Dia mengusap kepalaku seraya tertawa.
Cekrek...
Entah berapa banyak foto yang berhasil rekannya ambil. "Kamu sudah bisa belajar dikit-dikit cara ngurus bayi, jangan serahin ke Umi terus. Anggap aja kamu lagi urus bayi sendiri sebelum punya bayi beneran sama saya."
Oh tuhan, makhluk apa yang sekarang berada di sampingku? Kenapa koridor rumah sakit ini terasa panjang sekarang. Apa dia sedang memutar jalannya supaya lama sampai di parkiran?
Abu menaiki mobil jenazah Bang Ilham lalu Umi menaiki mobil jenazah kakak ipar serta putranya. Aku sendiri menaiki kendaraan lapis baja bersama Teuku dan Rendra. Rendra terus bermain dengan Teuku selama perjalanan. "Kalo dalam bahasa Aceh, dia panggil kamu apa?" Tanya Rendra padaku.
"Cecek."
"Kalo aku?" Tanya Rendra kembali.
Aku berpikir sejenak, "Apaa."
"Apa?"
"Apaa."
"Iya, apa dia pamggilnya?" Rekan-rekan Rendra terlihat tertawa. Aku menghela nafas menatapnya dengan kesal. "Panggilan untuk adik dari ibu atau ayahnya ya itu 'APAA'."
"APAA." Ucap Rendra menunjuk pada dirinya sendiri.
Aku menganggukkan kepala. "Apaa Rendra, ah...jelek. Kamu panggil Om aja biar jelas ya, Boy!" Bayi itu tertawa.
Bayi itu larut dalam kebahagiaannya sendiri padahal hari ini kedua orang tua serta abangnya akan dikebumikan. Tapi bayi yang tidak tahu apa-apa ini justru tertawa berada dalam gendongan pria yang telah menyerang keluarganya. "Jangan bersedih, kamu tidak boleh bersedih di depan Rendra. Kamu harus kuat untukknya." Rendra menyeka air mataku tiba-tiba.
Kenapa dia harus melakukan ini semua sekarang? Apa dia sengaja meninggalkan kenangan untukku? Bukankah kenangan hanya akan menyakitkan setiap dikenang?
"Kamu mau menggendongnya?" Aku mengangguk. Pelan-pelan dia menaruh Teuku di tanganku. "Telapak tanganmu harus menyangga lehernya, jangan kaku begitu. Santai aja pegangnya." Jangtungku berdetak kencang buka karena baru pertama kali menggendong bayi tapi apa yang dilakukan Rendra saat ini benar-benar mengguncang dadaku.
Dengan lembut dia mengarahkan telapak tanganku lalu menaruhnya di bawah leher Teuku, jarak kami sangat dekat dan lagi-lagi kami terkena bidikan kamera. Sampai akhirnya...
Cup...
Sebuah kecupan mendarat di keningku. Aku terkejut tapi bibirku tidak bisa bergerak. Ingin protes atau marah namun justru tidak bisa, tubuhku seakan senang menerimanya. Aku menunduk menatap Teuku dalam gendonganku.
"Saya sangat menyayangimu, semoga saya bisa kembali kemari dan saat itu kamu masih sendiri dan mau menerima saya." Dia menatapku yang tengah menunduk.
Air mataku kembali tumpah dengan sendirinya, dia mengangkat daguku lalu menyeka air mata di pipiku dengan tangannya. "Jangan menangis di depan Rendra! Dia harus bahagia walaupun tidak bersama orang tuanya." Aku mengangguk patuh, dia tersenyum lembut lalu kembali duduk di sampingku.
"Kenapa gak dibawa menghadap aja, Dan?" Goda salah satu rekannya.
"Kalo mau, udah dari dulu saya bawa."
"Komandan kurang agresif mungkin."
"Mungkin saya yang kurang agresif atau wanitanya yang terlalu cerdas." Rendra dan rekannya tertawa sementara aku justru tertunduk malu dengan apa yang sudah terjadi.
"Nanti kalo bisa, saya akan coba kirim surat dan kamu akan dipantau oleh rekan-rekan saya di sana. Kalo ada tentara pengganti di pos lalu dekatin kamu, jangan mau ya! Mereka suka main-main tidak seperti saya yang langsung ngajak nikah tapi masih juga kamu tolak. Padahal saya ngajak kamu ke surga tapi kamu malah gak mau."
"Rendra, jagain Cecek ya!" Dia bicara pada Teuku entah sengaja atau tidak tapi wajahnya terlalu dekat denganku dan aku tidak nyaman seperti ini. Jantungku berdetak kencang dari biasanya. Wajahku memanas saat dengan dada yang terasa sesak.
"Apa dia berat? Sini biar saya yang gendong." Dia mengambil Teuku dan lagi-lagi tangan kami bersentuhan. "Aduh, rasanya pengen ke KUA." Seloroh rekan Rendra.
