“Nanti kalo ada jam kosong atau pulang lebih awal, kabarin aku.” Cahyo tidak berminat turun dari mobil karena ada meeting pagi ini.
“Iya, Mas.” Yuni segera mencium punggung tangan kanan Cahyo dan turun dari mobil itu.
“Hey ... Sopir baru lagi? Kok mobilnya beda?” Hendra yang juga baru datang segera menyapa Yuni. Sejak melihatnya di ultah Ratih kemarin, Hendra merasa sangat tertarik sekarang.
“Tumben sudah dateng? Biasanya agak siangan?” Yuni cukup hafal dengan gaya selengekan Hedra dan segala keabsurdannya.
Hendra terbahak, dia memang berangkat lebih pagi karena sedang menyiapkan skripsi dan berencana bertemu dengan asdos agar mau membimbingnya, “Iya, lagi belajar insaf kayaknya.”
Yuni yang mendengar itu pun ikut tertawa, candaan Hendra memang tidak pernah gagal.
“Yang, ada yang ketinggalan.”
Yuni yang mendengar kalimat aneh meski suaranya tidak terdengar asing itu, segera menoleh ke belakang dan menemukan Cahyo yang berjalan mendekatinya, “Ya, Mas?” Yuni heran karena merasa tidak meninggalkan apa pun tadi.
Cahyo segera memeluk Yuni dan mengecup keningnya sedikit lama, “Aku akan cepat pulang malam ini.”
Mendapat perlakuan tiba-tiba itu, tubuh Yuni memanas, dia sangat yakin pipinya sudah semerah tomat sekarang.
“Khem?!” Hendra berdehem melihat pemandangan yang mengejutkan itu.
“Hemmm. Hen, kenalin, ini Mas Cahyo. Mas, ini Hendra temen aku.” Yuni mencoba mewaraskan otaknya sekarang.
“Cahyo. Suaminya Yuni.” Cahyo menggenggam tangan Hendra mantap setelah pria di depannya itu menerima uluran tangannya.
“Hendra.” meski cukup terkejut, Hendra bersikap sebiasa mungkin sekarang.
“Aku sudah tidak sabar untuk menunggu malam ini, Sayang. Aku berangkat dulu.” Cahyo mengecup kening Yuni dan memeluknya, lalu segera berlalu masuk ke mobilnya dan benar-benar pergi ke kantor setelahnya. Cukup puas setelah memberikan kejutan kepada anak bergaya urakan itu.
“Kamu ...?” Hendra mengantung kalimatnya.
“Iya, Hen. Aku sudah menikah.” Yuni menunjukkan cincin yang melingkar dengan rapi di jari manis di tangan kirinya sambil tersenyum.
Hendra tersenyum kecut karena tidak pernah memperhatikan sesuatu yang sepenting itu. “Ya ... selamat ... .”
“Aku masuk dulu, Hen.” Yuni memilih masuk lebih dulu karena pikirannya pun sedang berkecamuk sekarang.
Cahyo yang baru menyelesaikan meetingnya saat ini, segera berjalan dengan cepat ke ruangannya, “Ambilkan berkas yang harus aku tanda tangani, karena aku ingin segera menyelesaikan pekerjaanmu sekarang.”
“Baik, Pak.” Surya, asisten pribadi Cahyo pun memilih menuju ke ruangannya untuk mengambil berkas yang dimaksud Cahyo.
Ceklek. “Sepertinya kamu sedang marah?” Nana yang menyadari aura tidak mengenakkan sejak di ruang meeting tadi, memilih segera menyusul Cahyo ke ruangannya.
“Aku hanya sangat lelah saja.”
Dengan senyuman menggoda seperti biasanya, Nana berjalan lebih mendekati Cahyo dan membuka dua kancing atas bajunya, “Mari bersenang-senang, Baby.”
Cahyo terkekeh, “Aku bukan menolaknya, Na. Hanya saja aku sedang lelah saat ini.” entah, bahkan gairahnya pun seakan ikut sirna sekarang.
