Lima orang laki-laki, tiga orang perempuan dan tiga orang balita terbujur kaku di ruang jenasah sebuah rumah sakit milik tentara. Aku melihat satu persatu jenasah tersebut ditemani Rendra.
Ada seorang tentara yang bertugas membuka kain penutup wajah mereka. Aku melihat jenazah pertama yang dibuka lalu aku menatap Rendra seraya menggelengkan kepala. Kemudian dia menuntunku ke jenazah kedua dan itu juga bukan sampai kami berhenti di jenazah ketiga dan ya...itu abangku, Teuku Muhammad Ilham.
Aku terisak menatap sosok yang sudah lama pergi dari rumah. Sosok yang dulu selalu menjagaku bahkan ia sangat sering mengerjaiku dan membuatku kesal. Kini sosok itu sudah pergi, entah apa yang harus kukatakan pada Abu dan Umi.
Air mataku semakin deras dan dadaku tarasa menyesakkan sampai tiba-tiba aku berada dalam pelukan seorang pria. "Jangan menangis mayat, doakan dia. Kamu harus kuat, masih ada jenazah yang harus kamu lihat selanjutnya." Aku mencoba menyeka air mata lalu melepaskan diri dari pelukannya. Sejenak aku merasa tenang di dalam sana namun aku tersadar akan sesuatu yang tidak pantas aku lakukan.
Dia kembali menuntunku melihat jenasah selanjutnya. "Astagfirullah." Aku tersentak ketika kain penutup dibuka. Jenazah yang terbujur kaku itu adalah kakak iparku. "Mereka punya dua anak." Ucapku menatap Rendra. Seolah mengerti, Rendra menuntunku menuju jenasah selanjutnya. Aku menggelengkan kepala setelah melihat jenasah anak tersebut. Lalu kami menuju jenasah berikutnya dan..."Ini anak pertama Bang Ilham, anak keduanya masih bayi." Rendra mengangguk, aku mencium kening keponakanku sebelum Rendra membawaku keluar dari kamar tersebut.
"Kamu harus kuat, setelah ini tanggung jawabmu akan semakin besar." Ucap Rendra yang berjalan di sampingku.
Kami berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang lumayan panjang sampai akhirnya Rendra berhenti di sebuah ruangan yang berbeda. Ruang ini tidak terlihat seperti ruangan rumah sakit. Banyak mainan serta hiasan di dalamnya. Kami masuk ke dalam lalu menuju ke sebuah kamar. Banyak suara anak-anak di sini dan kami berhenti di depan ruangan kaca. Seorang perawat keluar membawa seorang bayi pada kami. "Bayi ini ada dalam gendongan kakak ipar kamu, sepertinya kakakmu sengaja mengorbankan dirinya untuk bayi ini. Apa kamu masih mengingatnya?"
Aku menatap bayi itu lekat, "Iya, aku mengingatnya. Dia memang anak Bang Ilham yang masih bayi." Ucapku lalu mengulurkan tangan meminta pada suster untuk menggendongnya. Suster memberikan bayi itu setelah mendapat anggukan kepala dari Rendra. "Kamu masih bayi tapi sudah jadi yatim piatu." Ucapku dengan air mata yang lagi-lagi keluar dengan sendirinya.
"Dia harus dirawat dulu di sini karena sepertinya dia kurang terawat saat tinggal di sana. Dia juga sudah diberikan imunisasi." Aku tidak membantah karena kenyataannya memang seperti itu. "Maaf Dek, siapa nama bayi ini?" Tanya suster tersebut.
Ya tuhan, aku lupa menanyakannya pada kakak iparku. "Teuku Muhammad Nur." Rendra menatapku, "Itu yang terlintas di kepala saya." Ucapku membuat Rendra tersenyum. Bayi berumur tiga bulan itu sangat tampan, dia sangat mirip dengan abangku. "Teuku Muhammad Nur, sekarang kamu akan dijaga oleh tante cantik ini ya!" Ucap Rendra seraya mencium pipi Teuku yang masih berada dalam gendonganku.
Deg....
Perasaanku tidak enak, wajah Rendra sangat dekat denganku, bahkan wangi tubuhnya sangat terasa di indra penciumanku. "Kita akan membawanya pulang nanti, sekarang biar suster di sini yang merawatnya dulu. Secara psikis dia cukup terkejut saat kontak senjata berlangsung." Suster kembali mengambil Teuku dalam gendonganku sesuai perintah Rendra.
Aku mencium pipinya sebelum dia masuk bersama suster ke dalam ruangan bayi. "Kapan jenazahnya bisa dibawa pulang?" Tanyaku tampa melihat Rendra.
