Secarik kertas yang membuatku penasaran ingin membacanya dengan segera namun urung kulakukan karena tempatnya tidak tepat. Akhirnya, surat kaleng itu aku masukkan ke saku baju yang tertutup kerudung.
Acara takziah sudah selesai, aku sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Kami juga tidak bisa berlama-lama keluar malam karena takut dengan situasi tidak terduga. Sebenarnya kampungku tidak semencekam ini sebelum peledakan markas di atas bukit tempo hari. Kami masih merasa aman dan tidak pernah terjadi pembunuhan.
Begitu sampai ke rumah, aku langsung memasuki kamar dan hal pertama yang kulakukan adalah membaca surat tadi.
"Jangan berhubungan dengan aparat jika mau hidup!!!" Secarik surat kaleng yang ternyata berisi peringatan.
Aku memperlihatkan surat tersebut pada Abu dan Umi. "Ini penyebab kematian Miftah." Ucapku dengan nada marah.
Acara takziah berlangsung sampai malam ketujuh. Rasa persatuan antara warga kampung masih sangat kental. Kami tidak pernah absen mengikuti takziah tersebut. Sampai malam ketujuh, setelah takziah aku mencoba berbicara dengan Ibu Miftah.
Aku menggenggam tangannya, dia hanya tersenyum kecil dengan mata yang masih bengkak akibat menangis. "Mak Wa, apa Cut boleh tau bagaimana kejadiannya sampai Miftah ditemukan meninggal?" Aku memanggil ibu Miftah dengan sebutang Mak Wa, entahlah, aku hanya mengikuti teman-temanku yang lain.
"Siang itu setelah Eko ke rumah melamarnya, dia langsung pergi mengaji? Dan Teungku Zul bilang juga dia ikut mengaji bersama kalian. Sore harinya seperti biasa dia pergi ke tanah kosong dekat irigasi untuk mengarak lembu ke kandang. Sudah mau magrib, Mak Wa lihat lembunya sudah ada di belakang rumah tapi dia tidak ada, kami mencarinya kemana-mana sampai orang kampung menemukannya di pintu air irigasi dengan kondisi seperti itu." Isakan tangis kembali terdengar, aku memeluk Mak Wa, mencoba memberi kekuatan walau aku sendiri rapuh.
Kami berpamitan pada Mak Wa dan Abu Wa karena warga yang lain juga sudah pulang. Saat berjalan sekilas aku menatap kembali rumah Miftah, dia selalu memanggilku dari rumahnya. Dan malam ini aku kembali melihatnya melambai padaku. Dia tersenyum, apa dia sudah bahagia disana? Aku tersenyum ke arahnya. Aku tahu apa yang aku lihat sekarang namun tidak ada ketakutan didiriku saat itu. "Semoga kamu bahagia disana." Batinku, lalu kembali menatap kedepan menyusuri jalan menuju ke rumah.
Tenggat waktu yang Abu berikan sudah sampai. Tentara sangat disiplin dalam waktu, buktinya dia sudah datang tepat jam 9 pagi.
"Assalamualaikum." Ucapnya bersama beberapa orang anak buahnya yang bersenjata lengkap.
"Walaikumsalam." Jawab Abu dan Umi dari dalam.
Abu mempersilahkan Rendra masuk diikuti anak buahnya. Abu dan Umi memanggilku untuk ikut dalam pertemuan itu.
Untuk pertama kalinya aku berani menatapnya walau hanya sekilas. "Pak Rendra, saya dan istri menyerahkan semua keputusan pada putri kami. Dia yang akan menjalani rumah tangganya jadi dia juga yang berhak mengambil keputusan untuk hidupnya. Cut, Pak Rendra menunggu jawabanmu." Abu menatapku sesaat.
Aku menatapnya, untuk pertama kalinya tatapan kami bertemu dalam durasi panjang sepanjang jawaban yang akan kuberikan padanya.
Dengan sorot mata penuh ketegasan, "Maaf, saya tidak bisa menerima lamaran Bapak. Dan tolong, jangan pernah kemari lagi!" Ucapku dengan tegas.
Dari raut wajahnya aku bisa melihat jika Rendra tidak terkejut dengan jawabanku. Mungkin dia sudah memprediksi lebih dulu sebelum kemari.
"Baiklah, Pak. Saya sudah mendapat jawaban langsung dari putri Bapak. Terima kasih, saya pamit dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Jawab Kami serentak.
