“Makan dulu yuk, Mas.” ajak Yuni, mereka berjalan sambil berpelukan saat ini.
“Mau makan apa, Yun?” bukannya tidak mau, Cahyo menginginkan hal yang lebih seru saat ini.
“Yang hangat, Mas. Yang ada kuahnya.”
“Seafood aja, ya? Aku lagi males muter-muter, udah malem.”
Yuni hanya tersenyum, dia memang tidak akan menolak apa pun yang diberikan oleh Cahyo.
Meski pun cukup nikmat, nyatanya Yuni tidak bisa menikmati makan malamnya. Cahyo yang seakan dikejar oleh sesuatu, membuat Yuni mau tak mau makan dengan segera agar Cahyo juga tidak terus mengejarnya.
“Kamu aneh, Mas.” rengek Yuni setelah masuk ke dalam mobil dan Cahyo juga sudah melajukannya.
“Keburu malem, Yun. Capek.” Tanpa mengalihkan fokusnya, Cahyo semakin memperdalam injakan pedal gas mobilnya.
Sesampainya di kamar Cahyo langsung melempar Yuni ke atas ran-jang. Melucu-ti paka-ian yang menempel itu dan melemparnya sembarangan. Tak hanya ke Yuni, Cahyo pun melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri.
Yuni tersenyum sangat menggo-da, memandang dengan intens tubuh telanj-ang yang kini semakin mendekat itu, dan menyambutnya lebih dulu saat bibir itu semakin dekat dengan bibirnya.
Cahyo tidak tahu kalau Yuni ternyata sangat agresif di atas ran-jang. Dulu dia berpikir kalau Yuni akan membosankan karena tidak akan pernah bisa mengimbanginya, ternyata dirinya sudah keliru menilai Yuni.
Yuni lebih dulu melum-at dan bergerilya di bibir sek-si Cahyo, sampai Cahyo tersengal mengimbangi permainan Yuni kali ini.
“Ayo, Mas. Yuni sudah nunggu Mas lama.” lirih Yuni dengan tatapan yang sudah terselimut dengan rapi oleh kabut gai-rah.
Cahyo terkekeh, mencoba bermain dengan busa lembut itu lebih dulu, dan meninggalkan beberapa bekas tato kemerahan di atas kulit yang putih mulus selembut kapas itu. Pahatan yang sempurna seperti guci antik membuat Cahyo ingin memoles dan mengusapnya lebih lembut, lebih lama, dan lebih sering lagi. Suara desah-an demi desah-an yang terdengar sangat merdu memenuhi ruang berselimut hawa memanas itu, membuat tubuh Cahyo seakan membara dan siap membakar apa saja yang berada di hadapannya dengan luapan rasa cinta yang sangat penuh ini.
Otak warasnya berkumpul pada satu titik dan membuat yang menegang semakin gagah menantang dunia. Cahyo sudah siap, sungguh. Tapi entah kenapa dirinya pun seakan sadar bahwa pengalaman yang pertama ini haruslah sangat manis dan tidak terlupakan.
Yuni yang mendapatkan pijatan plus-plus di setiap lekuk bagian tubuhnya, membuatnya mengaduh, mengelijang, melemas, dan juga terbakar secara bersamaan. Saat tangan yang terkadang sangat kasar itu mulai bermain dengan nakal di intinya, Yuni hanya bisa membusungkan tubuhnya dan meremas seprei sangat kuat.
Cahyo tahu Yuni sedang mengejar sesuatu saat ini. Ya, dia tidak akan mengecewakan Yuni kali ini. Dengan ketangkasannya, Cahyo mulai memainkan donat Yuni dengan lidahnya tanpa menghentikan cokok-an jari tengah dan telunjuknya yang dia mainkan secara bersamaan.
“Mas ... oh ... Mas ... Yuni ... mau ... .”
Cahyo semakin cepat dan tepat, sampai sesuatu yang hangat mencuat keluar dan segera di bersihkan oleh Cahyo, “Kamu hebat, Sayang. Cup. Cup. Cup.” dikecupnya berkali-kali bibir bergetar Yuni setelah pelepas-annya yang pertama. “Aku ingin sekarang juga, Yun.” Bisik Cahyo dengan sangat lembut karena menyadari Yuni sedang menikmati sensasi yang baru saja didapatkannya.
Yuni mengangguk, meski tubuhnya terlihat masih lemas dia pun juga siap untuk melakukan hal itu sekarang juga.
Setelah mendapat persetujuan dari Yuni, Cahyo mengurut kebanggaannya yang sudah dia basah-i dengan air li-urnya sendiri dan membuka lebar pa-ha mulus Yuni, “Aku masuk, Sayang.” Dengan perlahan dia terus memom-pa dan memom-pa dirinya untuk kepuasannya sendiri. Meski begitu dia pun yakin Yuni juga sangat menyukainya karena desah-an itu terdengar lebih nyaring dari pada yang tadi.
Bosan dengan misi-onaris, Cahyo mengajak Yuni bangun dari rebahannya dan menyuruhnya menduduk-inya. Membantunya bergerak perlahan meski awalnya sangat kaku, tapi Cahyo suka. Tidak terlalu lama untuk mengajari Yuni hal yang baru dan menyenangkan karena setelah tidak lebih dari dua menit, nyatanya dia sudah bisa menungg-angi pisang panas ini dengan sangat lihai.
