Kisah ini membuat saya seperti kembali ke masa lalu. Saat menulisnya, saya harus benar-benar menyusuri setiap jalan yang pernah saya lalui di masa lalu. Jalan yang membuat kami tumbuh sebagai pribadi yang kuat hasil didikan perang bertahun-tahun.
Semoga kalian menyukainya...
Happy Reading...😊😊😊
***
Disinilah kami sekarang, sebuah markas besar yang berada di kabupaten. Abu terlihat tenang, sepertinya Abu memang sudah siap dengan segala resiko yang akan datang setelah ini. Hanya aku dan Umi yang ketakutan dengan keadaan kami sekarang.
Kami tidak berjalan dalam kegelapan kali ini. Mereka tidak menutup mata dan mengikat tangan kami. Tidak ada yang perlu mereka sembunyikan justru mereka sedang memperlihatkan pada kami dan para pemberontak bagaimana kelengkapan alat tempur yang negara berikan pada mereka.
Kami dibawa menuju markas kabupaten dengan menumpangi tank lapis baja yang tertutup. Kami tidak bisa melihat keluar, di dalam tank hanya ada beberapa tentara yang ikut duduk bersama kami serta seorang yang berada diatap tank dengan senjata lengkap.
Mereka juga memperlakukan kami dengan baik, tidak membentak bahkan memberi minum kepada kami.
Aku mengikuti apa yang Abu buat, Abu meminum air yang mereka berikan begitu juga aku dan Umi.
Abu, Umi dan aku ditempatkan di ruangan terpisah. Aku takut tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Di kamar tersebut ada kamar mandi dan sebuah ranjang.
Aku duduk di ranjang dengan gelisah memikirkan apa yang terjadi pada kedua orang tuaku. Kenapa mereka memisahkan kami? Jika ingin membunuh seharusnya langsung ditembak saat itu juga tapi kami malah dibawa kemari. Apa mereka akan menyiksa kami lalu membuang jasad kami ke kampung? Ya tuhan, apakah ini akhir hidupku dengan kedua orang tua yang sudah membesarkanku? Sayup-sayup aku mendengar suara azan, pintu kamarku dibuka dari luar.
"Ini mukena dan sajadahnya serta makan malam untuk kamu. Tenang saja, kami tidak akan berbuat jahat jika kalian mau bekerja sama." Ucap seorang pria dengan seragam lengkapnya.
Malam itu, untuk pertama kalinya aku tidur di tempat asing. Memakan makanan yang mereka berikan dengan memasrahkan diri sepenuhnya pada sang khalik. Jika makanan ini beracun maka malam ini aku akan mati dan aku terus berdoa supaya bisa menjaga imanku sampai akhir hayat. Tapi, malam ini aku tidak juga mati, yang kurasakan saat ini adalah rasa ngantuk yang sangat berat. Hingga akhirnya aku terlelap menjemput mimpi dan berdoa semoga masih bisa melihat kedua orang tuaku esok hari.
Aku terbangun tatkala merasa dingin dengan cuaca subuh yang menyusup masuk melalui celah angin. Sayup-sayup suara azan tengah berkumandang di luar sana. Aku segera ke kamar mandi lalu menunaikan shalat subuh. Aku berzikir cukup lama dari biasanya dengan air mata yang sudah turun dengan sendirinya. Aku tidak tahu kapan bisa menikmati zikir kembali setelah ini.
Pintu kembali terbuka, salah satu dari mereka kembali membawa makanan untukku. Aku menatapnya sekilas sebelum dia menghilang dibalik pintu. "Bagaimana keadaan Abu dan Umi sekarang?" Tanyaku pada diri sendiri.
Aku memakan semua yang mereka bawa ke kamar ini. Aku tidak ingin tahu lagi apakah makanan ini beracun atau tidak. Mati sekarang atau nanti sama saja buatku.
Jika terjadi perang atau markas ini diserang setidaknya aku punya tenaga untuk lari. Pintu kamarku kembali terbuka.
"Rendra!" Batinku.
Pria itu tersenyum lalu seorang lagi membawakan kursi untuknya. Aku duduk disisi ranjang dan dia duduk tidak terlalu jauh dariku. Kami berhadapan, pintu kamarku dibiarkan terbuka dan pria yang membawa kursi tadi sudah keluar meninggalkan kami berdua.
"Apa makanan di sini enak?" Aku menatapnya, apa dia sedang menyindirku? Apa dia kira aku tidak pernah makan makanan enak hanya karena aku tinggal di kampung?
