Yuni masuk ke dalam vila dengan malas. Meski vila di kawasan Ubud ini sangat indah dan romantis, semuanya terasa tidak berguna karena Yuni ke sini hanya sebagai pelengkap untuk Cahyo saja.
“Aku mau meeting, nanti sore baru bisa ke luar, kita lihat sunsetnya besok aja, ya?” Cahyo mengacak puncak kepala Yuni.
“Terserah saja, Mas.” Yuni tetap melihat ke luar, menatap air kolam yang bergerak perlahan saat tertiup angin sepoi.
Tidak ingin ada perdebatan, Cahyo memilih segera keluar dari tempat itu.
Yuni menoleh saat mendengar pintu yang sedikit dibanting saat Cahyo melewatinya, hanya bisa menghela napas dan memilih keluar untuk merasakan segarnya air kolam yang memanggilnya sejak tadi.
Tempat lain... “Maaf, Bu Nana. Apa kita akan tidur bersama? Saya bisa memesan kamar sendiri jika memang akomodasinya kurang atau bahkan terlupa.” Hendra yang berada di Blitar malah heran saat Nana mengajaknya masuk ke dalam kamar hotel yang sama dengan yang akan ditinggali Nana.
“Ayolah, Hen. Kita sudah dewasa, aku tidak akan bicara kepada siapa pun.” Nana mulai membuka kancing kemejanya dan melepas atasannya.
“Maaf, Bu Nana. Saya tidak bisa.” tolak Hendra halus.
Nana terkikik, “Badanmu sangat kekar, aku yakin kamu akan hebat di ran-jang, Sayang. Aku akan menyimpan rahasia ini.” Nana semakin berani melucut-i pakaian yang menempel di kulitnya itu sampai menyisakan pakai-an dal-amnya saja.
“Maafkan saya, Bu Nana.” Hendra berniat keluar dari ruang itu, namun tangan Nana yang seakan sudah lihai dalam bidangnya, segera memepet Hendra ke dinding, dan mencoba mencium bibirnya.
Hendra adalah pria muda yang menggoda, akan sangat sulit mengabaikannya.
Sekuat apa pun Hendra menolak, sekeras itu juga Nana membuatnya tak berdaya. Hendra pun berpikir, bagaimana bisa seorang wanita mampu menguasanya hidup seseorang dengan begitu gigih?
***
Tidak ada yang spesial semalam. Hanya makan malam di luar, berjalan-jalan tanpa berbicara, dan membeli beberapa pakaian tanpa memilih dengan benar. Baik Cahyo mau pun Yuni seakan masih terlalu asyik dengan pikiran mereka masing-masing.
Pagi ini Yuni bangun dengan posisi yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Cahyo yang terlalu dekat dengannya, dan tangan yang melingkar di perutnya ini.
Namun, berbeda dengan beberapa hari yang lalu, kali ini Yuni mencoba menyentuh tangan itu, dan sedikit mengelusnya. Meski dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Cahyo, tapi Yuni akan tetap berhati-hati kali ini.
“Kau sudah bangun?” tanya Cahyo dengan suara khas bangun tidurnya.
Yuni yang terkejut setelah mendengar itu secara tiba-tiba, memilih menyisihkan tangannya dan beberapa kali menarik napasnya, “Aku mau ke kamar mandi, Mas.”
“Ya.” Cahyo melepas pelukannya dan membiarkan Yuni bangun dari ranjangnya, dia masih lelah dan ingin tidur lebih lama lagi.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Cahyo mengajak Yuni berkeliling dengan mobilnya dan sedikit masuk ke kawasan yang terbilang masih asri.
“Kita mau ke mana, Mas?” Yuni merasa ini terlalu ke desa, bukan ke arah kota.
“Kita akan bertemu dengan kembaranmu.” cuek Cahyo.
“Kembaran?”
“Ya,” jawab Cahyo sambil mengangguk, “Setiap orang punya kembaran berjumlah sembilan, tapi di tempat ini, kembaran kita sangat banyak. Aku yakin kamu akan menyukai mereka.”
