Kami berjalan kaki sangat jauh, melewati anak sungai yang membelah satu bukit dengan bukit yang lain. Jangan tanya ini dimana? Karena sudah pasti ini di hutan. Setelah melewati anak sungai, tiba-tiba mereka berhenti lalu menatap kepada kami. Salah satu dari mereka memberi kode dengan dagu kepada yang lain. Kemudian kami kembali berjalan. Aku dan kedua orang tuaku sedang berjalan dalam kegelapan.
Mereka menutup mata kami yang sudah pasti bertujuan untuk menyembunyikan jalur yang sedang kami lalui. Perjalanan ini sangat jauh, aku bahkan tidak tahu jam berapa sekarang. Kakiku sakit dan perih terkena ranting.
Dalam mata tertutup aku juga merasakan bahwa jalan yang kami lalui tidak datar. Kami mendaki kemudian menurun walaupun tidak terlalu terjal tapi jika tidak hati-hati bisa berguling bebas ke bawah.
Berapa jam sudah waktu yang kami tempuh namun belum ada tanda-tanda akan berhenti. "Abu, Umi, kalian baik-baik saja?" Tanyaku.
Orang tuaku sudah tua walaupun tidak renta. Namun perjalanan seperti ini pasti sangat melelahkan bagi mereka. "Bang, apa kita bisa berhenti sebentar? Saya haus." Ucapku memelas.
Entah apa yang mereka bicarakan sesamanya, yang jelas aku bisa merasakan jika mereka sedang berunding. "Tidak bisa, kita harus cepat sampai." Ucap Mereka kemudian kembali menuntunku. Sebelah tanganku dipegang oleh salah satu dari mereka. Dengan mata tertutup sangat susah untuk mengikuti jika tidak dituntun.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya, kami sampai di sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Mata kami sudah dibuka, aku melihat suasana kampung kecil di sana. Selain para pemberontak lengkap dengan bedil, di sana juga ada para wanita serta beberapa dari mereka malah memiliki bayi serta anak-anak yang masih balita.
Kami ditempatkan di sebuah pondok. "Assalamualaikum, Abu, Umi dan Dek." Ucap seorang pemuda yang sangat kami kenal. Dengan senyum khasnya dia mendekati Abu dan Umi lalu mencium tangan keduanya. Aku mencium tangannya seperti biasa dan kami kembali dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita bersama dua orang anak yang satu masih balita dan yang satu lagi masih bayi.
"Rahmah, ini Abu, Umi dan Cut, adiknya Abang." Wanita itu ternyata kakak iparku. Perkataan Abu tempo hari ternyata benar-benar jadi kenyataan. Abangku sudah menikah dan mempunyai dua orang anak.
Wanita bernama Rahmah itu menghampiri kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangan mertuanya untuk pertama kali.
Abu dan Umi tidak bereaksi apa-apa. Sedangkan aku hanya semberikan seutas senyum saat dia bersalaman denganku. Aku memperhatikan kedua keponakanku yang sangat tampan. Ya, aku bisa menebaknya dari pakaian yang mereka pakai serta model rambutnya.
Raut wajah Abu memerah menatap Bang Ilham. Aku melihat Umi mengusap lembut punggung Abu. Dan...
Plakkkk
Sebuah tamparan mendarat di wajah Bang Ilham. Tamparan yang pertama kali aku lihat selama aku hidup. Abu bukan orang yang ringan tangan. Bahkan sebandel-bandelnya Bang Ilham dulu tidak pernah sekalipun Abu memukulnya. Marah atau yang paling parah adalah menyuruhnya bekerja di sawah jika dia membandel.
Kakak iparku serta anaknya yang balita melihat kejadian ini dengan mata mereka. "Dek, bawa anak-anak keluar!" Pinta Abangku sambil memegang wajahnya yang kena tamparan Abu.
"Apa tujuanmu membawa kami kemari, heh? Anak durhaka, bawa kami kembali ke jalan menuju kampung!" Abu membentak Bang Ilham dengan keras sampai beberapa teman-temannya ikut melirik ke arah pondok yang kami tempati.