Dia kembali ke pos dan aku kembali ke kamar. Tidak ada kesedihan karena aku tidak punya rasa. Ketakutanku lebih besar dari rasa yang entah itu membawa bahagia atau malah menjadi petaka. Aku takut berakhir seperti Miftah.
Rendra mematuhi laranganku. Dia tidak pernah lagi ke rumahku. Jika dia mau membeli telur bebek maka dia akan menyuruh anak-anak kampungku untuk membelinya. Surat kaleng juga tidak lagi aku terima.
Dan aku masih menjalani hariku seperti biasa. Ke pengajian selepas zuhur dan selalu melewati rumah Miftah. Setiap sampai di depan rumahnya, aku selalu menoleh seakan dia di sana sedang memanggilku seperti biasa. Terkadang, aku sering menangis jika mengingatnya. Rindu untuk bertemu, pergi dan pulang bersama, bercerita panjang lebar yang tidak jelas ujungnya. Seperti itulah Miftah, gadis ceria dan sedikit konyol.
Hari ini adalah hari pekan di pasar kecamatan. Kami sekeluarga memilih turun ke kecematan untuk berbelanja kebutuhan pokok. Biasanya, Abu sendiri yang pergi namun kali ini Abu memintaku dan Umi untuk ikut. Abu sepertinya takut meninggalkan kami berdua di rumah.
Disinilah aku sekarang, sebuah pasar tradisional di kecamatanku. Semua penjual dan pembeli tumpah ruah disana. Aku memeluk lengan Umi seraya mengikuti Abu. Kami membeli Ikan laut yang sangat jarang kami makan karena letak kampung yang jauh dari laut serta pasar.
Kami juga membeli beberapa helai pakaian, kain serta kerudung juga pakaian untuk Abu. Saat sedang memilih pakaian untu Abu disebuah toko kecil, seorang pria masuk ke toko dan menghampiri kami.
Aku tidak mengenal wajahnya dengan jelas karena pria tersebut memiliki jambang dan jenggot yang lumayan tebal. Matanya sibuk memperhatikan sekeliling dan terlihat gelisah.
"Abu." Panggilnya membuat kami semua menatap si pria dengan raut wajah terkejut.
Kami tahu siapa pria itu, apalagi orang tuaku. Semarah-marahnya orang tua pada anak tapi hati mereka tidak bisa berbohong. Kasih sayang mereka terlalu besar melebihi rasa marah.
"Jangan menemui kami!" Seru Abu.
"Abu, Abang cuma mau bilang jangan terlalu dekat dengan aparat itu. Dan kamu, Cut. Jangan berhubungan dengan mereka!"
"Kenapa? Abang takut aku mati seperti Miftah? Ternyata, Abang tau siapa pelakunya. Aku berdoa semoga siapa pun yang melakukan perbuatan keji pada Miftah mendapat balasan setimpal. Apa yang Abang lakukan pada temanku juga bisa menimpaku suatu saat nanti dan aku harap saat itu Abang sudah bertobat." Jawabku dengan emosi tertahan.
"Pergilah, kami sudah bahagia tampamu. Jangan menemui kami lagi. Putra Abu di pesantren bukan di hutan." Jawab Abu dengan raut wajah kecewa.
"Maafin Abang, Abu. Cut, Abang gak membunuh Miftah. Orang lain yang melakukannya."
"Tapi Abang tau siapa kan?" Sindirku.
Pria itu pergi, sekarang aku semakin marah padanya. Aku tidak mau melihatnya lagi. Apa yang dia lakukan pada Miftah sangat menyakitkan hatiku. Aku membencinya!"
Menjelang siang kami sudah kembali ke kampung. Seperti saat pergi, saat pulang pun kami kembali diperiksa termasuk barang-barang belanjaan kami.
Kehidupan mulai berjalan dengan semestinya. Tidak terasa sudah sebulan setelah kepergian Miftah.
"Aku merindukanmu."
"Aku juga sangat merindukanmu."
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Reiva Momi
kerennn
2023-02-05
0
Cut Nyak Dien
kami sekeluarga dulu juga tinggal didaerah konflik di Aceh,tapi kami pendatang,kami ikut program transmigrasi pemwrintah tahun 1986 ke Aceh Besar. dan kami juga merasakan ketakutan saat kontak senjata saat rumah2 warga dibakar,bahkan pernah sampai tk bisa tidur bermalam2 karena takut.
2021-11-15
1
Cut Nyak Dien
Sukses aelalu pkok e
2021-11-15
1