NovelToon NovelToon

CUT

PANG SAGOE...

Dor....dor....dor....

Buummmm

Dor....dor....dor....

Suara itu tidak lagi mengejutkanku, suara yang walaupun takut tapi tetap aku dengar. Entah kapan perang ini berakhir? Pertanyaan yang hanya tuhan yang tahu atau hanya mereka yang dengan keegoannya mau berdamai demi kami rakyat yang hanya punya keinginan sederhana di kampung tertinggal ini.

Bisa membajak sawah, bercocok tanam di ladang atau shalat subuh berjamaah ke mesjid dengan aman menjadi impian setiap warga kampung kami.

Kampung Sagoe adalah nama kampungku, letaknya jauh dari perkotaan. Orang kampung kami akan turun seminggu sekali pada hari Kamis untuk berbelanja karena hari itu adalah hari pekan.

Mereka juga membawa hasil kebun yang akan dijual di pasar kecamatan. Itu akan terjadi jika situasi aman, berbeda keadaanya jika terjadi kontak senjata. Warga kampung akan memilih berdiam diri di rumah sambil tiarap di lantai tanah rumah mereka.

Kampung sagoe menjadi kampung yang paling sering terjadi kontak senjata antara aparat pemerintah dengan pasukan pemberontak.

Malam ini, sebuah rumah yang diduga markas para pemberontak telah diledakkan oleh aparat pemerintah. Jumlah tentara yang dikirim ke kampung kami tidak terhitung. Markas yang letaknya di atas bukit tidak jauh dari rumahku.

Suara kendaraan baja serta sejumlah tank milik tentara menghiasi jalan malam itu. Tidak ada yang berani keluar, kami memilih tiarap di lantai tanah yang sudah digelar tikar.

Mulut Abu dan Umiku tidak berhenti berkomat-kamit memanjatkan doa untuk putra mereka. Ya...Abangku adalah salah satu pasukan pemberontak itu.

Tidak ada yang tau jika abangku seorang pemberontak. Karena abangku lari dari pesantren untuk bergabung bersama para pemberontak.

Orang kampung hanya tahu jika abangku di pesantren dan tidak pulang-pulang. Karena alasan Abu memasukkannya ke pesantren yang ada di kecamatan setelah lulus sekolah dasar supaya terhindar dari ajakan untuk ikut memberontak.

Kami sendiri baru mengetahui ketika kami mengunjunginya setahun kemudian. Teungku, panggilan kami kepada setiap orang yang berprofesi sebagai guru ngaji. Salah satu Teungku di pesantren mengatakan pada kami jika Abangku sudah pergi dari pesantren tampa mengatakan sepatah katapun.

Abu dan Umi kecewa, mereka sedih mendengarnya namun apa boleh buat. Semua sudah terjadi. Abu dan Umi sangat tidak menyetujui tindakan pemberontakan ini. Bukan keinginan mereka yang tercapai melainkan banyak nyawa yang hilang. Anak menjadi yatim, istri menjadi janda. Abu sudah sering mengingatkannya. Namun sayang, abangku yang bernama Teuku Muhammad Ilham itu malah lari dari pesantren setelah satu tahun tinggal di sana.

Anak-anak laki-laki di kampungku tidak ada yang bersekolah tinggi. Letak sekolah yang jauh serta pergaulan para pemberontak dengan anak-anak yang tertarik ketika melihat senjata tentu akan membuat mereka dengan gampang mengikuti ajakan para pemberontak. Mereka bahkan tidak tahu tujuan dari pemberontakan itu apa.

Jangan tanya diriku, sekolahku hanya sampai kelas 4 SD. Selebihnya aku belajar sendiri dari buku-buku yang masih tersisa. Abu dan Umi selalu mengatakan jika anak perempuan tidak perlu sekolah tingi-tinggi karena hanya akan mengurus suami serta anak. Dan nasibku berakhir seperti perkataan mereka. Setelah aku bisa membaca dan menghitung, aku dilarang untuk kembali bersekolah dengan alasan keamanan.

Aku menurut dan hanya belajar mengaji di kampung sampai aku tumbuh menjadi gadis. Jangan tanyakan bagaimana wajah abangku sekarang karena kami sudah lama tidak bertemu. Usia kami tidak terpaut jauh, saat dia masuk pesantren umurnya masih tiga belas tahun dan aku berumur sepuluh tahun.

Sekarang umurku delapan belas tahun dan dia sudah menjadi pria dewasa dengan umur dua puluh satu tahun. Sudah delapan tahun kami tidak bertemu, apakah sekaranh dia jadi lebih tampan? Atau dia sekarang sudah berkumis dan berjenggot? Entahlah sampai suara-suara aneh di belakang dapur membuyarkan lamunanku.

