CUT
Dor....dor....dor....
Buummmm
Dor....dor....dor....
Suara itu tidak lagi mengejutkanku, suara yang walaupun takut tapi tetap aku dengar. Entah kapan perang ini berakhir? Pertanyaan yang hanya tuhan yang tahu atau hanya mereka yang dengan keegoannya mau berdamai demi kami rakyat yang hanya punya keinginan sederhana di kampung tertinggal ini.
Bisa membajak sawah, bercocok tanam di ladang atau shalat subuh berjamaah ke mesjid dengan aman menjadi impian setiap warga kampung kami.
Kampung Sagoe adalah nama kampungku, letaknya jauh dari perkotaan. Orang kampung kami akan turun seminggu sekali pada hari Kamis untuk berbelanja karena hari itu adalah hari pekan.
Mereka juga membawa hasil kebun yang akan dijual di pasar kecamatan. Itu akan terjadi jika situasi aman, berbeda keadaanya jika terjadi kontak senjata. Warga kampung akan memilih berdiam diri di rumah sambil tiarap di lantai tanah rumah mereka.
Kampung sagoe menjadi kampung yang paling sering terjadi kontak senjata antara aparat pemerintah dengan pasukan pemberontak.
Malam ini, sebuah rumah yang diduga markas para pemberontak telah diledakkan oleh aparat pemerintah. Jumlah tentara yang dikirim ke kampung kami tidak terhitung. Markas yang letaknya di atas bukit tidak jauh dari rumahku.
Suara kendaraan baja serta sejumlah tank milik tentara menghiasi jalan malam itu. Tidak ada yang berani keluar, kami memilih tiarap di lantai tanah yang sudah digelar tikar.
Mulut Abu dan Umiku tidak berhenti berkomat-kamit memanjatkan doa untuk putra mereka. Ya...Abangku adalah salah satu pasukan pemberontak itu.
Tidak ada yang tau jika abangku seorang pemberontak. Karena abangku lari dari pesantren untuk bergabung bersama para pemberontak.
Orang kampung hanya tahu jika abangku di pesantren dan tidak pulang-pulang. Karena alasan Abu memasukkannya ke pesantren yang ada di kecamatan setelah lulus sekolah dasar supaya terhindar dari ajakan untuk ikut memberontak.
Kami sendiri baru mengetahui ketika kami mengunjunginya setahun kemudian. Teungku, panggilan kami kepada setiap orang yang berprofesi sebagai guru ngaji. Salah satu Teungku di pesantren mengatakan pada kami jika Abangku sudah pergi dari pesantren tampa mengatakan sepatah katapun.
Abu dan Umi kecewa, mereka sedih mendengarnya namun apa boleh buat. Semua sudah terjadi. Abu dan Umi sangat tidak menyetujui tindakan pemberontakan ini. Bukan keinginan mereka yang tercapai melainkan banyak nyawa yang hilang. Anak menjadi yatim, istri menjadi janda. Abu sudah sering mengingatkannya. Namun sayang, abangku yang bernama Teuku Muhammad Ilham itu malah lari dari pesantren setelah satu tahun tinggal di sana.
Anak-anak laki-laki di kampungku tidak ada yang bersekolah tinggi. Letak sekolah yang jauh serta pergaulan para pemberontak dengan anak-anak yang tertarik ketika melihat senjata tentu akan membuat mereka dengan gampang mengikuti ajakan para pemberontak. Mereka bahkan tidak tahu tujuan dari pemberontakan itu apa.
Jangan tanya diriku, sekolahku hanya sampai kelas 4 SD. Selebihnya aku belajar sendiri dari buku-buku yang masih tersisa. Abu dan Umi selalu mengatakan jika anak perempuan tidak perlu sekolah tingi-tinggi karena hanya akan mengurus suami serta anak. Dan nasibku berakhir seperti perkataan mereka. Setelah aku bisa membaca dan menghitung, aku dilarang untuk kembali bersekolah dengan alasan keamanan.
Aku menurut dan hanya belajar mengaji di kampung sampai aku tumbuh menjadi gadis. Jangan tanyakan bagaimana wajah abangku sekarang karena kami sudah lama tidak bertemu. Usia kami tidak terpaut jauh, saat dia masuk pesantren umurnya masih tiga belas tahun dan aku berumur sepuluh tahun.
