Dia memberikanku pilihan yang cukup sulit. Aku bingung harus bagaimana, jika ada Umi atau Abu mungkin aku bisa bertanya pada mereka tapi sekarang, aku sendiri. Rendra masih menatapku lekat. Ternyata wajahnya tampan juga. Aku segera memutus kontak mata kami. Dia tersenyum, "Apa kamu sudah menentukan pilihanmu? Saya atau dia. Kamu atau kedua orang tuamu?"
"Orang tuamu tidak akan berbohong, mereka orang yang taat beribadah. Sangat mudah untuk kami mendapatkan informasi dari orang tuamu tapi saya menahan rekan-rekan untuk mengintrogasi Abu dan Umi kamu karena saya tau kondisi mereka. Jadi sekarang semua keputusan ada di tanganmu. Kamu tidak menjawab pertanyaan saya berarti kamu sedang melindungi abang dan pria itu lalu mengorbankan kedua orang tuamu yang sudah tua. Kamu menjawab pertanyaan saya tentunya kamu juga sudah tau resikonya untuk mereka serta Abu dan Umimu tidak perlu tertekan karena harus menjawab pertanyaan kami."
Pria ini sedang menekanku pelan-pelan. Kata-katanya berhasil membuatku bimbang. "Silakan kamu pikirkan baik-baik, setelah zuhur saya kembali lagi. Dan saya harap kamu sudah menentukan pilihan terbaik."
Rendra keluar dari ruanganku. Aku tidak berkata apa-apa lagi. Jam sudah menunjukkan waktu dhuha, aku memutuskan untuk shalat dhuha kemudian berdoa meminta petunjuk kepada sang pencipta.
Waktu jika tidak ditunggu selalu datang cepat, begitu juga dengan waktu zuhur. Setelah shalat zuhur, pintu ruanganku kembali dibuka. Mereka kembali membawa makanan untuk makan siangku. "Setengah jam lagi, komandan kami akan datang kemari." Ucap pria tersebut sebelum menghilang dibalik pintu.
Aku segera melahap makanan tersebut, tidak boleh ada yang tersisa. Bukankah perbuatan mubazir itu temannya setan? Aku tidak mau menjadi salah satu teman setan. Aku mengucapkan hamdallah setelah perutku terisi dengan semua makanan tersebut.
Seperti yang dikatakan pria tadi, Rendra kembali masuk ke kamarku lengkap dengan sebuah kursi yang dibawa oleh anak buahnya.
"Kalo makanannya tidak enak, beritahu saya biar diganti dengan yang lain."
Aku tidak menjawabnya. Rendra kembali menatapku dengan tajam. "Saya menunggu jawabanmu. Jika kamu tidak menjawab sekarang maka rekan saya yang akan bertanya pada orang tuamu."
"Saya tidak tau dimana letaknya, mata kami ditutup saat dibawa kesana. Kami ada di atas bukit yang tidak terlalu tinggi. Mereka semua punya senjata. Di sana juga ada istri dan anak-anak kecil. Waktu pulang, mata kami juga ditutup sampai kaki bukit ketiga. Lalu mereka menjelaskan arah pulang pada Abu sampai tentara menemukan kami."
"Abangmu ada di sana?"
Aku mengangguk. "Istri dan anaknya juga?" Aku kembali mengangguk. "Pria yang melamarmu?" Lagi-lagi aku mengangguk. "Siapa yang lebih tampan, dia atau saya?" Kali ini aku diam dengan wajah menunduk. "Jika kamu menunduk berarti dia yang lebih tampan." Tampa sengaja aku mengangkat kepala menatapnya.
Rendra tertawa puas dan aku berhasil menjadi gadis paling bodoh di dunia ini. Dia kembali menatapku dengan serius. "Cut, kalian tidak bisa kembali lagi ke kampung."
"Kenapa?" Tanyaku cepat.
"Di sana sudah tidak aman lagi, saya tidak mau terjadi apa-apa sama kamu dan kedua orang tuamu."
"Abu pasti ingin segera kembali ke kampung, di sana ada sawah dan ladang juga ternak kami." Ucapku jujur. Rendra tersenyum menatapku, "Tapi keselamatan putri mereka lebih penting dari sawah dan ladang. Abu dan Umimu sudah memilih untuk tidak kembali ke kampung kalian."
"Hah???" Aku terkejut. Bagaimana mungkin Abu dan Umi membuat keputusan seperti itu. "Tidak mungkin Abu dan Umi mau pergi dari kampung mereka."