"Suara apa itu, Abu?" Tanyaku yang sedikit takut.

"Abu juga tidak tau, mungkin suara musang atau kalong." Jawab Abu dengan raut cemas.

"Cari disetiap rumah!" Suara teriakan dari luar jelas terdengar oleh kami dari dalam karena rumah kami yang berdinding papan tentu tidak kedap suara.

Tok...tok...tok...

"Buka pintunya!" Suara ketukan pintu membuat kami semua ketakutan.

"Cepat buka! Atau kami dobrak!" Abu segera membuka pintu dengan raut wajah ketakutan.

Tampa permisi mereka masuk keseluruh bagian rumahku, membuka lemari pakaian, kolong tempat tidur sampai dapur juga tidak luput dari pemeriksaan pasuka tentara pemerintah.

"Apa ada anak laki-laki di rumah ini?" Tanya seorang dengan pangkat lebih tinggi dari yang lain. Aku bisa menilai dari bagaimana para tentara yang mengacak rumahku melapor padanya.

Dengan gugup Abu menjawab, "Tidak, Pak."

Aku yang tadi dipaksa keluar dengan Umi terus menunduk ketakutan tidak berani menatap mereka. "Ini anak atau menantu?" Tanyanya kembali.

"Anak kandung saya, Pak."

"Sudah kalian periksa semua?"

"Siap Dan, semua sudah diperiksa." Jawab para tentara yang aku yakin itu anak buahnya.

"Kalau ada yang datang meminta pertolongan, segera lapor pada kami!" Perintahnya terakhir pada Abu sebelum mereka keluar dari rumahku.

Abu menutup pintu, kemudian kembali masuk ke kamar bersama kami. Malam itu, kami tidak dapat tidur dengan nyaman sampai menjelang subuh suara-suara aneh kembali terdengar di belakang dapur.

Abu mengambil parang yang biasa digunakan untuk membabat rumput di ladang. Pelan-pelan Abu membuka pintu dan kami melihat dengan dengan raut wajah cemas.

"Abuuu." Ringisan suara seorang laki-laki yang bersembunyi dalam rimbunnya batang nilam di belakang rumahku.

"Ilham." Ucap Abu dengan suara tercekat.

"Berhenti, kamu jangan pernah kemari lagi! Putra Abu di pesantren kamu bukan putraku." Abu menutup pintu dapur lalu masuk ke kamarnya.

Aku dan Umi hanya bisa pasrah melihat abang yang sedang menahan luka. Aku yakin walaupun Abu tidak menerimanya namun jauh dari lubuk hati terdalam Abu pasti sangat mengkhawatirkan abangku.

Abu pasti dilema, jika Abu ketahuan membawa masuk abangku pasti keluarga kami akan menanggung resikonya.

Abu keluar dengan sebuah karung beras berukuran lima belas kilo menuju dapur lalu membungkus nasi tadi malam serta memasukkan satu botol air yang masih hangat dari termos ke dalam karung yang di dalamnya sudah ada beberapa helai kain serta baju yang pernah Abu pakai.

Abu melempar karung tersebut ke dalam rimbunan batang nilam lalu sejurus kemudian aku mendengar suara-suara aneh yang pelan-pelan menjauh dari balik semak.

Setelah peledakan markas yang menurut orang-orang katanya terbesar di kabupaten kami, para aparat keamanan yang dulunya susah masuk ke kampung kami kini mereka tengah melakukan pemeriksaan disetiap jalan yang dilewati oleh orang kampung.

Entah berapa ratus orang atau bahkan sampai ribuan para tentara di kampungku saat ini. Setiap yang lewat selalu ditanya tentang 'Pang Sagoe' sebutan untuk pemimpin pemberontak yang sangat terkenal dan licin sehingga susah ditangkap.

Tidak ada yang tahu wajahnya, pria berjulukan 'Pang Sagoe' itu sangat misterius.

***

LIKE...LIKE...LIKE...

Abangku...

Seperti biasa setelah zuhur aku bersiap ke pengajian namun langkahku terhenti saat beberapa tentara sudah berdiri di depan rumahku.

"Kami mau bertemu Bapak." Ucapnya dengan tegas.

Aku sempat menatap matanya sekilas lalu kembali masuk ke rumah. Mereka mengikutiku masuk tampa izin. "Abu sedang sembahyang." Kataku.

