Assalamualaikum." Ucapnya padaku yang masih gelagapan gara-gara jawabannya tadi.
"W-walaikumsalam. Ada apa? Saya sudah bilang jangan datang lagi kemari!" Ucapku dengan ketus.
Rendra tersenyum, "Bapak ada?" Tanyanya dengan intonasi lebut.
Aku segera memanggil Abu yang tengah membersihkan batang nilam. "Abu, ada Pak tentara didepan." Ucapku.
Seketika itu juga Abu dan Umi masuk ke dalam untuk menemui mereka. "Pak, Buk, maaf mengganggu. Ini saya mau mengembalikan ijazah putra Bapak yang kemarin saya ambik." Rendra menyerahkan selembar ijazah itu pada Abu.
"Saya permisi dulu, Assalamualaikum." Ucapnya seraya melirikku sekilas dengan senyumnya yang emmm...menurtku lumayan.
Abu menyerahkan ijazah itu pada Amak untuk disimpan kembali. Aku kembali duduk disana seraya membaca buku yang sempat aku beli di pasar kemarin.
Beberapa hari berlalu, hari ini adalah hari ke 44 kepergian Miftah. Keluarganya mengadakan takziah kecil-kecilan di rumah mereka.
Aku sekeluarga sudah pasti datang, para tentara dan Eko juga terlihat di sana. Seperti biasa, aku membantu sebisaku di sana. Sampai menjelang siang, beberapa teman sepengajianku juga telah tiba. Aku beristirahat sebentar di salah satu bangku yang tersedia di depan rumah.
"Cut, kamu gak makan?" Tanya Jannah.
Aku menggelengkan kepala, "Bentar lagi." Jawabku.
"Gak nyangka ya, Miftah pergi cepat sekali, padahal dia sudah ada yang lamar." Aku mengerutkan kening menatapnya.
"Kamu tau dari mana?" Jelas aku penasaran karena letak rumah Jannah cukup jauh dari rumah Miftah dan mereka tidak sedekat itu.
"Satu kampung juga tau kalo dia sudah dipinang sama Abang tentara."
Aku hanya bisa menghela nafas yang terasa menyesakkan dada. "Kamu gak dilamar juga Cut? Kamu kan cantik, pasti ada dari mereka yang suka sama kamu." Aku merasa heran kenapa Jannah bertanya seperti itu, kami tidak dekat sampai aku harus menceritakan kisahku padanya. "Aku tidak tertarik dan belum mau menikah. Kamu sendiri?"
Jannah tertawa kecil, "Kita sudah dewasa, Cut. Pasti kita mau menikah, punya suami dan anak. Tapi tidak ada pria yang melamarku, bahkan abang-abang tentara itu tidak ada yang mau mengenalku. Apa aku terlalu jelek ya?" Tanyanya.
"Kalo bisa jangan sama tentara, cari pemuda biasa saja!" Jannah menatapku, "Cut, kamu sadar gak kalo di kampung kita sudah tidak ada lagi pemuda?"
"Makanya kamu keluar kampung biar dapat pemuda." Jawabku seraya tertawa kecil.
"Kamu punya calon di luar kampung ya?" Jannah terlihat penasaran, "Hahaha...udah ah, aku mau makan dulu." Aku pergi meninggalkan rasa penasaran didiri Jannah. Dia terlalu ingin tahu, aku tidak suka.
Aku masuk ke dalam setelah mengambil sepiring nasi. Aku terkejut saat sudah duduk ternyata di dalam sedang terjadi prosesi pengambilan barang pemberian dari keluarga Miftah kepada pria bernama Eko. Disana juga ada Rendra, sepertinya pria pemimpin yang baik. Dengan sepiring nasi di tangan, aku melihat bagaimana sedihnya Ibu Miftah saat menyerahkan sebuah cincin emas yang pernah Eko berikan untuk Miftah sebagai tanda pertunangan mereka.
Ya ampun, Miftah bahkan belum menceritakan hal ini padaku. "Terima kasih Nak Eko sudah menyayangi Miftah, semoga Nak Eko mendapat pengganti yang lebih baik dari Miftah." Ucap Ibu Miftah seraya menyerahkan sebuah cincin lengkap dengan bukti pembeliannya ke tangan Eko.
