"Abu, ada Bapak tentara di depan." Aku memanggil Abu yang sedang berada di kamarnya.
"Iya, Pak." Ucap Abu saat menemui mereka.
Rendra menatap kami sekilas, "Pak, untuk saat ini Bapak serta warga kampung yang lain tidak diizinkan keluar dari kampung. Saya juga ingin bertanya tentang tamu Bapak yang datang kemarin."
"Saya tidak mengenal mereka, kedatangan mereka kemari ingin meminang putri saya untuk keponakan mereka."
"Mereka dari mana?"
"Kecamatan sebelah, Pak."
"Apa pemuda itu juga datang kemarin?"
"Tidak, Pak."
"Bapak atau Cut mengenal pemuda itu?"
"Tidak, Pak. Makanya Cut lansung menolak lamaran mereka." Sedikit senyum tersungging dibibir Rendra dan aku melihat dengan jelas senyum itu setelah mendengar jawaban Abu.
"Besok semua warga kampung diminta ke pos. Kami akan melakukan pendataan dan pembuatan KTP Merah Putih. Jadi yang tidak memiliki KTP tersebut nantinya akan ketahuan jika dia anggota pemberontak. Saya pamit dulu, assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Ucapku dan Abu serentak. Menjawab salam hukumnya wajib bagi sesama muslim walaupun aku tidak menyukainya. Dia terlalu sering menjawab lamunanku.
Keesokan harinya...
Semua warga kampung sudah berkumpul di pos untuk pendataan warga yang akan mendapat KTP Merah Putih sebagai pengenal resmi.
KTP Merah Putih menjadi jimat untuk kami yang berada di dalam suasana konflik. Memilikinya ibarat memiliki nyawa kedua. Secara bergiliran kami menghadap para tentara yang bertugas mencatat data diri kami secara langsung.
Proses pendataan berakhir sebelum zuhur. Begitu sampai di rumah aku dan Umi langsung menyiapkan makan siang karena perut kami sudah sangat lapar.
Suara beduk kembali bergaung dari mesjid kampung. Aku yang sedang berbaring di kamar langsung keluar. Abu memanggil beberapa warga yang lewat di depan rumah. "Siapa yang meninggal?" Tanya Abu.
"Jannah, Abu. Baru saja jenazahnya dibawa pulang. Kami permisi dulu, Assalamualaikum."
Aku berdiri mematung di depan pintu. Lagi- lagi orang yang kukenal pergi untuk selama-lamanya. Berbagai tanya muncul di benakku, apa yang terjadi pada Jannah? Bukankah seharusnya dia aman di sana? Di sana? Aku sendiri tidak tahu di sana itu tepatnya di mana?
"Cut, panggilkan Umi! Kita ke rumah Jannah sekarang." Titah Abu.
Aku tiba di rumah jannah bersama dengan Umi dan Abu. Abu bergabung dengan para tetua lainnya sedangkan umi langsung menuju ke belakang untuk menyiapkan perlengkapan memandikan jenazah.
Aku melihat jenazah Jannah terbujur kaku ditutupi sehelai kain. Sama seperti melihat jenazah Miftah, aku juga mendekati jenazah Jannah untuk meminta maaf yang terakhir kalinya.
Aku membuka sedikit kain yang menutup wajah Jannah. Tidak ada keanehan atau luka seperti yang terdapat di wajah miftah. "Maafkan segala salahku dan aku sudah memaafkan segala salahmu, semoga engkau diterima disisi-nya." Ucapku.
Aku seperti melihat kelas balik di mana ibu Miftah menangis atas kematian putrinya, hari ini aku juga melihat ibu Jannah juga menangis kematian putrinya. Hatiku bertanya apakah ini yang namanya keadilan? Entahlah.
"Kamu sudah tau rasanya sekarang, Da? Bgaimana apa hatimu sakit? Seperti itulah sakit hatiku saat melihat Miftah meninggal. Tuhan maha adil, Da. Doaku tidak pernah berhenti dari pertama melihat Miftah meninggal sampai sekarang, Da. Doa seorang ibu yang anaknya dizalimi oleh anakmu. Sekarang dia merasakan pembalasannya." Ibu Miftah meluapkan emosi yang tertahan selama ini di depan jenazah Jannah.
Ayah miftah bersama beberapa tetua kampung masuk ke dalam untuk menghentikan ibu miftah. Ibu miftah dibawa pulang saat itu juga dan pemakaman untuk jannah juga dilaksanakan hari itu juga walaupun sudah sore. Beberapa tentara juga datang termasuk Rendra. Setelah jenazah jannah dikebumikan warga kampung langsung pulang ke rumah masing-masing.
