Cinta. Kata sederhana itu memanglah tidak banyak orang yang paham dengan apa artinya.
Saat orang sudah buta, dia tidak akan peduli lagi dengan batas yang membentang di depannya ini.
“Mbak Yuni, di luar ada bang Hendra.”
Mendengar kata itu, membawa pedih tersendiri di hati Yuni, “Masuk, yuk!”
“Makan di luar, yuk?” ajak Hendra, memang itu tujuan utamanya sejak tadi, “Sekarang kan udah masuk jam makan siang.”
“Maaf, Hen. Kerjaanku banyak, aku gak bisa keluar.” tolak Yuni.
“Gak jauh, cuma ke sebelah doang. Ada kafe kan deket sini?” Hendra masih tidak mau menyerah.
“Hen, aku ...”
“Ya?”
“Aku udah nikah, kamu tau kan?”
Mendengar itu, Hendra malah terbahak, “Yun, Yun, aku tau kamu gak dianggep sama Cahyo.”
Deg.
Hati Yuni rasanya teriris. Apa itu memang benar? Apa itu bukan hanya omong kosong Hendra saja? Yuni tidak tahu dan tidak ingin tahu, “Maaf, Hen. Cukup aku sama mas Cahyo yang tau isi hati kami.”
“Kenapa sih, Yun? Dikit aja, kasih aku kesempatan buat nunjukin kalau---“
“Jangan bilang kamu menyukaiku, Hen.” potong Yuni cepat.
“Ya! Aku mencintaimu! Apa itu salah, HAH!” bentak Hendra. Ruang belakang ini memang dulu dibuat sangat pribadi oleh Cahyo, semua untuk kenyamanan Yuni, dan sekarang bahkan saat Hendra berteriak di sini, pekerja Yuni tidak akan mendengarnya.
Yuni menggeleng, semuanya terlambat dan dia tidak mau bermain api dengan siapa pun. Biar saja pernikahannya yang tidak seperti kebanyakan orang, setidaknya Yuni akan menjaga harga dirinya untuk dirinya sendiri. “Lupakan, Hen. Aku---“
Ceklek.
Yuni dan Hendra menoleh bersamaan ke arah pintu yang terdengar di buka oleh seseorang, menemukan wajah merah padam itu, dengan tatapannya yang sangat tajam.
“Mas, ini gak---“
“Pulang! Jangan ganggu istriku!” tegas Cahyo tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Hendra.
Hendra terkekeh, berdiri dari kursi yang di dudukinya, dan berjalan mendekati Cahyo, “Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini. Apa kau tau? Mulut manis Nana itu sudah mengatakan semuanya kepadaku tentang sikapmu terhadap Yuni. Dan aku mau menerimanya meski dia janda darimu, Pak Cahyo yang terhormat.”
“Hahahahahahaha.” Cahyo terbahak, menepuk pundak Hendra beberapa kali dan berjalan mendekati Yuni. “Aku kasihan denganmu. Apa mulutnya itu juga sudah meng-hisap milikmu saat kau dengan dia berada di Blitar tahun lalu? Sampai kau percaya dengan semua omongan yang keluar dia mulutnya? Apa kau juga sudah pernah meng-hisap habis miliknya sampai kau mudah dibohonginya?”
“Hen? Kamu?” Yuni menggeleng mendengar ucapan Cahyo.
Wajah Hendra memerah, bagaimana bisa seorang seperti Cahyo mempermalukannya di depan Yuni sampai seperti ini.
“Ckckckckckck. Dua orang bo-doh yang tidak tau malu. Satunya suka dengan barang gratisan dan yang satunya seperti pela-cur yang sudah tidak tahan untuk dima-suki.” Cahyo mengusap rambut Yuni perlahan dan menjambaknya saat tangannya sudah hampir mencakup semuanya.
“Au?!” pekik Yuni.
“Lepaskan dia!” Hendra mendekat ingin menggapai tangan kotor Cahyo yang suka seenaknya itu, dan bahkan mungkin membuatnya patah tulang.
Dengan cepat Cahyo melepas rambut Yuni dan memukuli Hendra membabi buta, sudah sangat lama dia menantikan hal seperti ini, dan sekarang saat tikus pengganggu itu masuk ke dalam daerah kekuasaannya, maka Cahyo tidak akan menyiakan waktunya. Membuat mulut yang suka banyak bicara itu mengeluarkan banyak darah, dan hidung yang katanya mancung itu pun patah.
“Mas! Jangan, Mas! Lepas kan! Jangan, Mas!” Yuni sebisa mungkin melerai dua lelaki bertubuh besar yang tingginya melebihi dirinya itu dengan cara memeluk tubuh Cahyo agar berhenti.
Cahyo yang memang sering berolah raga dan memiliki ilmu bela diri tidak kesulitan sama sekali saat melakukan hal seperti itu. Bahkan gangguan Yuni saja seakan tidak terasa.
Hendra yang memang tidak punya keahlian apa pun hanya bisa pasrah saat tenaganya seakan terkuras bahkan hanya untuk menghalau pukulan demi pukulan yang bertubi-tubi.
Brukk.
Cahyo menghempas tubuh Hendra yang sudah lemah seperti kain yang terkoyak ke lantai, menarik tangan Yuni agar mengikutinya, dan membiarkan Hendar yang masih merintih di ruangan itu. “Masuk!” bentaknya ke Yuni.
Yuni yang sudah menangis entah sejak kapan hanya bisa menurut saja. Dia tidak mau Cahyo semakin marah dan semuanya berakhir makin kacau.
