bisa pasrah. Ada kemarahan yang tersirat di wajah tampan itu. Sungguh dia ingin bisa menyentuh hatinya walau hanya sedikit saja.
Dengan brutal Cahyo menarik ke atas baju yang dikenakan Yuni, namun tidak ampai terlepas, dia membuatkan simpul seolah baju atasan itu adalah tali yang mengunci tangan Yuni, “Kita lihat apakah kamu sudah siap untuk melayaniku malam ini?” Cahyo segera memelorotkan rok selutut yang dikenakan Yuni dan juga membuang bra serta ****** ******** sekalian. Memperhatikan tubuh polos yang bergerak-gerak itu, karena Yuni berusaha menutupinya dengan tangannya yang terikat sekarang.
Bukannya menyambut, tapi Yuni malah ketakutan saat ini. Dia merasa Cahyo bukan ingin melakukan apa yang diminta papanya, tapi seakan ingin menghukumnya saat ini.
“Ooo ... jangan menangis, Sayang. Kita akan segera mengisi perutmu dengan bayi yang lucu dan segera memberikannya ke papaku, itu kan yang kamu mau? Kita akan melakukannya, Sayang.” Cahyo segera meraup gunung kembar Yuni dengan kedua tangannya, memutarnya dan juga memelintir put-ingnya yang kecil dan kemerahan.
Yuni hanya bisa menggeleng dan terus menggeleng, “Jangan, Mas aku mohon jangan.”
Cahyo semakin tersenyum smirk. Dia meninggalkan Yuni sebentar dan mengambil sesuatu yang ada di laci mejanya. Kembali lagi mendekati Yuni dan menutup mulutnya dengan lakban yang ternyata dibawanya tadi.
Yuni menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tahu dia salah dan layak mendapatkan hukuman, tapi bukan seperti ini yang dimauinya.
Cahyo melempar sembarang lakban itu. Naik lagi ke ranjang dan mulai merem-mas benda kenyal itu lagi, lagi dan lagi. Setelah dia puas, Cahyo menyapukan tangannya ke bawah melewati perut dan berhenti di sana sebentar sambil menoleh ke Yuni lagi, “Kau siap, Sayang?”
Yuni menggeleng semakin cepat, air matanya sudah menetes karena ketakutan sejak tadi.
Dengan jari tengah dan telunjuknya, Cahyo memperagakan seolah sedang berjalan di atas perut rata Yuni, “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, ah ... kita sampai, Sayang.” Cahyo menggosok sesuatu yang terselip itu dengan jari tengahnya dan terus tersenyum mengejek ke Yuni.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
suami jahat... suka nya sama pe rem puan mu ra han...
2023-05-09
1
Cindy Nur
hai thor aku mampir kash like uk karya mu
2021-05-02
1
Susana
takut...
2021-04-28
1