Setiap sore pekerjaanku adalah memberi makan ayam dan bebek seperti biasa. Namun sore ini ada yang berbeda. Seorang tentara menghampiriku yang sedang memberi makan ayam dan bebek. "Dek, ada telor bebek hijau?" Tanya si tentara yang ternyata Bos mereka.
Tatapan kami bertemu sekilas sebelum Umi keluar dengan rasa cemas diwajahnya. "Cut, ada apa?" Tanya Umi cemas.
"Bapak ini tanya telor bebek hijau."
"Iya, Bu. Apa ada telor bebek hijau? Saya mau beli."
"Ada, ada, sebentar saya ambil." Dengan langkah tergesa Umi masuk ke rumah untuk mengambil telur bebek hijau yang diminta si bos. "Nama kamu Cut?" Aku hanya menganggukkan kepala.
"Saya Rendra." Aku tidak menanggapinya. Bagiku tidak penting nama dia karena aku tidak punya urusan dengannya. Umi keluar dengan bungkusan telur di tangannya. "Ini!" Serah Umi pada si Bos itu.
"Berapa, Bu?" Tanyanya.
"Tidak usah, ambil saja!" Ucap Umi yang membuatku kesal. "Enak saja main ambil kalau dia punya perasaan harusnya tetap tinggalin uangnya untuk bayar telur kami." Batinku.
Dan ternyata si Bos itu tetap menyerahkan uang sejumlah sepuluh ribu ke tangan Umi. "Terima kasih Bu." Ucap si Bos itu seraya tersenyum ke arahku juga Umi. Aku membuang muka saat dia menatapku lalu beralih melihat binatang ternakku yang berharga.
Setelah sebulan tenang, malam ini kampungku kembali dikejutkan dengan suara bom yang tidak jauh dari rumahku menjelang subuh. Layaknya sudah terlatih, kami langsung tiarap di lantai beralaskan tikar yang memang selalu disiapkan. Rentetan senjata terus menghujam setiap sudut kampungku.
Derap langkah orang berlari jelas terdengar dari luar rumah. Hanya beberapa menit kontak senjata berlangsung sampai akhirnya memasuki waktu subuh suara letusan senjata api sudah tidak terdengar lagi. Hanya suara truk lapis baja yang terdengar melewati rumahku.
Keesokan harinya baru aku tahu jika markas yang tidak jauh dari rumahku kena lemparan granat dari para pemberontak. Dan beberapa anggota tentara ada yang terluka.
Sepanjang hari sampai malam mereka melakukan patroli ke berbagai penjuru kampung akibat dari kejadian tadi malam. Kampung kami seperti lautan tentara, jumlah mereka kembali bertambah dan pos-pos kecil juga didirikan diberbagai sudut untuk menghalau para pemberontak. Bekas markas di atas bukit sudah dijadikan sebuah pos untuk memantau pergerakan para pemberontak yang mungkin akan kembali.
Setiap warga yang keluar masuk kampung juga diperiksa. Barang-barang bawaan mereka tidak luput dari pemeriksaan. Apa yang membuat kami bertahan? Mungkin itulah pertanyaan yang tersimpan dimemori setiap orang. Di kampung ini kami lahir dan besar dengan kesederhanaan. Ada beberapa petak tanah dan kebun peninggalan Abu Syik sebelum meninggal.
Jangan lupa jika kami adalah kaum bangsawan Aceh. Namun hidup kami tidak mencerminkan kemewahan layaknya bangsawan. Hanya gelar yang tersemat dinama kami selebihnya hidup kami sama seperti yang lain. Perbedaan paling bisa aku rasakan adalah rasa hormat warga pada Abu dan Umi serta Abu yang terkenal karena punya banyak sawah dan ladang.
Dari harta itu malah Abu dan Umi tidak bisa naik haji. Sungguh bangsawan yang tidak beruntung menurutku. Harusnya sepetak tanah atau ladang jika dijual akan cukup bahkan lebih untuk ongkos naik haji namun apa boleh buat. Tidak ada orang yang mau membeli tanah di kampung kami. Selain jauh dari kecamatan, jalannya juga rusak dan tidak banyak alat transportasi umum menuju kesana.