Setelah membanting pintu mobil itu, Cahyo kembali ke toko, menyeret tubuh Hendra yang terlihat masih lemas itu, dan melemparnya di teras toko seperti seonggok sampah yang tidak berguna. “Bersihkan ruang istirahat! Kalau aku tau orang ini masuk lagi ke toko, aku akan langsung memecat kalian. Mengerti!”
“Iya, Pak Cahyo.” jawab pegawai itu bersamaan.
Cahyo berbalik masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu kembali ke kantornya. Tubuhnya seakan panas dan dia siap memakan siapa saja.
Setibanya di kantor, tanpa mengajak Yuni, Cahyo turun lebih dulu dan meninggalkan Yuni yang masih menyeka air matanya. Tidak peduli, dia masih marah saat ini.
Setelah wajahnya terlihat lebih baik, Yuni turun dari mobil Cahyo dan menyusulnya masuk ke dalam kantor.
Tidak ada yang dilakukan Yuni. Karena terlalu bosan dengan suasana hening ini, Yuni yang ingat memiliki tab yang disimpannya di laci meja kerja Cahyo, berjalan mendekati laci itu dan berniat mengambil tab miliknya.
Cahyo yang saat ini sedang membubuhkan tanda tangan serta membaca beberapa hal yang mesti diperiksanya, hanya cuek dan seakan tidak peduli dengan Yuni yang kesulitan membuka laci itu karena terhalang oleh kakinya.
Kruueeekkkkk.
Yuni mendongak untuk melihat Cahyo, itu karena dia sedang berjongkok saat ini. Sedikit terkikik saat mendengar suara nyaring yang diyakininya berasal dari dalam perut Cahyo itu, dan menutupi mulutnya agar tawanya tidak sampai keluar.
“Ada yang lucu? Apa perutmu tidak pernah berbunyi selama dua puluh tiga tahun, HAH?!” bentak Cahyo.
"Aku gak ngapa-ngapain. Aku Cuma mau ambil tabku saja.”
Cahyo mendengus sambil merubah posisi kakinya, “Cepat ambil. Bisamu cuma menggangguku saja.”
Yuni segera mengambil apa yang diperlukannya, tapi menaruhnya kembali di atas meja kerja Cahyo dan keluar dari ruang kerja Cahyo.
Cahyo hanya melihat tab yang tergeletak di atas mejanya dan menutupi berkas yang belum diperiksanya, “Hey?!” percuma saja, Yuni juga sudah menutup pintu ruangannya itu dan meninggalkannya sendirian, “Apa dia tidak sadar kalau dia itu sangat menyebalkan.” kerutu Cahyo.
Ceklek.
Cahyo mendongak dan melihat Yuni yang kembali sambil membawa nampan dengan beberapa mangkok dan piring di atasnya. Aroma lezat yang menari melewati hidung Cahyo seakan menggodanya untuk mendekat, jika saja dia tidak sedang marah, mungkin dia akan melakukan hal itu.
Tak.
Diletakkannya nampan yang penuh makanan itu di atas meja kerja Cahyo, dan Yuni tersenyum sambil mengambil semangkuk sup buntut yang didapatkannya dan kantin kantor. Menyendok porsi yang pas untuk dimasukkan ke dalam mulut, dan menyodorkannya ke Cahyo, “Hak!”
Cahyo hanya bergeming dan mengerutkan keningnya, “Aku gak laper.”
“Hak!”
Cahyo berdecap dan meneruskan pekerjaannya kembali.
“HAK!!”
“Kenapa kau membentakku!”
“Karena Mas sangat menjengkelkan. Hak! Atau aku akan mengguyur Mas pake kuah sup ini.”
Cahyo yang memang lapar membuka mulutnya untuk menerima suapan itu, mengunyahnya perlahan dan menelannya. Bagaimana bisa makanan dari kantin kantornya bisa selezat ini? Apa karena Yuni yang menyuapinya? Atau Yuni yang---, “Tunggu.” kata Cahyo dengan mulutnya yang sedikit penuh.
Yuni hanya mengerutkan keningnya saat Cahyo menyuruhnya berhenti.
“Apa kau menaruh racun di dalam makanan ini?” selidik Cahyo.
“Tentu saja aku menaruh racun yang sangat banyak di dalam sini. Kapan lagi ada kesempatan untuk membunuhmu dengan cara yang selangka ini.” maki Yuni. Dia pun menyendok makanan lagi dan melahapnya sendiri, memakannya dengan santai dan memilih duduk di kursi seberang meja Cahyo.
“Kenapa kau memakannya?” tanya Cahyo.
“Aku lapar Pak Cahyo yang terhormat.” jawab Yuni sambil melahap sendiri makanan yang dibawanya.
“Berdiri! Suapi aku!”
“Memangnya tidak takut mati aku racun?”
“Kau sudah memakannya tadi, kau juga akan mati, bukan? Setidaknya aku bisa mati tanpa merasa lapar lebih dulu.”
Yuni pun terkikik, berdiri lagi di samping Cahyo dan menyuapi bayi besar yang pemarah di depannya ini. Sungguh, meski Yuni sudah jatuh cinta, nyatanya dia tetap takut jika melihat Cahyo sedang diselimuti kemarahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
mau tapi malu tuh 🤣🤣🤣
2023-05-25
1
harmawati fathindy
alasan aja ini si Cahyo 😬
buat si Cahyo bucin akut thoorrr...
2021-05-09
1
Susana
nyari perhatian segitunya A'a Cahyo??
2021-05-09
1