Yuni mengerutkan keningnya, tapi dia juga tidak mau terlalu ambil pusing.
Setelah sampai di tempat yang dituju, Cahyo mengajak Yuni turun dan menggandeng tangannya, “Jangan terlalu jauh, aku takut tertukar nanti.”
Yuni menyebikkan bibirnya, tapi dia juga tidak menolak genggaman tangan itu.
Entah sudah berapa meter mereka berjalan, Yuni pun lelah, tapi tidak terlalu terasa karena pemandangan di sini cukup asri dan sejuk.
Entah kenapa Yuni merasa tas yang ditentengnya terasa lebih berat sekarang. Yuni ingin mengambilnya dan memindah ke pundak yang satunya saat, “Aaaaaa?! Mas apa itu?” Yuni segera melompat ke tubuh Cahyo dan tak menghiraukan pengunjung yang akan menatapnya aneh.
Cahyo terbahak, memeluk tubuh Yuni erat agar tidak sampai terjatuh, “Itu kembaranmu, Yun. Masak lupa?”
“Tempat apa ini, Mas? Apa mereka suka menggigit?” Yuni tetap memeluk Cahyo erat dan tak membiarkan tubuhnya menyentuh tanah sama sekali.
“Monkey Forest. Kamu bisa menemukan kembaranmu yang banyak di sini, Yun.”
Yuni menoleh dan menatap Cahyo tajam, “Maksud Mas aku kayak monyet?”
“Hahahahahaha. Tentu saja, apa lagi saat tidak tersenyum lagi, sangat mirip dengan meraka.”
“Mas, resek.” Yuni memukuli Cahyo sembarang, dia sangat jengkel karena Cahyo berani menyamakannya dengan monyet yang ada di tempat ini.
“Cukup, cukup, cukup, apa kau mau tetap aku gendong seperti ini?”
Yuni yang menyadari posisinya segera turun dari gendongan Cahyo dan membenarkan bajunya yang tidak kusut itu, “Hmmm, mereka jinak kan?”
“Ya, tapi sebaiknya kita membeli pisang dulu untuk mereka” Cahyo menggandeng Yuni mencari kios buah dekat situ, dan membeli beberapa pisang untuk diberikan ke pada monyet-monyet yang ada di Monkey Forest Ubud itu.
Yuni sangat senang hari ini. Matahari yang terik pun tidak menghalangi geraknya bermain dengan para monyet itu.
Cahyo yang sibuk mengabadikan gambar Yuni dengan kamera yang terkalung dengan aman di lehernya, membuatnya ikut bahagia setelah melihat senyuman Yuni telah kembali.
“Ah, aku lelah, Mas.” Yuni menyangga tubuhnya dengan kedua tangannya yang ditaruh di belakang tubuhnya.
“Kita makan trus habis ini berburu sunset, gimana?” tawar Cahyo.
Yuni mengangguk antusias. Segera berdiri dan menarik tangan Cahyo agar ikut berdiri seperti dirinya juga, “Ayo, Mas. Kita makan sate lilit langsung dari Bali.”
Cahyo terkekeh, menggenggam tangan itu lagi, dan membawanya masuk ke mobil untuk mencari apa yang dimaui Yuni.
Setelah mengisi perutnya, Cahyo mengajak Yuni ke pantai Saba. Suasana yang tidak terlalu ramai, dan ombak yang tidak terlalu tingi. Sangat pas untuk menanti sunset.
Yuni tersenyum menatap pantai. Merentangkan kedua tangannya dan menghirup aroma asin itu, “Oh, rasanya aku seperti burung gagak yang terbang mencari mangsa.”
“Memangnya kenapa dengan burung gagak?” Cahyo heran dengan perumpamaan Yuni.
“Dia sangat kuat dan ditakuti oleh burung lain, jadi tidak akan ada yang mengganggunya.”
“Memangnya siapa yang akan mengganggumu selain aku?”