Jika ada yang menjual tanah mereka maka siap-siap menerima tamu tengah malam. Para pemberontak itu akan datang untuk meminta bantuan dana untuk negeri. Maka Abu memilih tidak menjual satu petakpun tanahnya. Tampa menjual sekalipun, setiap habis panen maka akan ada yang datang untuk meminta beras ataupun padi ke rumah tengah malam. Itu terjadi sebelum abangku lari dari pesantren.
Hari-hari berjalan kembali seperti biasa. Sudah dua bulan hidup kami dalam keadaan tenang. Tidak ada kontak senjata atau peledakan markas. Selama dua bulan itupun si Bos yang bernama Rendra itu sering ke rumahku. Tidak ada yang peduli dengan dia. Abu hanya menanggapi sekedarnya karena takut dianggap mata-mata oleh warga yang lain.
Aku berjalan kaki menuju balai pengajian. Langkahku terhenti di depan rumah Miftah teman sepengajian denganku. Aku ingin memanggilnya namun suaraku tercekat ketika melihat beberapa orang tentara keluar dari rumahnya.
Aku meninggalkan rumah Miftah lalu meneruskan perjalanan ke pengajian. Sepuluh menit kemudian Miftah sudah sampai di pengajian dan ia duduk di sampingku. "Tadi ada tentara di rumahmu." Bisikku supaya tidak didengar oleh yang lain.
"Iya, kamu baru tau. Oh iya aku belum sempat cerita kalo aku sekarang pacaran sama Bang Eko." Jawab Miftah seraya tersenyum.
"Pacaran?" Tanyaku tidak percaya.
"Iya, setelah habis tugasnya disini kami akan menikah."
"Kamu yakin?"
"Iya, dia juga udah bicara sama ibu dan bapakku."
"Terus mereka setuju?"
"Iyalah setuju. Orang tua mana yang mau anaknya jadi perawan tua. Kamu jangan berharap ada laki-laki biasa yang melamar kita. Di kampung ini tidak ada lagi pemuda, Cuttttt." Jelas Miftah yang membuatku tersadar.
Benar yang Miftah katakan jika di kampungku memang tidak ada lagi pemuda yang layak untuk menikah. Hanya ada dua kategori lelaki penghuni kampungku. Yang pertama adalah lelaki yang sudah punya cucu atau lansia dan yang kedua lelaki menjelang lansia yang memiliki anak gadis seperti kami.
Apa pemuda di kampungku menjadi pemberontak semua? Jawabannya tentu tidak. Para orang tua yang memeliki sedikit kelebihan akan memasukkan putra-putra mereka ke pesantren di kecamatan. Sedangkan para pemuda yang tidak mau terlibat lebih memilih merantau ke ibu kota provinsi atau ke luar daerah. Banyak juga dari mereka yang pergi merantau ke Malaysia.
Jangan salahkan kami para gadis jika terpesona dengan pemuda-pemuda berbaju loreng. Sebagai gadis normal tentu kami akan tertarik bila mereka memulai. Seperti temanku yang bernama Miftah. Aku? Tidak. Aku memilih untuk seperti ini saja. Aku memasrahkan diri dan jodohku hanya pada Allah yang telah menciptakanku.
Bukankah kita diciptakan berpasang-pasangan? Kenapa harus takut sendiri? Jika janji Allah itu pasti.
Aku pulang ke rumah seperti biasa namun langkahku terhenti di depan pintu saat sayup-sayup aku mendengar pembicaraan dari dalam rumah.
"Bagaimana Pak, Buk, bolehkah saya melamar putri Bapak dan Ibu?" Aku terhenyak, baru tadi siang aku berbicara dengan Miftah masalah ini sorenya langsung kejadian ini menimpaku. Apa yang aku harapkan? Menikah? Bahagia, keluar dari kampung, jauh dari orang tua? Ah...semua terlalu mendadak dan aku tidak bisa menikah dengan orang yang mengancam hidup keluargaku.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Ersa
siapakah pemuda itu?
2023-09-30
0
Reiva Momi
Cut di posisi yg sulit
2023-02-05
0
Sebutir Debu
Kopi nya mendarat kak Rani. Semangat 🥰😍
2022-08-20
0