“Mas ... aku ... gak ... kuat ... .”
Mendengar itu, Cahyo malah menghentikan gerakan Yuni, menyuruhnya menung-ging dan mema-sukinya dari belakang, “Kau sangat hebat, Yun.”
Dengan tubuh yang mengayun-ayun ke depan, Cahyo terus menghujam-kan miliknya yang terasa penuh dalam inti Yuni.
Entah sudah berapa menit mereka saling mengaduh bersama, sampai Cahyo yang sudah tidak tahan lagi, menyuruh Yuni untuk terlen-tang seperti semula dan mema-sukinya dengan kasar. “Aku ... akan ... sampai ... Yun.” entah Yuni menjawabnya atau tidak, yang Cahyo tahu dia akan menyelesaikan pengalamannya yang pertama bersama Yuni malam ini.
Cahyo tersenyum, mendiamkan miliknya merasakan denyutan lembut di bawah sana sampai laharnya tersalur secara tuntas, dan kemudian melepasnya meski miliknya belum tertidur sedikit pun, “Terima kasih, Sayang. Cup.” setelah mengecup bibir Yuni, Cahyo segera merebahkan tubuhnya sendiri di sebelah Yuni dan memeluknya dengan sangat erat. Sungguh sangat bahagia dia malam ini.
***
Yuni yang merasakan sesuatu yang aneh di bawah sana, segera membuka matanya dengan malas dan berniat untuk bangun.
“Mau ke mana? Aku akan menggendongmu nanti, pasti masih sakit kan?” Cahyo semakin memeluk Yuni posesif, tidak akan membiarkannya pergi sedikit pun.
“Aku ingin ke kamar mandi, Mas.” Lirih Yuni dengan suaranya yang terdengar masih malas.
“Apa butuh bantuanku?” Cahyo seakan enggan membiarkan tubuh Yuni menjauh, meski hanya beberapa meter saja.
“Mas, aku tidak mau mengompol. Lepaskan aku atau aku akan ken-cing di ran-jang ini sekarang juga?” ancam Yuni karena Cahyo malah semakin erat memeluknya.
Cahyo terkekeh, membuka matanya dan melepaskan pelukannya setelah mencuri satu kecupan singkat di bibir Yuni.
Yuni yang tidak sabar segera berlari dan masuk ke kamar mandi.
Lumayan lama, entah apa yang dilakukan wanita itu di dalam sana. Saat ran-jang terasa tertekan oleh sesuatu sebesar dirinya, Cahyo membuka matanya dan tersenyum lagi ke Yuni, membuka tangannya agar Yuni masuk ke dalam pelukannya lagi.
“Ayo bangun, Mas. Aku ingin melihat tari Kecak.” Yuni menatap Cahyo malas karena dia sudah tidak mengantuk sekarang.
“Kamu gak capek, Yun? Itu kan yang pertama bagaimu?” kata Cahyo yang masih malas membuka matanya.
“Apa sih, Mas? Dari tadi ngomong itu mulu.” Yuni berjalan agak menjauh untuk mengambil remot TV dan menyalakan benda elektronik itu untuk menciptakan suara lain di kamarnya ini.
“Ya yang semalam, Yun?” Cahyo yang semakin bingung mencoba mewaraskan pikirannya dari aroma bantal yang masih melekat.
“Semalam? Emang kita ngapain, Mas?” heran Yuni.
“Kok ngapain, semalam kan kita—“
“Semalam itu Mas udah tidur pas aku keluar dari kamar mandi. Kan badanku lengket banyak pasirnya? Lagian Mas tidur nyenyak banget sampai ngigau-ngigau, jadi Yuni juga gak enak mau bangunin trus nyuruh Mas mandi.” potong Yuni cepat karena merasa Cahyo masih belum sadar seratus persen.
Cahyo yang mendengar kalimat itu langsung menatap dirinya sendiri. Memang pakai-an yang dikenakannya sama dengan yang kemarin. Sepertinya memang benar Cahyo melakukannya hanya dalam mimpi saja, karena kalau bukan mimpi harusnya dia tidur tanpa pakaian hari ini.
Cahyo yang merasa otaknya perlu disegarkan segera bangun dan berniat untuk mandi, “Ah ... sh-it!”
“Kenapa, Mas?” tanya Yuni yang mendengar Cahyo mengum-pat cukup keras.
Mendengar pertanyaan itu, Cahyo mempercepat langkahnya ke kamar mandi dan menutupi celana bagian depannya karena basah oleh cairannya sendiri. Sungguh tidak menyangka kalau akan mimpi seperti itu, padahal dia menyandingnya semalaman penuh, tapi malah berakhir seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
sukur deh cuma mimpi Suryo😅😅😆
2023-05-09
1
Susana
hadeh... A'a Cahyo ni 🤣🤣🤣banget nih om author bikin yang baca ketipu🤣🤣🤣
2021-05-04
1
harmawati fathindy
haiyahhhh.... 😂😂😂😜🙈🤭
2021-05-04
1