Nana tertawa semakin lebar. Sambil mengeluarkan gunung kembarnya dari wadahnya, Nana menunduk dan bersiap menyenangkan Cahyo. Dia tahu, jika sedang lelah seperti ini, Cahyo tidak suka mengeluarkan banyak tenaga untuk mencapai pelepasannya, dan Nana akan selalu melayaninya dengan senang hati.
Ceklek. “Maaf, Pak. Anda sebaiknya cuti atau melakukannya tidak di ruangan ini.” meski hanya berstatus sebagai asistennya saja, Surya cukup berani menegur Cahyo. Dia adalah teman lamanya saat mengenyam pendidikan di Australia dulu, dan bersikap profesional saat di lingkungan kerja sudah dilakukannya sejak bekerja bersama Cahyo. Dulu Cahyo melarang Surya memanggilnya ‘Pak’, tapi karena Surya tidak mendengarkannya, dan tetap memanggilnya nama saat di luar jam kerja, Cahyo membiarkan saja hal itu.
Cahyo terkekeh, “Tidak seperti yang kamu pikirkan.”
Nana yang merasa malu karena Surya memang selalu profesional, segera merapikan bajunya dan keluar dari ruangan Cahyo tanpa berniat mengucapkan apa pun.
Surya sedikit melempar berkas itu ke atas meja kerja Cahyo, dia sangat kesal jika temannya itu melakukan hal yang tidak pantas saat berada di jam kerja, meski ini adalah kantornya.
“Oh, ayolah. Perjaka tua kita tidak sedang merajuk, kah? Kamu kayak perawan baju *****.” ledek Cahyo sambil meraih berkas itu dan membubuhkan tanda tangannya.
“Aku sudah bilang kan, jauhi Nana. Kamu sudah nikah, gimana pun juga kamu musti nerima cewek itu meski gak suka.” Surya mendaratkan bokongnya agak kasar di kursi seberang Cahyo untuk menunggu berkas itu selesai ditanda tangani.
“Ya gak bisa gitu, Sur. Aku sama Nana itu saling suka, kalau saja mama sama papa mau, aku juga akan menikahinya.” bela Cahyo kepada dirinya sendiri, memang dia terlihat jahat dengan keegoisannya yang seakan ingin memiliki semuanya.
“Kamu belom tau aja gimana Nana.”
“Emang kamu tau?” Cahyo melirik Surya sebentar dan melanjutkan pekerjaannya lagi.
“Kalo misal Yuni yang kayak kamu, kamu mau gak diem trus nerima dia?” Surya memang tahu tentang Cahyo yang tidak menyukai Yuni dan mau menikah karena tuntutan cucu dari papanya saja.
Cahyo diam. Berpikir jika dia yang berada di posisi Yuni saat ini. Tapi dengan melepaskan Nana yang begitu perhatian kepadanya, dia tidak akan rela. “Nih. Pergi sono. Bisamu cuma bikin aku pening aja.” Cahyo mendorong berkas itu mendekat ke Surya.
“Ya pening, orang kamu udah agak noleh ke Yuni.” Surya merapikan berkasnya dan bersiap ke luar.
“Sok tempe ni anak.” Cahyo terbahak mendengar ledekan Surya.
“Bukannya sok tau. Kalo kamu gak mulai suka ke Yuni, kamu gak bakalan bingung musti jawab apa kalo kamu emang beneran ada di posisi dia. Yuni cantik juga kok, gak kalah sama Nana. Cuma kamu aja udah ketutup sama tet-eknya Nana, jadi rabun pas noleh ke Yuni.” Katanya sambil melangkah ke luar.
Cahyo segera meraih kertas kosong di sebelahnya, meremasnya cepat dan melemparnya ke Surya, “Dasar, mulut, mulut, mulut, mulut, mulut, dijaga.”
Surya terkekeh. Setelah mendapatkan lemparan kertas yang mengenai punggungnya itu, dia tidak berniat membalas ucapan Cahyo selain tertawa dan segera meninggalkan ruangan itu.
Cahyo menyandarkan punggungnya, meski hanya guyonan saja, nyatanya ucapan Surya memang terdengar seperti benar. Yuni memang cantik, dia sangat menuruti semua ucapan Cahyo meski pun itu menyakitinya. Kulitnya juga putih mulus saat tidak sengaja Cahyo masuk ke dalam kamar mandi saat Yuni mandi dan lupa menguncinya, apa lagi gunung kembarnya yang kencang dan padat meski tak sebesar punya Nana.