Salah satu dari mereka langsung melihat ke kamar Abu lalu mengangguk kecil pada orang yang di aku pikir bosnya.

Aku bingung dengan situasi sekarang, pria yang aku pikir bos mereka terlihat menatapku. Aku ketakutan, apalagi wajah mereka terlihat menyeramkan. Aku terus menunduk berharap orang tuaku segera keluar kamar.

"Abang kamu sekarang dimana?"

Deg....

Aku harus jawab apa, aku bingung. "D-di pesantren." Jawabku sedikit gugup.

"Siapa namanya?" Suara tegasnya sangat mengintimidasi.

"Teuku Muhammad Ilham."

"Sudah berapa lama dia di pesantren?"

"Dari lulus SD."

"Sekarang pasti sudah dewasa, apa ada fotonya?" Aku menggelengkan kepala. Kami tinggal di kampung, foto yang kami miliki hanya foto untuk ijazah.

Abu dan Umi keluar kamar, aku menghela nafas lega dan orang yang ku pikir 'Bos' itu melirik saat aku menghela nafas.

"Putra Bapak sekolah dimana?"

"SD kecamatan, Pak." Jawab Abu.

Si 'Bos' itu memberikan kode kepada anak buahnya untuk ke belakang rumah.

"Dia sekolah sampai tamat?"

"I-iya."

"Bisa saya lihat ijazahnya?"

Abu ketakutan saat mereka meminta ijazah. Dengan gugup Abu kembali masuk ke kamar diikuti beberapa anak buah si 'Bos'. Mereka mencari foto-foto lain namun nihil karena kami memang tidak pernah berfoto.

Abu mnyerahkan ijazah abangku pada si 'Bos'. Aku lupa, rupanya di sana ada foto abangku. Si Bos itu melihat dengan seksama wajah abangku lalu melihat ke arahku. Mungkin dia sedang mencocokkan wajah kami.

Seorang anak buahnya berlari dari arah belakang. "Dan." Panggil anak buah tersebut lalu memperlihatkan beberapa lembar daun nilam yang ternyata terdapat bercak darah.

Si Bos tadi menatap Abu dengan tajam. Abu ketakutan, badanya gemetar sama seperti aku dan Umi. "Bapak sudah tua, saya tidak akan bertindak kasar jika Bapak mau jujur. Saya juga punya orang tua yang selalu berdoa supaya putranya kembali dengan selamat. Sama seperti Bapak yang mungkin tidak menginginkan putra Bapak menjadi pemberontak. Namun anak-anak tersebut justru termakan rayuan mereka yang tidak bertanggung jawab. Saat putra Bapak terluka apa mereka yang sudah berhasil mengajak putra Bapak ikut membantu? Tidak ada yang membantu para pemberontak level bawah seperti anak Bapak. Yang mereka dapatkan hanya luka serta siksaan juga jauh dari keluarga." Kata-kata si 'Bos' itu mampu membuat air mata Abu dan Umi tumpah. Mereka sesegukan menahan tangis.

Aku mencoba menengkan Umi dengan memeluknya, perasaanku juga kacau, aku kecewa dengan abangku namun aku juga tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.

"Apa Bapak melihat wajah putra Bapak tadi? Dugaan kami, putra Bapak adalah pimpinan para pemberontak di daerah ini. Dia dikenal dengan nama 'Pang Sagoe'."

Si 'Bos' itu mensejajarkan badannya dengan Abu yang terduduk lemas di tanah bersama Umi. "Apa Bapak masih mengingat wajahnya?" Tanyanya kembali.

Abu menggelengkan kepala, "Dia datang sebelum subuh, saya tidak melihat jelas wajahnya karena masih gelap dan tidak ada cahaya disana." Si Bos itu menganggukkan kepala kepada anak buahnya lalu keluar dari rumah dengan membawa ijazah abangku.

Aku tetap melanjutkan niatku untuk ke pengajian, namun sayang perjalananku terhwnti sebelum sampai di balai pengajian. Miftah memanggilku dari rumahnya. "Cut...sini!" Panggilnya seraya melambaikan tangan.

Aku memasuki halaman rumahnya, "Kamu gak ngaji?" Tanyaku.

"Eh, hari ini gak ada pengajian. Teungku Zul dipanggil sama tentara ke tempat mereka." Aku terkejut mendengarnya. "Kenapa?" Tanyaku kembali.

"Tidak tau, aku dengar ada yang lapor kalo Teungku sering ngirimin makanan ke markas pemberontak." Aku menelan saliva dengan susah. Begitulah akhirnya jika berhubungan dengan musuh negara. Aparat negara akan memanggil ke markas dan mereka akan diintrogasi habis-habisan.