Sekarang umurku delapan belas tahun dan dia sudah menjadi pria dewasa dengan umur dua puluh satu tahun. Sudah delapan tahun kami tidak bertemu, apakah sekaranh dia jadi lebih tampan? Atau dia sekarang sudah berkumis dan berjenggot? Entahlah sampai suara-suara aneh di belakang dapur membuyarkan lamunanku.
"Suara apa itu, Abu?" Tanyaku yang sedikit takut.
"Abu juga tidak tau, mungkin suara musang atau kalong." Jawab Abu dengan raut cemas.
"Cari disetiap rumah!" Suara teriakan dari luar jelas terdengar oleh kami dari dalam karena rumah kami yang berdinding papan tentu tidak kedap suara.
Tok...tok...tok...
"Buka pintunya!" Suara ketukan pintu membuat kami semua ketakutan.
"Cepat buka! Atau kami dobrak!" Abu segera membuka pintu dengan raut wajah ketakutan.
Tampa permisi mereka masuk keseluruh bagian rumahku, membuka lemari pakaian, kolong tempat tidur sampai dapur juga tidak luput dari pemeriksaan pasuka tentara pemerintah.
"Apa ada anak laki-laki di rumah ini?" Tanya seorang dengan pangkat lebih tinggi dari yang lain. Aku bisa menilai dari bagaimana para tentara yang mengacak rumahku melapor padanya.
Dengan gugup Abu menjawab, "Tidak, Pak."
Aku yang tadi dipaksa keluar dengan Umi terus menunduk ketakutan tidak berani menatap mereka. "Ini anak atau menantu?" Tanyanya kembali.
"Anak kandung saya, Pak."
"Sudah kalian periksa semua?"
"Siap Dan, semua sudah diperiksa." Jawab para tentara yang aku yakin itu anak buahnya.
"Kalau ada yang datang meminta pertolongan, segera lapor pada kami!" Perintahnya terakhir pada Abu sebelum mereka keluar dari rumahku.
Abu menutup pintu, kemudian kembali masuk ke kamar bersama kami. Malam itu, kami tidak dapat tidur dengan nyaman sampai menjelang subuh suara-suara aneh kembali terdengar di belakang dapur.
Abu mengambil parang yang biasa digunakan untuk membabat rumput di ladang. Pelan-pelan Abu membuka pintu dan kami melihat dengan dengan raut wajah cemas.
"Abuuu." Ringisan suara seorang laki-laki yang bersembunyi dalam rimbunnya batang nilam di belakang rumahku.
"Ilham." Ucap Abu dengan suara tercekat.
"Berhenti, kamu jangan pernah kemari lagi! Putra Abu di pesantren kamu bukan putraku." Abu menutup pintu dapur lalu masuk ke kamarnya.
Aku dan Umi hanya bisa pasrah melihat abang yang sedang menahan luka. Aku yakin walaupun Abu tidak menerimanya namun jauh dari lubuk hati terdalam Abu pasti sangat mengkhawatirkan abangku.
Abu pasti dilema, jika Abu ketahuan membawa masuk abangku pasti keluarga kami akan menanggung resikonya.
Abu keluar dengan sebuah karung beras berukuran lima belas kilo menuju dapur lalu membungkus nasi tadi malam serta memasukkan satu botol air yang masih hangat dari termos ke dalam karung yang di dalamnya sudah ada beberapa helai kain serta baju yang pernah Abu pakai.
Abu melempar karung tersebut ke dalam rimbunan batang nilam lalu sejurus kemudian aku mendengar suara-suara aneh yang pelan-pelan menjauh dari balik semak.
Setelah peledakan markas yang menurut orang-orang katanya terbesar di kabupaten kami, para aparat keamanan yang dulunya susah masuk ke kampung kami kini mereka tengah melakukan pemeriksaan disetiap jalan yang dilewati oleh orang kampung.
Entah berapa ratus orang atau bahkan sampai ribuan para tentara di kampungku saat ini. Setiap yang lewat selalu ditanya tentang 'Pang Sagoe' sebutan untuk pemimpin pemberontak yang sangat terkenal dan licin sehingga susah ditangkap.
Tidak ada yang tahu wajahnya, pria berjulukan 'Pang Sagoe' itu sangat misterius.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Erni Fitriana
aku yg lahir di sabang thn 70an,karena ayah ku tentara...jadi kyk nengenang kembalu suasana aceh...nuhun thor🙏
2024-06-28
0
Ersa
jgn2 ilham lah pang sagoe itu?
2023-09-30
0
Ersa
ayah tetap lah ayah 🥹
2023-09-30
0