"Ngamar woiiiiii." Sahut yang lain.
"Jadi kangen istri." Tambah yang lain lagi.
"Sabar, bentar lagi ketemu." Timpal yang lain lagi. Rendra menikmati candaan temannya dengan terus bermain bersama Teuku.
"Gimana rasanya punya istri polos, lugu dan malu-malu ya? Pasti seru tuh malam pertamanya." Celutuk seorang rekan Rendra.
"Serulah, apalagi masih ting." Jawab yang lain.
"Sudah, jangan ganggu lagi! Kasihan si bos makin merana aja nanti hidupnya setelah pulang tugas. Ibarat kata hidup segan mati tak mau." Aku mengulum senyum saat kata-kata ledekan untuk Rendra keluar dari mulut rekan-rekannya.
"Tertawa yang keras jangan ditahan. Sepertinya kamu senang jika saya jadi bahan ejekan mereka."
Cup...
Sebuah kecupan kembali mendarat di pipiku. Aku menatapnya marah, "Kenapa, mau lagi? Silakan menertawai saya dan dengan senang hati saya akan memberikannya lagi." Aku membuang muka dari Rendra. Pria ini benar-benar mengambil keuntungan dariku.
"Bos mah bebas, menang banyak. Kita yang jomblo hanya bisa mencium benda mati ini." Keluh rekan Rendra.
Iringan kendaraan akhirnya tiba di kampung Sagoe. Banyak warga yang sudah menunggu kedatangan jenazah. Sebelumnya, Rendra sudah memberikan perintah pada anak buahnya yang masih bertugas di sana untuk memberitahukan kepada kepala desa akan kedatangan jenazah dari putra Bapak Teuku Salahuddin Nur.
Jenazah sudah diturunkan, rumah Abu sudah dipersiapkan sebelumnya oleh para kerabat yang sama-sama tinggal di satu kampung. Bahkan kerabat dari kampung sebelah juga sudah hadir. Rendra turun masih menggendong Teuku. "Kamu bantuin Umi, biar Rendra saya yang jaga." Aku mengangguk lalu masuk ke kamarnya dan lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh pria ini. "Kenapa Bapak masuk kemari?" Tanyaku menatapnya tajam.
"Saya butuh tempat yang tenang bersama Rendra. Apa saya harus bawa dia ke pos? Kamu keluar aja bantuin Umi, biar saya di sini. Tenang aja, saya bukan pencuri. Tapi kalo mencuri hati kamu saya mau." Aku meletakkan tas pemberian Rendra di sana lalu segera keluar.
Sebenarnya aku sungkan membiarkan Rendra di kamarku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Teuku butuh tempat untuk ditidurkan dan harus dijaga. Tapi, membiarkan laki-laki itu dalam kamarku rasanya sangat tidak nyaman. Dia bisa melihat dan menilai kamarku yang jauh dari kata indah.
Sudahlah, setelah ini juga kami tidak akan bertemu lagi. Aku segera membantu Umi dan yang lainnya menyiapkan keperluan memandikan jenazah sampai kain kafan dan lain-lain. Entah apa yang dilakukan Rendra di dalam kamarku, aku sudah tidak peduli. Aku sangat sibuk membantu Umi saat ini.
Tanah di belakang rumah sudah digali, Abu meminta untuk menguburkan mereka dalam satu liang. Abu dan beberapa bapak-bapak kampungku tengah bersiap memandikan jenazah Bang Ilham dan putranya. Sementara Umi beserta beberapa ibu-ibu lain sudah bersiap memandikan jenazah kakak iparku.
Aku melihat Abu untuk pertama kalinya menitikkan air mata. Abu hampir tidak bisa melanjutkannya namun perkataan Teuku Zuk membuat Abu tegar dan kembali melanjutkannya. Sementara Umi juga menitik air matanya saat memandikan jenazah kakak ipar. Umi pasti mengingat semua yang terjadi saat kami di bukit kemaren. Kakak ipar perempuan yang baik, dia juga melayani Umi dengan sangat baik.
Dia pergi bersama kekasih hatinya, seperti yang dia ucapkan tempo hari. Asalkan bisa dekat dengan bang Ilham dia sudah bahagia. Sekarang dia sudah bahagia bisa dekat dengan Bang Ilham sampai akhir hayatnya. Bahkan mereka dikubur satu liang lahat. Dia pergi membawa anak pertamanya yang bernama Teuku Muhammad Zikri.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
No Name
ngakak pas kata panggilan apa,,kalau dii bahasa aceh 'apa' itu sebutan paman gitu😂😂😂ngakak sumpah pada bagian ini..
2024-06-28
0
Ersa
Aamiin
2023-09-30
0
Ersa
asyeeek
2023-09-30
0