Cahyo terkekeh mengingat pertemuan tidak sengaja di kamar mandi yang selalu menari di otaknya itu.
Sore ini Cahyo tidak langsung membawa Yuni pulang ke rumah, meski tubuhnya lumayan lelah, dia ingin mengajak Yuni berjalan-jalan sebentar.
“Kok ke sini, Mas?” tanya Yuni setelah mobil terparkir dengan rapi di pelataran butik ternama di kota Surabaya ini.
“Turun yuk. Aku mau beli sesuatu.” Cahyo turun lebih dulu dan disusul Yuni setelahnya. Berjalan beriringan masuk ke butik dan segera menuju ke deretan gaun panjang dan juga pendek selutut dengan berbagai model, “Saya mencari baju untuk istri saya.”
Pegawai butik itu tersenyum ramah dan berlalu, tidak lama kembali lagi sambil membawa beberapa gaun yang membuat senyum Yuni merekah.
Dengan mata yang berbinar Yuni mulai menyentuh gaun itu dan mengambilnya satu yang menurutnya sangat menarik perhatiannya. Tentang perlakuan Cahyo yang manis tadi, Yuni sudah mulai terbiasa karena selalu melakukannya saat berada di depan papa dan mama Cahyo.
“Silakan dicoba, Nona.” Meski pelanggannya menyebutkan bahwa wanita muda ini adalah istrinya, tapi sang wanita masih terlalu dini untuk dipanggil ‘nyonya’ menurutnya.
Yuni mengangguk dan mengikuti pegawai itu menuju ke kamar ganti. Segera mencoba gaun itu, dan terlihat sangat cocok menurutnya.
Tok. Tok. Tok. “Maaf, Nona. Suami Anda ingin melihat Anda keluar sekarang.” kata pegawai itu dari luar setelah mengetuk pintu dengan sopan.
Yuni berjalan ke pintu dan membukannya. Berjalan mendekati Cahyo, dan menyentuh punggungnya pelan karena lelaki itu sedang memunggunginya sekarang, “Apakah cocok, Mas?”
Cahyo menoleh dan mendapati Yuni yang memakai gaun berwarna merah tanpa lengan dengan belahan dada rendah, robekan tinggi di salah satu sisi pahanya, dan Cahyo yakin, punggungnya pun terekspos dengan sempurna jika dilihat dari belakang. Cahyo yang memilihkan gaun itu tadi dan tidak menyangka Yuni sedang mencoba gaun itu sekarang.
Cahyo lebih mendekati Yuni dan mengulurkan tangan kanannya. Meraih ikatan rambut Yuni dan menariknya agar terlepas.
Sedekat ini dengan Cahyo membuat nafas Yuni naik turun. Aroma mentol segar yang masih sangat kentara menyeruak masuk ke dalam hidung Yuni. Rasanya keningnya mulai berkeringat sekarang.
“Cantik.” Cahyo merapikan rambut Yuni agar terlihat lebih sempurnya dan serasi menurutnya. Cahyo beralih ke belakang Yuni dan mencakup rambutnya, mencoba mencepolnya ke atas karena biasanya mamanya suka berdandan seperti itu saat datang ke pesta. Terlalu asyik dengan kegiatannya, tidak sengaja tangan Cahyo menyentuh punggung yang terasa sangat halus dan mulus itu. Sedikit mengelusnya pelan dari atas sampai bawah dan mengulanginya.
‘Deg.’ Yuni membatu dan tidak berani bergerak merasakan sentuhan itu. Nafasnya lebih memburu dari pada tadi dan jantungnya seakan melompat dari tempatnya. Tubuhnya meremang dan dia tidak tahu bagaimana menyudahinya karena sangat sadar bahwa Cahyo adalah suaminya secara hukum dan juga agama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
tahan Yuni jgn jatuh cinta sama Suryo biarpun dia suami sah kamu...
dia jg tukang ce lap ce lup..🤭
2023-05-09
1
Susana
semoga perasaan yuni tak terbawa.. karena akan merasa sakit.
2021-04-28
1