"Abu, Ilham minta maaf. Ilham tidak mau Abu kembali ke kampung. Jika Abu tidak mau tinggal di sini, Abu bisa pindah ke kecamatan. Nanti Ilham carikan rumah yang bisa Abu tempati."
"Tidak perlu, sekarang bawa kami keluar dari sini!"
"Abu, ini sudah malam. Sangat berbahaya kalo berjalan di sini dalam gelap. Banyak harimau berkeliaran."
"Lebih baik bertemu harimau dari pada memiliki anak durhaka sepertimu." Abu rupanya benar-benar marah kali ini.
Setelah perdebatan panjang antara Abu dan Bang Ilham berhenti, seorang pemuda masuk membawa beberapa makanan untuk kami. "Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Ucap kami datar.
Dia meletakkan nampan berisi beberapa makanan dan air putih untuk kami. "Cut, kenalkan! Dia Muhammad Khalid yang melamarmu lewat keluarganya kemaren."
Aku terkejut lalu menatap sekilas ke arah pria itu. Wajah Abu kembali memerah diliputi emosi. "Aku belum memberikan hak kepada siapa pun untuk mencarikan jodoh buat Cut. Tidak ada seorang pun yang berhak mencarikan jodoh untuknya selain ayahnya." Ucapan yang sangat tajam dari Abu membuat Abangku kembali terdiam. "Saya minta maaf jika kehadiran keluarga saya sudah membuat Abu beserta keluarga tidak nyaman." Ucap pria itu.
"Bukan kamu yang salah tapi anak durhaka ini yang sudah berlagak sebagai wali. Cut masih punya orang tua kecuali jika kalian membunuhku maka silakan kamu nikahkan adikmu dengan pria yang kamu mau. Tapi doaku tidak akan pernah menyertai niatmu sampai akhirat. Seperti yanh sudah kau lakukan, menikah tampa memberitahukan kami. Ternyata selama ini kami hanya punya satu anak."
"Abu, rumah kita sering didatangi para aparat, Ilham cuma gak mau Abu terkena masalah jika terus tinggal di sana apalagi mereka sudah lama mencari Ilham."
"Justru sekarang kamu sedang membuat orang tua ini dalam masalah. Lebih baik kamu bunuh kami sekarang dari pada nanti kalian akan membunuh kami diam-diam." Abu masih tersulut emosi dan pria tadi akhirnya keluar dari pondok itu.
Aku sama sekali tidak memperdulikannya karena aku tidak ingin kembali menorehkan kekecewaan di hati orang tuaku. Sudah cukup apa yang dibuat oleh Bang Ilham, aku tidak akan melakukan hal yang sama.
Malam semakin larut, kami tidur beralaskan tikar seadanya. Angin malam cukup membuat badan kami kedinginan. Tidak ada api untuk menghangatkan karena akan menimbulkan asap yang bisa membuat para aparat menemukan lokasi mereka.
Umi masih sesugukam menahan tangis setelah perdebatan panjang antara ayah dan anak. "Umi yang sabar!" Hanya itu kata yang bisa kuucapkan.
"Apa kabar kampungku? Apa ada yang mencari kami?" Batinku menatap bintang di langit malam.
Semakin subuh udara semakin dingin, Abu sudah bangun dari tidur lalu mendekatiku yang tengah duduk menatap langit-langit. Aku tertidur hanya sebentar karena udara yang sangat dingin membuatku langsung terjaga. Tidak ada selimut tebal, hanya sehelai kain panjang yang diberikan oleh kakak iparku.
"Iya, Abu. Cut mengerti." Sebuah pertanyaan terlintas dibenakku. "Abu, boleh Cut bertanya sesuatu? Cut hanya ingin mendengar pendapat Abu saja." Abu mengangguk.
"Kalo hidup istri mereka sulit bagaimana hidup istri para tentara itu?" Abu menatapku sejenak lalu menghela nafasnya.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Reiva Momi
nggak kebayang kalau ada di posisi cut dan keluarga
2023-02-06
0
안니사
Haaaa begitu menderita kah orang-orang pada saat itu. sungguh tidak pernah terbayangkan....
2022-10-28
1
Sayapperi29
lanjut Thor
salam
Dinda dalam senja
2021-03-31
1