Setelah sarapan, mama Cahyo benar-benar mengajak Yuni ke salon langganannya. Keramas, menggunting kuku, bahkan rambut Yuni pun harus rela diwarnai oleh Yuni karena mamanya terus memaksa.
“Ma, ini seperti anak alay.” rengek Yuni seperti angin lalu melewati celah di rongga telinga mama Cahyo.
Mama Cahyo yang sedang menikmati pijatan di kepalanya hanya memejamkan matanya, “biarkan saja. Kita akan mengejutkan Cahyo setelah ini.”
“Ma ... mas Cahyo masih lama pulangnya. Warnanya juga akan luntur.”
Mendengar itu, pekerja salon yang mendengarnya malah tertawa, “Mbak, pewarna yang kami pakai itu kualitas terbaik looo.”
“Mbak, tapi saya yang PD kalau warnanya seperti kue lapis gini. Satu warna aja, coklat atau hitam pekat.” pinta Yuni mencoba peruntungannya, siapa tahu akan berhasil?
“Mbak ini cantik lo, pake warna ini juga pas banget. Percaya aja sama kita.”
“Lah! Bener itu. Udah, Yun. Diem aja, lagian mama percaya, Cahyo pasti pulang besok. Kamu gak percaya kalau anak mama itu sangat cepat mengururs pekerjaannya?” timpal mama Cahyo.
“Iya, Ma. Tapi Yuni malu, ini nyolok banget. Biru, pink, ah ... Mama.” Yuni menyandarkan punggungnya, pasrah sudah. Biar saja jika Cahyo akan menertawakannya nanti.
Banyak yang dikerjakan oleh Yuni dan mama Cahyo. Setelah ke salon tadi saja, Yuni masih berbelanja baju, bertemu dengan sahabat mamanya, membeli jam tangan dan juga anting emas putih keluaran terbaru, dan yang terakhir ini saat kaki Yuni rasanya mau putus, mama Cahyo mengajaknya melepas lelah sambil memakan semangkuk es krim di pinggir jalan.
Es krim legendaris di kota Surabaya ini, Zangrandi Es Cream. Kualitas makanan beku di kedai ini sangatlah bisa menggoyangkan lidah kita dengan sangat pelan dan dinamis. Nikmat dan menenangkan.
“Ah ... rasanya sangat enaeekkkk.” celetuk Yuni.
Mama Cahyo terkekeh, “dulu papamu yang ngajak mama ke sini.”
“Ini tempat kencan Mama, ya” goda Yuni sambil terkikik.
Pipi mama Cahyo pun bersemu merah, mengingat kejadian beberapa tahun silam yang sangat begitu sulit untuk dia lupakan.
“Ma, temen Yuni dulu ada yang gajak Yuni ke panti deket rumah kita, apa---“
“Tentu saja, Sayang. Kenapa harus bertanya?” potong mama Cahyo yang tahu akan ke arah mana pembicaraan menantunya itu.
Yuni tersenyum lebar, dia sangat puas karena keinginannya dipenuhi oleh mama Cahyo, “kita bawa apa, Ma?” tanyanya lagi.
“Tentu saja makanan dari sini, Sayang. Apa kamu tidak akan berdosa saat memakan makanan yang sangat lezat ini dan memberi mereka hanya nasi pecel pinggir jalan saja? Itu tidak akan baik, Sayang?” mama Cahyo suka jika menantunya itu mau berbagi apa pun dengannya.
Senyum Yuni pun semakin lebar. Sungguh, nikmat mana lagi yang akan dia dustakan jika memiliki mama sebaik mama Cahyo ini.
Riuh suara candaan anak menghias seluruh rongga telinga, penuh kebahagiaan dan membawa rasa tersendiri di hati setiap penikmatnya.
Mama Cahyo terus tersenyum lebar melihat pemandangan yang begitu membahagiakan ini, “Sayang, dari mana kamu tau tentang tempat ini?”
Yuni pun tersenyum, “dulu teman Yuni yang ngajak ke sini, Ma.”
“Ah ... kita akan sering ke sini setelah ini.”
“Mbak Yuni, kok rambutnya werna-werni?” celetuk polos salah satu anak panti yang paling dekat dengan Yuni. Yuni ingat, hanya anak ini yang terlalu berani menanyai Yuni dengan berbagai macam pertanyaan konyol dan tak terprediksi.
“Iya, Sayang. Kan Embak mau ikut audisi jadi artis. Menurutmu nanti Embak lolos gak?” goda Yuni.
“Wah! Aku besok punya embak artis dong. Kalo gitu ajak aku masuk TV juga ya Mbak?”
“Tentu dong ... .”
