Matahari sudah terik. Cahyo yang baru keluar dari kamar mandi tidak menemukan baju yang harus dikenakannya .
Dengan hanya menggunakan handuk yang melingkar di pinggangnya, Cahyo mendekati Yuni yang masih meringkuk di dalam selimut tebalnya, “Bangun, Yun. Bajuku mana? Su-suku mana? Itu pekerjaanmu, apa mau gajimu aku potong kalau malas-malasan gini?”
...
“Yun?” digoyangkannya tubuh Yuni dengan keras agar segera terbangun dan memenuhi kewajibannya, “Yun? Yuni?”
“Hmmmm.”
“Bangun. Aku pake baju apa?” Merasa Yuni terlalu lambat, Cahyo menarik selimut tebal itu dan melemparnya ke lantai, “Bangun?!”
Yuni hanya memeluk tubuhnya sendiri dan bergumam beberapa kali.
Cahyo yang melihat gelagat aneh dari Yuni, segera menempelkan tangan kanannya ke kening Yuni, dan menjadi panik setelah mengetahui bahwa Yuni sedang demam saat ini.
Berganti baju dengan sembarang, asal menutupi tubuhnya saja, dan segera turun untuk memanggil mamanya.
“Kenapa bisa seperti ini?” mama Cahyo sedang mengompres Yuni dengan air hangat sekarang, sambil menunggu dokter keluarganya datang.
“Semalam Yuni lembur, Ma. Aku rasa dia kelelahan.” Memang saat pulang lebih dulu dan memilih tidak jadi tidur di apartemen Nana, Cahyo yang kaget tidak menemukan Yuni di rumah, memilih mengatakan kalau Yuni masih lembur di kantor semalam.
“Kamu kan tau, Yuni cuma menemanimu saja di kantor, bukan karena harus bekerja seperti biasanya. Kamu ini sudah gede, tapi gak tau mana yang baik sama yang enggak buat Yuni.”
“Dia yang pengen lembur, Ma.”
Mama Cahyo hanya mendengus mendengar pembelaan putranya itu.
Setelah dokter memeriksa Yuni dan mengatakan kalau dia kelelahan dan syok, serta angin malam yang membuat tubuhnya mengalami hipotermia karena pulang terlalu malam, lalu memberi vitamin untuk mengembalikan staminanya, Cahyo tidak pergi sedikit pun dari kamarnya.
Dia sangat sadar, Yuni mengalami semua ini karena dirinya. Hipotermia itu bukan karena angin malam, tapi karena air dari dalam kamar mandinya sendiri.
Cahyo mengusap rambut Yuni berkali-kali. Meski tidak suka, nyatanya, melihat gadis itu terbaring lemah di atas ranjang, sangat mengganggu pikirannya, “Yun? Kamu gak capek tidur dari semalem? Gak pengen bales aku? Bangun dong?”
“Pergi. Jangan ganggu Yuni. Kamu makan sana, biar Mama yang nunggu Yuni.” Mama Cahyo sadar, putranya itu sebenarnya sudah memiliki rasa sayangnya, hanya saja putranya itu masih enggan mengakuinya.
“Gak laper, Ma.”
“Belom makan dari tadi kok gak laper. Dah, makan dulu. Nanti selesai makan jaga Yuni lagi.”
Cahyo yang mendengar itu hanya bisa berjalan dengan gontai keluar dari kamarnya. Ya, sarapan yang sudah kesiangan ini mungkin lebih baik.
Sudah sore, jangan kan makan, melihat mata yang sering ketakutan itu saja Cahyo tidak bisa. Setelah lelah duduk dan memperhatikan wajah tertidur itu, Cahyo memilih ikut membaringkan tubuh lelahnya di sebelah Yuni. Miring ke Yuni, agar jika Yuni bangun dia langsung mengetahuinya.
Sangat lama dan Yuni ingin ke kamar mandi sekarang. Panggilan alamnya tidak bisa ditahan lagi.
Dengan malas dia membuka matanya dan menemukan tubuh Cahyo yang terlalu dekat dengannya. Napasnya yang teratur, matanya yang terpejam, membuat Yuni mengetahui jika Cahyo tertidur saat ini.
Tangannya yang melingkar di atas perutnya, seakan semuanya baik-baik saja.
Yuni menyingkirkan tangan itu perlahan, bangun dari tidurnya, dan segera ke kamar mandi untuk menuntaskan panggilan alamnya.
“Ma?” Yuni bersusah payah sampai ke dapur, dan cukup senang setelah menemukan mama mertuanya sedang mengiris kue bolu pandan di ruang makan, dekat dapur.
“Sayang? Gimana badannya? Mau makan?” mama Cahyo mendekat dan menyampirkan rambut Yuni ke telinganya.
Yuni mengangguk. Tak lama sepiring nasi hangat bertekstur lunak dengan lauk dendeng ragi, segera tersaji di depan Yuni.