"Kamu tidak percaya sama saya? Mereka bahkan sudah sekamar sekarang." Aku menatap Rendra dan dia malah tersenyum melihatku. "Apa kamu mau bertemu mereka?" Aku mengangguk cepat dan Rendra kembali tersenyum saat melihatku.
"Ayo!" Aku langsung berdiri mengikuti Rendra. Kami menyusuri koridor panjang yang dioenuhi oleh para pria berbaju loreng. "Saya meresa seperti sedang membawa calon istri untuk menghadap komandan saya. Lihat, mereka sedang memperhatikan kita." Aku berjalan seraya menunduk mengikuti kaki Rendra. Tidak peduli betapa banyak tentara yang melihatku. Aku hanya ingin bertemu dengan Abu dan Umi.
"Assalamualikum." Ucapku.
"Walaikumsalam." Jawab mereka serentak.
Aku segera berlari memeluk Umi dan Abu bergantian. Umi langsung menangis ketika melihatku untuk pertama kali. "Abu sama Umi baik-baik aja?"
"Kami baik, Nak. Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu sudah makan?" Tanya Umi.
"Sudah Umi, Cut baik-baik aja, Umi dan Abu gak perlu risau."
"Cut, waktu kita sudah habis." Aku menatap Rendra. "Kamu tidak bisa bertemu Abu dan Umi lama-lama, waktumu hanya lima menit dan sekarang sudah habis." Ucap Rendra seraya melihat jam di pergelangan tangannya.
"Abu dan Umi tenang saja, selama di sini Cut beserta Abu dan Umi akan baik-baik aja. Saya permisi dulu." Ucap Rendra lalu melangkah menuju pintu. Aku memeluk Umi serta Abu sebelum mengikuti Rendra kembali menuju ruanganku.
Rendra mengantarku sampai pintu. "Istirahat yang cukup dan jangan pikir apa-apa. Makan yang banyak jangan sampai kamu sakit. Jika ada apa-apa kamu pukul pintunya nanti penjaga akan datang. Saya pergi dulu ya." Ucap Rendra seraya tersenyum. Pintu kembali tertutup dari luar.
Sudah seminggu aku di sini dan selama itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Rendra ataupun Abu dan Umi. Apa yang terjadi dengan Abangku di bukit itu? Aku tidak tahu.
Aku baru menyelesaikan shalat dhuha sampai terdengar bunyi pintu terbuka. Rendra, ya...pria yang membuka pintu tersebut adalah Rendra yang sudah seminggu ini tidak kulihat. "Tetap disitu!" Aku yang hendak bangun tiba-tiba diperintahkan untuk tetap duduk di atas sajadah.
Dia berjalan lalu tiba-tiba duduk di hadapanku. Jarak kami cukup dekat layaknya antara imam dan makmum. "Kamu cantik menggunakan mukena." Dia menatapku seraya tersenyum. Aku langsung menunduk saat sorot matanya menangkap mataku.
"Kami sudah menyisir tempat Abangmu, tapi tidak ada apa-apa di sana. Mereka sudah pindah setelah kalian pergi." Entah harus bahagia atau sedih namun aku sedikit lega karena tidak ada kontak tembak. Aku tidak bisa membayangkan jika harus melihat jasad abangku atau anak-anak mereka yang masih kecil meninggal terkena peluru.
"Cut, saya ingin membawa kamu dan kedua orang tuamu ke Jawa. Apa kamu mau ikut?"
Aku menatapnya, "Saya hanya ikut Abu dan Umi." Jawabku.
"Cut, kamu sudah diincar oleh para pemberontak. Ada yang harus saya katakan sama kamu. Abang kamu sudah meninggal, saya ingin membawa kamu melihat jenazahnya."
"Ya Allah." Aku menutup mulut tiba-tiba seraya menatap Rendra.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
𝟯𝗟𝟬𝗞 𝗚𝗶𝗔𝗻𝗗𝗿𝗔🦚
innalilahi wa innailaihi rojiiuunn.
selamat tinggal Abang Ilham
2023-08-07
0
𝟯𝗟𝟬𝗞 𝗚𝗶𝗔𝗻𝗗𝗿𝗔🦚
uhhhh so sweet banget
2023-08-07
0
𝟯𝗟𝟬𝗞 𝗚𝗶𝗔𝗻𝗗𝗿𝗔🦚
uhukkk, brarti rendra lbh tmpn yak cut dri si Khalid
2023-08-07
0