Ada yang berbeda dengan suasana saat kematian miftah. Saat itu warga kampung masih bertahan di rumah Miftah walaupun jenazahnya sudah dikebumikan tapi kondisi sebaliknya justru terjadi di rumah Jannah. Orang kampung langsung pulang setelah jenazahnya dikebumikan. Aku merasakan tatapan orang kampung terhadap keluarga Jannah seperti tatapan tidak suka yang terlihat dari sorat mata mereka. Apa ini ada hubungannya dengan perkataan ibu Miftah? Entahlah.
Kebetulan atau tidak yang pasti tidak ada takziah di rumah Miftah. Aparat keamanan telah memberlakukan jam malam di kampung kami. Tidak ada yang keluar rumah setelah magrib kecuali ada urusan mendadak yang tidak bisa ditunda. Seperti ibu-ibu melahirkan atau ada yang sakit parah.
Aparat keamanan terus melakukan patroli sepanjang malam di kampung kami. Jika ditanya lebih takut hanti atau tentara? Maka warga kampung termasuk aku akan menjawab lebih takut tentara. Kami tidak pernah tahu apa yang akan terjadi jika berurusan dengan mereka. Tapi bila ketemu hantu, aku cukup membaca sumpah serapah pasti dia akan hilang dengan sendirinya.
Hari-hari berlalu, suasana kampung masih seperti biasa tidak ada peningkatan jumlah orang kampungku tapi jumlah tentara terus meningkat.
Aku rindu makan ikan atau sekedar melihat pasar namun apa daya aku harus terkurung di penjara tak berpagar ini. Pengajian tidak ada lagi, ke sawah juga tidak lagi karena kami sudah selesai panen.
"Kenapa semakin kesini semakin gelap hidupku? Aku rindu suasana dulu, aku ingin ke pengajian, turun ke kecamatan, aku merindukan semua hal indah dulu."
"Aku juga merindukan kapan kamu menerima lamaranku?"
Lagi-lagi dia menjawab lamunanku sesuka hatinya. Aku menatapnya dengan kesal lalu masuk ke dalam memanggil Abu. Dia kesini pasti ingin bertemu Abu.
"Warga kampung sudah diperbolehkan turun ke kecamatan, Pak. Silakan jika mau ke kecamatan tapi tetap harus hati-hati ya Pak!" Abu menganggukkan kepala.
Berbekal satu karung padi, kami membawa turun ke kecamatan untuk dijual. Aku sangat senang hari itu, pergi ke pasar, membeli beberapa buku baru dan pernak-pernik cantik untuk mengikat rambutku yang panjang. Beberapa bros kecil untuk hiasan kerudung dan gelang. Aku ingin memakai gelang.
Setelah melewati pos pemeriksaan, kami menunggu angkutan yang setiap pekan akan turun ke kecamatan. Aku, Abu dan Umi terlihat bahagia. Namun kebahagiaan itu hanya sesaat. Angkutan yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti. Aku melihat beberapa laki-laki yang menutup mulut mereka dengan kain serta memegang senjata menghadang angkutan kami.
"Abu, Umi dan Cut, turun!" Titah salah seorang dari mereka dengan tegas.
Walaupun gemetar kami tetap turun, sementara yang lainnya hanya bisa pasrah dalam doa. Aku juga tidak berhenti berdoa. Berharap keselamatan atasku dan kedua orang tuaku.
"Jalan!" Perintah mereka pada kami untuk mengikutinya. Mereka juga menyuruh angkutan tersebut untuk melanjutkan kembali perjalanannya.
Apakah ini akhir hidupku? Jika iya, aku senang karena aku meninggal disisi kedua orang tuaku.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Reiva Momi
aduhhh aku ikut deg2an 😔
2023-02-06
0
Azzma Wati
ingat dulu orang tua saya juga punya KTP mrah putih,.ko mlam sunyi bnget, orang laki2 harus tidur d masjid..ko mau sekolah tentara bnyak banget d jalan.,sedih banget dulu,😭😭.
2023-01-30
0
안니사
Wahh rombongan itu siapa?! Apa mereka rombongan orang suruhan Kak Ilham?! Apa mereka akan membawa Cut, Abu dan Umi ikut dalam pelarian?! jangan sampai deh...
2022-10-28
1