“Minum apa, Non?” tanya pekerja di rumah Cahyo.
“Jahe hangat saja, jangan terlalu manis.” Yuni makan dengan perlahan dengan ditemani oleh mama pertuanya.
“Besok, kalau Cahyo nyuruh lembur lagi jangan mau. Pulang aja, gak usah didengerin kalo dia nyuruhnya keterlaluan.” Mama Cahyo menikmati kue bolu pandan di piring kecil di depannya sekarang.
“Lembur?”
Mama Cahyo mengangguk, “Kata Cahyo semalam kamu disuruh lembur mangkanya pulang larut. Dokter bilang kamu hipotermia kalo kena angin malam.”
Yuni tersenyum miris, ‘Andai mama tau kenapa aku bisa hipotermia, Ma.’ Monolog Yuni, “Iya, Ma. Habis ini Yuni gak ambil lembur lagi.”
“Bagus! Habis ini minum vitamin biar diambilkan sama bibi.”
Yuni pun mengangguk kembali. Entah, seperti apa hidupnya setelah ini.
“Yun?! Yuni?! Yuni?!”
“Jangan teriak di dalam rumah, ini bukan hutan.” Mama Cahyo ikut berteriak setelah mendengar teriakan dari putranya.
Cahyo pun menyusul ke meja makan dan tersenyum saat netranya bertemu dengan Yuni yang sedang menyantap makanannya, “Enak, Ma. Bolunya.” Cahyo melahap kue bolu itu setelah menyambarnya, berjalan mendekati Yuni dan mencium keningnya agak lama.
“Besok mama gak mau denger Yuni kamu suruh lembur lagi.”
“Siap, Ma.” Berkali-kali Cahyo mengusap puncak kepala Yuni meski pemiliknya sedang fokus dengan makanannya yang tinggal sedikit itu.
“Yun, aku---“
“Aku lelah, Mas. Maaf. Malam ini tolong biarkan aku beristirahat.” Setelah masuk ke dalam kamarnya dan diikuti Cahyo, Yuni hanya berjalan dengan santai ke ranjang dan berbaring di sana. Tidak peduli jika Cahyo akan menghukumnya lagi, karena Yuni masih merasakan lemas.
Cahyo bergeming di tempatnya, melihat Yuni yang sudah masuk ke dalam selimutnya, dan memilih ke luar setelah Yuni tetap tidak bergerak sejak tadi.
***
Mendengar suara yang cukup berisik, Yuni membuka matanya dan langsung menemukan Cahyo yang sibuk dengan koper-kober besar di depannya.
“Masih pagi, Mas.” Yuni mengingatkan kalau Cahyo sudah mengganggu jam istirahatnya.
Cahyo tersenyum menoleh Yuni, tanpa menghentikan kegiatannya, dia tetap sibuk memasukkan beberapa baju ke dalam koper itu, “Pesawat kita nanti jam sebelas siang, Yun.”
“Kita? Kita mau ke mana, Mas?” Yuni mengerjap-ngerjapkan matanya dan sesekali menguceknya, syukur badannya lebih segar dari pada kemarin.
“Kita kan mau ke Bali.” Jawab Cahyo singkat.
“Mas? Aku lagi sakit loh?” Bukannya menolak, tapi melakukan perjalanan jauh bukanlah pilihan yang tepat saat ini.
“Lalu? Aku harus membiarkanmu di rumah dan pergi lagi dengan Hendra atau yang lainnya? ... aku gak bodoh, Yun.”
Yuni memutar bola matanya malas dan merebahkan tubuhnya kembali.
Setelah menyelesaikan berkemasnya, Cahyo mendekati Yuni, menarik selimutnya dan membopong Yuni masuk ke dalam kamar mandi.
“Mas?! Turunkan aku, Mas! Turunkan aku?!”
Byurr.
Dengan tubuh yang masih memakai baju tidur lengkap, Cahyo menceburkan Yuni ke bak mandi yang berisi air hangat, “Mas?!”
“Mandi, Yun. Aku tunggu di luar.” Cahyo benar-benar meninggalkan Yuni meski tanpa penutup pintu kamar mandi itu.
Yuni bergeming, entah, sikap Cahyo yang mudah berubah dalam sekejap dan terlalu cepat, kadang membuatnya bingung dan tidak tahu harus bagaimana menyikapi Cahyo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
qta hidup di dunia ini ingin bahagia... klo hidup qta jd menderita lebih baik pergi dan menjauh... tinggalkan suami yg gak punya hati itu..
2023-05-09
1
harmawati fathindy
Cahyo tuhhh pura2 MAUUUU.... 😜😂🤭
2021-05-02
1
Susana
aduh..
A'a Cahyo kok gk berubah berubah?? yuni sini aja... ke jambi... gk usah ikut Cahyo ke Bali.. ntar cuman jadi obat nyamuk di sana. 😅😅
2021-05-02
1