Yuni menoleh dan berkacak pinggang, “Syukur kalo Mas sadar.”
Cahyo terkekeh, “Aku cuma gak mau kamu salah pergaulan.”
“Salah pergaulan dari Hongkong? Perasaan aku gak pernah aneh-aneh.”
“Gak aneh-aneh kok pulang malem?”
“Itu karena aku menunggui anak panti makan malam, Mas saja yang tidak mau bertanya.” Yuni menunduk sambil memelankan ucapannya.
Cahyo yang gemas segera memeluk Yuni erat, “Jangan keluar lagi. Entah itu Hendra atau siapa pun. Aku yang akan mengantarmu ke panti kalau kamu mau ke sana.”
Entah, Yuni malah mengangguk mendengar kalimat itu.
Dengan duduk di atas pasir dingin yang mulai menghangat oleh suhu tubuh mereka. Yuni dan Cahyo hanya berdiam diri sambil menunggu cahaya jingga itu berubah menggelap.
Yuni tak mau memungkiri, berada dalam dekapan ini, rasanya begitu hangat dan nyaman. Jangan kan mengganggu, bahkan angin malam saja seakan tak mau menyapanya terlalu lama karena melihat Cahyo yang begitu dekat dan erat. Meski tidak membalas dekapan itu, bibir Yuni pun tertarik ke atas untuk menikmati waktu yang sangat langka ini.
Cahyo yang mendekap Yuni dari belakang, semakin mengeratkan pelukannya. Yuni bagaikan kembang gula yang akan menyusut jika dibiarkan terkena angin walau hanya sedikit saja. Dia rela menjaganya agar manis dan indah itu tidak segera sirna disapu oleh dinginnya angin yang terus menyapanya sejak tadi.
“Mas?” Yuni menoleh berniat mengajak Cahyo untuk pulang karena langit sudah gelap sempurna, cahaya jingga yang indah sudah beralih dengan taburan bintang sebanyak keindahan yang tiada tara.
Cahyo yang sejak tadi hanya memikirkan Yuni saja, membuatnya tidak tahan saat melihat bibir itu begitu dekat. Dia pun segera menyambar bibir Yuni dengan kasar dan panas, segera memasukkan lidahnya saat bibir itu terbuka walau hanya sedikit, dan segera mem-belit lidah yang seakan tidak meronta di dalam sana. Menye-sap dan terus melu-mat, tidak peduli Yuni yang tidak bisa mengimbanginya. Yang Cahyo tahu, dia hanya ingin melakukannya saat ini juga.
Yuni yang sadar bahwa Cahyo memanglah suaminya hanya bisa menerima kesenangan itu lagi dan lagi. Bahkan meski hatinya masih perih karena goresan yang selalu Cahyo torehkan, semuanya akan melebur saat itu juga saat Cahyo menginginkannya seperti saat ini.
Tak cukup sampai di situ, Cahyo pun dengan berani menye-lusupkan tangannya yang nakal masuk ke dalam kaos yang dikenakan Yuni, dan mulai memijit busa lembut dan kenyal itu. Memutarnya dan sesekali merem-masnya. Dia mau, dia ingin, ya, sekarang juga. Rasanya otaknya yang biasanya waras seakan menyerah saat ini juga.
Merasakan permainan yang semakin panas. Yuni sedikit mendorong Cahyo dan mencoba melepas cium-an yang panas itu, “Jangan di sini, Mas. Aku mohon.” meski sudah gelap sempurna tetap saja ini bukanlah tempat yang layak untuk melakukan hal itu. Ya, ‘itu’. Kalau memang harus sekarang, Yuni pun tidak akan lari lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
ihh suami men ji jikan...
2023-05-09
1
Susana
lha... kalo di tempat saya udah di sidang nenek mamak nih om author😅😅😂😂
2021-05-03
1
harmawati fathindy
uwu_uwuuuu Cahyo molaiiii 😂😂😂🤭
2021-05-03
1