Pria itu menunduk lalu menggenggam kuat cincin tersebut. "Ini saya berikan untuk Ibu." Ucap Eko seraya menyerahkan kembali cincin tersebut kepada Ibu Miftah. "Terima kasih telah menerima saya, semoga Ibu dan Bapak selalu dalam lindungan Allah. Saya permisi dulu." Ucap Eko lalu keluar meninggalkan Ibu Miftah yang kembali menangis. Rendra menyusul Eko dan tatapan kami bertemu sekejap sebelum dia pergi menyusul Eko.
"Mereka benar-benar saling cinta ya?" Suara Jannah mengagetkanku. Sejak kapan dia duduk di sampingku? Entahlah, dia sudah seperti hantu saja.
Aku tidak memperdulikannya sampai dia bosan lalu keluar dari sana. Aku menikmati makan dengan tenang tapi pikiranku terus bertanya-tanya. Sudah berapa lama mereka berkenalan sampai akhirnya Eko melamarnya? Setiap siang kami pergi mengaji kenapa Miftah tidak menceritakannya padaku.
Di samping pusara sang kekasih, Eko ditemani Rendra tengah terduduk lesu dengan raut wajah kesedihan. "Aku akan menemukan pelakunya, aku janji akan membuat mereka membayar mahal untuk ini." Ucap Eko dengan nada penuh dendam.
Sudah 3 bulan berlalu, bagaimana kehidupan kami? Ya seperti biasa. Aku membantu Umi dan Abu ke sawah atau ke ladang. Hampir tiap hari aku melewati pos Rendra. Namun aku tetap acuh, tidak ada hal yang mengharuskan aku beramah tamah dengannya. Dan selama tiga bulan ini, Jannah sangat sering berkunjung ke rumahku. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman karena merasa aneh dengan perubahan sikap dia yang mendadak.
Jarak rumah kami memang tidak terlalu jauh, namun kami tidak sedekat itu. Setiap ke rumahku dia selalu minta duduk di teras depan, alasanya hanya ingin melihat jalan. Tapi yang aku lihat justru berbeda, dia sering menatap ke arah pos Rendra.
Aku tidak ingin bertanya, namun aku merasa Jannah punya niat lain dengan berkunjung ke rumahku. Berprasangka buruk memang tidak dibolehkan namun dengan situasi konflik seperti ini aku rasa kita juga perlu waspada. Aku memang tidak lulus sekolah dasar tapi aku juga bukan gadis bodoh yang polos dan lugu sehingga tidak bisa melihat gerak gerik Jannah yang mencurigakan.
Keesokan harinya...
Lagi-lagi kami dikejutkan dengan kabar mengejutkan dipagi hari. Abu yang baru pulang dari sawah membawa kabar bahwa Jannah yang sering ke rumah kami dibawa aparat keamanan semalam.
Berita seperti ini selalu cepat tersebar seantero kampung. Aku terkejut, "Cut, hati-hatilah memilih teman!" Nasehat Abu yang tampak gelisah. Lima menit kemudian, beberapa tentara datang ke rumahku. "Bapak, kami harus membawa putri Bapak ke pos untuk dimintai keterangan"
Pranggg....
Suara piring jatuh dari tangan ibuku. "Apa salah anak saya, Pak?" Tanya Abu dengan suara gemetar. Umi sudah menangis memelukku erat. Aku terkejut, berbagai pertanyaan menghantuiku saat ini. Bertahun-tahun perang di daerahku, baru kali ini aku mendapat panggilan ke pos tentara.
"Ayo, Cut. Komandan kami sudah menunggu." Suara dengan nada tegas begitu mendominasi suasana pagi rumahku. Dengan langkah gemetar aku terus berdoa di dalam hati, semoga aku masih bisa kembali ke rumah dengan selamat. Abu dan Umi menangis, mereka sempat meminta untuk menemaniku namun para tentara itu melarang. Alhasil, kedua orang tuaku hanya bisa menangis meratapi kepergianku. Beberapa warga telah berkumpul disana mencoba menenangkan orang tuaku.
Aku dibawa masuk ke sebuah ruangan yang baru pertama kali aku melihat dengan jelas isi dari pos mereka.
Aku duduk di sebuah bangku yang sudah disediakan. "Apa kamu takut?"
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Ersa
aku berasa hidup di kampung itu, pemggambaran kak Othor ttg situasi yg mencekam benar2 bisa membuat pembaca seolah2 ikut hidup di desa sagoe
2023-09-30
0
Reiva Momi
Jannah mata mata 🤔
2023-02-06
0
안니사
Siapa yang gak takut coba. tiba-tiba di jemput tentara langsung di minta menghadap ke komandan. jangan bilang cut sedang di fitnah nih...
2022-10-27
1