Ada beberapa karakter warga kampungku. Pertama, warga netral tidal berpihak pada siapa pun.

Kedua, warga penjilat atau mata-mata. Mereka akan memberikan laporan apa saja kepada aparat pemerintah tentang para pemberontak serta keluarganya. Seperti kejadian tadi siang di rumahku. Aparat tersebut mendatangi kembali rumahku hanya untuk bertanya tentang Bang Ilham. Aku yakin ada yang memberitahukan pada mereka tentang abangku.

Dan yang ketiga adalah para pendukung pemberontak. Mereka akan memberi bantuan makanan atau apa saja secara diam-diam. Dan jika ketahuan maka resikonya akan berakhir seperti Teungku Zul.

Aku kembali pulang ke rumah. Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan jika habis kontak senjata. Warga kampung lebih memilih berdiam diri di rumah. Di jalan pulang, aku kembali bertemu dengan segerombolan aparat pemerintah yang sedang berpatroli dengan berjalan kaki.

Aku tidak menatap mereka, jalanku menunduk walaupun sayup-sayup aku mendengar siulan dari beberapa prajurit tersebut. Dengan langkah cepat aku berusaha untuk secepatnya sampai ke rumah.

"Assalamualaikum." Ucapku begitu sampai di rumah.

"Walaikumsalam." Jawab Abu dan Umi serentak. Aku bisa merasakan kegelisahan mereka. Kedua orang tuaku duduk di bangku bambu seperti habis menangis. "Kenapa sudah pulang, Cut?" Tanya Umi.

"Teungku Zul dipanggil ke pos tentara, Umi. Cut gak tau sampai kapan ngajinya diliburkan."

Abu tidak berkata apa-apa lalu memilih masuk ke kamar disusul Umi. Aku sedih karena di usia tuanya mereka justru mengalami kesedihan. Seharusnya seorang anak menyenangkan orang tuannya namun ini malah sebaliknya. Abangku telah menyakiti hati Abu dan Umi, bahkan membuat mereka sedih serta tertekan dengan keadaan sekarang.

Setelah peledakan markas pemberontak, kondisi kampungku lumayan tenang. Yang aku dengar dari beberapa temanku, para pemberontak tersebut telah lari keluar dari kampung kami.

Teungku Zul telah dibebaskan dan pengajian kembali berjalan seperti biasa. Satu hal yang membuatku merasa aneh, tidak jauh dari rumahku tiba-tiba dibangun markas tentara. Cukup seminggu waktu yang dibutuhkan, markas tersebut sudah berdiri lengkap dengan karungan pasir sebagai dinding di sekeliling markas.

Aku juga merasa rumahku dalam pantauan mereka. Gerak gerik kami seperti selalu diikuti oleh mereka. Apa yang membuat mereka bersikap seperti itu? Pertanyaan demi pertanyaan terus menghantui pikiranku hingga suatu hari aku mendengar dari temanku yang bernama Miftah jika mereka mengincar abangku yang kemungkinan adalah orang yang paling mereka incar selama ini. Ya...mereka menduga jika abangku adalah Pang Sagoe.

Sebulan lebih markas itu berdiri. Aku tidak pernah keluar rumah selain ke pengajian atau membantu Umi dan Abu di ladang. Jangan tanya apa yang kami makan sehari-hari. Kampung kami yang jauh dari pasar kecamatan dan yang berjualan di kampungku juga tidak ada. Untuk makan kami memiliki beras hasil dari sawah sendiri, sayur-mayur hasil kebun dan ikan air tawar yang kadang-kadang Abu bawa pulang dari sungai. Jika tidak ada ikan, maka kami akan makan telur ayam atau telur bebek hasil dari beternak.

***

LIKE...LIKE...LIKE...

APA INI???

Setiap sore pekerjaanku adalah memberi makan ayam dan bebek seperti biasa. Namun sore ini ada yang berbeda. Seorang tentara menghampiriku yang sedang memberi makan ayam dan bebek. "Dek, ada telor bebek hijau?" Tanya si tentara yang ternyata Bos mereka.

Tatapan kami bertemu sekilas sebelum Umi keluar dengan rasa cemas diwajahnya. "Cut, ada apa?" Tanya Umi cemas.

"Bapak ini tanya telor bebek hijau."

"Iya, Bu. Apa ada telor bebek hijau? Saya mau beli."

"Ada, ada, sebentar saya ambil." Dengan langkah tergesa Umi masuk ke rumah untuk mengambil telur bebek hijau yang diminta si bos. "Nama kamu Cut?" Aku hanya menganggukkan kepala.