Mama Cahyo hanya bisa tertawa mendengar percakapan itu, tidak menyangka Yuni akan menjawab begitu tadi. “Dah, makan lagi, nanti es krimnya leleh, Sayang.” Mama Cahyo menimpali.
Anak itu pun tersenyum dan kembali sibuk dengan mangkuk es krim miliknya sendiri.
“Terima kasih, Bu. Sudah mau mampir ke mari dan membawa semua kebahagiaan ini.” kata ibu panti yang memang ikut bergabung dari tadi.
“Ah! Jangan bilang begitu, Bu. Anggap saja semua ini tidak pernah terjadi.”
“Mana bisa begitu, Bu?”
“Tentu saja bisa, anggap saja saya teman yang lama tidak menyapa, dan saat ini ingat untuk pulang.”
Ibu panti itu pun hanya bisa tersenyum menanggapi candaan mama Cahyo, “oiya, Mbak Yuni tumben gak sama Hendra?”
“Hendra?” mama Cahyo merasa asing mendengar nama itu.
“Itu temanku yang ngajak Yuni ke sini, Ma.” Yuni tidak mau terjadi salah paham di sini, “Bu, ini mama saya, mama dari suami saya.” Yuni memang belum mengenalkannya tadi ke ibu panti.
“Oh! Maafkan saya, Bu. Saya pikir—“
“Tidak apa-apa, anak muda memang banyak berteman dengan siapa pun.” Mama Cahyo menimpali, dia tidak mau ambil pusing dengan hanya nama yang menurutnya tidak penting itu.
Setelah sedikit bermain dengan anak panti untuk menghabiskan waktunya yang tersisa sebelum rasa kantuknya mulai menyerang karena lelah, mama Cahyo pun akhirnya mengajak Yuni pulang setelah berpamitan dengan ibu panti tadi. “Mama mau habis ini berendam air hangat dan tidur.” kata mama Cahyo.
“Apa kaki Mama pegal?” tanya Yuni.
“Iya, sedikit.”
“Mau aku pijit nanti?”
“Apa kamu juga suka melakukan itu ke Cahyo?” selidik mama Cahyo.
Yuni malah tersipu mendengar pertanyaan itu.
“Yun? Kamu ke sini juga?”
Yuni dan mama Cahyo menoleh bersamaan sebelum masuk ke mobilnya setelah mendengar panggilan itu.
“Tante?” Hendra yang memang berniat ke panti, langsung menyalami seorang wanita yang menurutnya adalah mama Yuni, dengan mencium punggung tangan itu juga.
“Ma, ini Hendra.” kata Yuni.
“Oh ... ini yang namanya Hendra. Dia ...”
“Saya teman kuliah Yuni, Tante.”
Mama Cahyo mengangguk mengiyakan, “tante senang bisa berkenalan denganmu, tapi tante sangat lelah hari ini. Maaf, ya?” mama Cahyo memilih masuk ke mobil lebih dulu, sungguh kakinya sangat pegal sekali rasanya.
Hendra hanya mengangguk dan mempersilakan mama yang dianggap mama Yuni tadi untuk masuk ke mobilnya, “makasih, Yun. Kamu masih mau ke panti ini.”
Yuni mengangguk, “maaf, Hen. Aku harus pulang.”
“Ya. Tentu saja.”
“Aku pulang dulu.” Yuni mendadakan tangannya ke Hendra.
Hendra pun hanya mengangguk saja.
“Apa dia menyukaimu?”
Deg.
Yuni merasa ketakutan saat ini. Bukan karena takut ketahuan Hendra memang menyukainya, tapi dia takut kalau mama Cahyo akan salah paham kepadanya, “aku tidak tau, Ma.”
Mama Cahyo terkekeh, “kau tau, Sayang. Mama dulu juga pernah muda ...”
...
“... mungkin Cahyo memang belum memperlakukanmu dengan baik saat ini, tapi mama percaya Cahyo bukanlah lelaki pengecut hingga menggantungkanmu terlalu lama. Apa kamu mau menunggunya sebentar lagi?”
“Apa Mama tidak percaya sama aku?” sungguh Yuni tidak peduli jika memang Hendra menyukai atau bahkan mencintainya, dia tidak akan peduli. Bukan karena dia sudah mencintai Cahyo, tapi karena hanya ini yang bisa dia lakukan untuk membalas budi keluarga yang telah membesarkannya dulu. Yuni tidak akan pernah ingkar jika ayahnya saja sudah mempercayakan dirinya ke Cahyo sejak malam itu. Sesusah dan seberliku apa pun, Yuni akan tetap kembali dan kembali lagi ke Cahyo saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
Yuni 👍👍🥰🥰🥰
2023-05-26
1
Susana
lumayan... bisa ngilangin kangen ma yuni😍😍
2021-05-28
1
harmawati fathindy
lagiii.... msh kurang...
2021-05-25
1