"Gimana keadaan Abu dan Umi? Kenapa kami dipisahin?" Aku bertanya balik.
Dia tersenyum kecil, "Abu dan Umi sangat baik. Mereka tidur dengan baik dan makan juga dengan baik. Perjalanan kemarin pasti sangat melelahkan buat mereka yang sudah tua seperti Abu dan Umi. Mereka juga sudah diperiksa oleh dokter dan hasilnya mereka sehat walafiat dan mungkin Abu cuma terlalu banyak pikiran saat ini jadi dokter meminta Abu untuk banyak istirahat dulu dan tidak memikirkan apa-apa." Rendra menatapku dengan intens.
Kenapa dia di sini? Ingin sekali aku bertanya namun kuurungkan. Aku tidak mau jika dia salah sangka terhadap pertanyaanku.
"Apa ada yang sakit?" Lagi-lagi aku menatapnya .
"Tidak." Jawabku lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia tersenyum dan aku dapat melihatnya dengan ekor mataku.
"Jangan mencuri pandang! Tatap saya dan tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan. Saya akan menjawab sebisanya." Ucap Rendra.
Aku membiarkan dia berkata sesuka hati, aku tidak mau menanggapinya lagi. "Apa kamu sudah bertemu Abangmu? Apa dia baik-baik saja? Apa kamu meminta izinnya supaya bisa menerima lamaran saya?"
Deg...
Pertanyaan apa itu? Meminta izin abangku untuk menerima lamarannya sama saja dengan menyuruh abangku membunuhku secara langsung. "Dasar pria aneh!" Batinku seraya menatapnya.
"Jangan mengatai saya dalam hati. Saya jauh lebih senang jika kamu mengatakan isi hati kamu tentang saya secara langsung. Saya akan lama berada di sini jadi kita bisa bicara banyak hal dan kamu gak perlu takut di bunuh karena Abangmu tidak akan bisa kemari."
"Apa dia bisa membaca isi hatiku?" Batinku.
Dia menatapku serius, "Apa Abangmu punya banyak teman di sana?"
Aku bingung harus menjawab apa, tidak mungkin aku memberitahukan pada Rendra bagaimana keadaan di sana. "Apa pria yang melamarmu juga di sana? Kamu pasti senang bisa berkenalan dengan pria itu. Apa dia tampan? Lebih tampan siapa, dia atau saya?"
Lagi-lagi aku menatapnya, "Menikah bukan untuk mencari suami tampan tapi mencari suami yang bertanggung jawab dan mampu menjadi imam yang baik." Rendra tersenyum mendengar perkataanku.
"Jawab yang jujur, lebih tampan di atau saya?" Aku menggelengkan kepala lalu menatap arah lain.
"Cut, saya tidak bisa menjamin kamu dan kedua orang tuamu dalam keadaan aman setelah keluar dari sini. Apalagi para pemberontak itu pasti mengincar kalian karena dianggap mata-mata walaupun kalian keluarga salah satu dari mereka. Semua kemungkinan buruk itu bisa kita hilangkan jika dari sekarang kita membasminya.
"Apa Bapak sudah bertemu dengan Abu?" Rendra tersenyum kembali, "Ternyata saya tidak salah pilih calon istri. Kami terlalu cerdas untuk saya introgasi."
"Saya hanya bertemu sebentar saat dokter memeriksa kedua orang tuamu. Mereka sekarang lagi di luar kamar menikmati suasana di sini. Dokter mengatakan ini akan bagus untuk kesehatan pikiran Abu dan Umi kamu."
"Jadi mereka di luar, kalo gitu aku mau ketemu." Aku hendak melenggang keluar namun tanganku malah ditahan oleh Rendra.
"Kamu pengecualian!"
"Duduk! Banyak pertanyaan saya yang belum kamu jawab, jika kamu sayang pada kedua orang tuamu lebih baik sekarang kamu jawab pertanyaan saya dan saya tidak perlu lagi bertanya pada kedua orang tuamu. Mereka akan tertekan jika saya atau yang lainnya terus mendesak mereka untuk menjawab pertanyaan kami. Jadi apa pilihanmu sekarang? Jawab saya atau orang tuamu yang menjawab?"
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
🎯™⨀⃝⃟⃞☯ Mamo Nia❤ᵖˡ🏠
ada kh yg mbaca novel ini skrang
2024-11-05
0
Ersa
Bang Ren jgn ngancam dong,kasihan Cut.
2023-09-30
0
Ersa
pantas kak Othor bisa dg detil menggambarkan situasi daerah konflik...👍
2023-09-30
0