"Besok, apa kamu sudah bersiap untuk mengatakan ini pada kedua orang tuamu?"
"Mereka sudah siap dengan segala resiko saat mengetahui putranya ikut para pemberontak." Kami berjalan menuju kendaraan lapis baja yang akan mengantar kami kembali ke markas.
"Boleh saya tau gimana ceritanya sampai terjadi kontak senjata?" Tanyaku saat kami dalam perjalanan.
"Markas mereka yang di atas bukit ditembak dengan rudal dari udara. Semuanya hancur tapi setelah diperiksa ternyata markas tersebut sudah kosong. Kami kembali melakukan penyisiran dan ternyata mereka bertemu dengan pasukan yang datang dari lain arah."
"Kenapa sampai terjadi kontak senjata? Apa saat mereka terkepung kalian masih menembaknya?" Rendra menatapku tajam.
"Cut, kami dikirim kemari bukan untuk membunuh. Tugas kami menangkap mereka, saat mereka melawan dengan senjata apa kami harus menunggu untuk ditembak dulu oleh mereka? Sudah jadi hukum dalam peperangan jika tidak menembak maka akan ditembak." Perkataan Rendra kali ini sedikit bernada kesal tapi aku tidak peduli.
"Dari dua jenazah pria tadi apa salah satunya ada pria yang melamarmu?" Tanya Rendra kembali.
"Tidak."
Rendra tidak lagi berbicara padaku sampai kendaraan yang kami naiki berhenti. Rendra mengantarku sampai ke ruangan Abu dan Umi.
"Assalamualaikum." Ucap kami.
"Walaikumsalam, Cut." Aku menghampiri Umi lalu memeluknya. "Abu, Umi, ada yang ingin Cut sampaikan." Aku menatap keduanya namun belum sempat aku memulai, Abu sudah bertanya duluan.
"Kapan jenazahnya bisa dibawa pulang?" Tanya Abu pada Rendra.
"Besok, Pak."
Aku menatap Abu dan Umi dengan perasaan heran. Dari mana Abu tahu jika Bang Ilham sudah meninggal?
"Dia datang menemui Abu bersama istri dan anak pertamanya. Dia meminta maaf sama Abu dan Umi." Jawab Amak dengan deraian air mata. Sedangkan Abu terlihat sedih namun tetap tenang. "Besok pagi, kami akan mengantar Bapak sekeluarga bersama jenazah ke kampung. Cut, kamu bisa tinggal di sini, barang kamu nanti diantar kemari. Saya permisi dulu." Rendra menghilang di balik pintu.
Setelah beberapa menit Rendra pergi, pintu kembali terbuka. Beberapa orang membawa satu tempat tidur dan barang-barangku. "Terima kasih." Ucapku saat menerima tas yang berisi pakaian.
"Ini tas siapa? Aku kan tidak punya tas." Batinku.
Aku membuka tas tersebut dan betapa terkejutnya aku saat melihat isinya. Ada beberapa buku tentang kehidupan serta motivasi diri dan sebuah kerudung serta mukena. "Ada apa Cut?" Tanya Umi.
"Tidak, Umi. Cut sedang melihat buku."
"Buku, kapan kamu membeli buku?"
"Buku gratis Umi, di sini banyak buku yang bisa kita ambil secara gratis." Aku tidak sepenuhnya berbohong kan? Buku ini memang gratis karena belinya pakai uang orang tidak kukenal.
Setelah shalat magrib berjamaah di musalla markas, aku langsung kembali ke kamar. Aku penasaran dengan bukunya. Aku suka membaca, salah satu hobiku ya membaca. Semua aku baca, dari mulai koran bekas yang dipakai untuk membungkus kain di pasar atau buku anak-anak SD di kampung yang sudah tidak dipakai lagi. Itu sebabnya aku bisa berbicara bahasa Indonesia dengan fasih dan lancar.
Abu dan Umi masih di musalla menunggu isya. Aku bisa leluasa membaca buku dengan tenang. Sebuah amplop muncul dibalik halaman tengah buku.
Aku membuka amplop tersebut.
Dan....
***
LIKE....LIKE....LIKE....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
𝟯𝗟𝟬𝗞 𝗚𝗶𝗔𝗻𝗗𝗿𝗔🦚
dannn Apakah itu 👉
2023-08-07
0
Cut SNY@"GranyCUT"
Ya Allah... begini ya konsekuensi perang. Ada yang kalah dan ada yang menang, dan yang kalah pasti jadi korban.
2023-07-12
0
Reiva Momi
umi dan abu bisa ikhlas 😔
2023-02-06
0