"Saya Rendra." Aku tidak menanggapinya. Bagiku tidak penting nama dia karena aku tidak punya urusan dengannya. Umi keluar dengan bungkusan telur di tangannya. "Ini!" Serah Umi pada si Bos itu.

"Berapa, Bu?" Tanyanya.

"Tidak usah, ambil saja!" Ucap Umi yang membuatku kesal. "Enak saja main ambil kalau dia punya perasaan harusnya tetap tinggalin uangnya untuk bayar telur kami." Batinku.

Dan ternyata si Bos itu tetap menyerahkan uang sejumlah sepuluh ribu ke tangan Umi. "Terima kasih Bu." Ucap si Bos itu seraya tersenyum ke arahku juga Umi. Aku membuang muka saat dia menatapku lalu beralih melihat binatang ternakku yang berharga.

Setelah sebulan tenang, malam ini kampungku kembali dikejutkan dengan suara bom yang tidak jauh dari rumahku menjelang subuh. Layaknya sudah terlatih, kami langsung tiarap di lantai beralaskan tikar yang memang selalu disiapkan. Rentetan senjata terus menghujam setiap sudut kampungku.

Derap langkah orang berlari jelas terdengar dari luar rumah. Hanya beberapa menit kontak senjata berlangsung sampai akhirnya memasuki waktu subuh suara letusan senjata api sudah tidak terdengar lagi. Hanya suara truk lapis baja yang terdengar melewati rumahku.

Keesokan harinya baru aku tahu jika markas yang tidak jauh dari rumahku kena lemparan granat dari para pemberontak. Dan beberapa anggota tentara ada yang terluka.

Sepanjang hari sampai malam mereka melakukan patroli ke berbagai penjuru kampung akibat dari kejadian tadi malam. Kampung kami seperti lautan tentara, jumlah mereka kembali bertambah dan pos-pos kecil juga didirikan diberbagai sudut untuk menghalau para pemberontak. Bekas markas di atas bukit sudah dijadikan sebuah pos untuk memantau pergerakan para pemberontak yang mungkin akan kembali.

Setiap warga yang keluar masuk kampung juga diperiksa. Barang-barang bawaan mereka tidak luput dari pemeriksaan. Apa yang membuat kami bertahan? Mungkin itulah pertanyaan yang tersimpan dimemori setiap orang. Di kampung ini kami lahir dan besar dengan kesederhanaan. Ada beberapa petak tanah dan kebun peninggalan Abu Syik sebelum meninggal.

Jangan lupa jika kami adalah kaum bangsawan Aceh. Namun hidup kami tidak mencerminkan kemewahan layaknya bangsawan. Hanya gelar yang tersemat dinama kami selebihnya hidup kami sama seperti yang lain. Perbedaan paling bisa aku rasakan adalah rasa hormat warga pada Abu dan Umi serta Abu yang terkenal karena punya banyak sawah dan ladang.

Dari harta itu malah Abu dan Umi tidak bisa naik haji. Sungguh bangsawan yang tidak beruntung menurutku. Harusnya sepetak tanah atau ladang jika dijual akan cukup bahkan lebih untuk ongkos naik haji namun apa boleh buat. Tidak ada orang yang mau membeli tanah di kampung kami. Selain jauh dari kecamatan, jalannya juga rusak dan tidak banyak alat transportasi umum menuju kesana.

Jika ada yang menjual tanah mereka maka siap-siap menerima tamu tengah malam. Para pemberontak itu akan datang untuk meminta bantuan dana untuk negeri. Maka Abu memilih tidak menjual satu petakpun tanahnya. Tampa menjual sekalipun, setiap habis panen maka akan ada yang datang untuk meminta beras ataupun padi ke rumah tengah malam. Itu terjadi sebelum abangku lari dari pesantren.

Hari-hari berjalan kembali seperti biasa. Sudah dua bulan hidup kami dalam keadaan tenang. Tidak ada kontak senjata atau peledakan markas. Selama dua bulan itupun si Bos yang bernama Rendra itu sering ke rumahku. Tidak ada yang peduli dengan dia. Abu hanya menanggapi sekedarnya karena takut dianggap mata-mata oleh warga yang lain.

Aku berjalan kaki menuju balai pengajian. Langkahku terhenti di depan rumah Miftah teman sepengajian denganku. Aku ingin memanggilnya namun suaraku tercekat ketika melihat beberapa orang tentara keluar dari rumahnya.

Aku meninggalkan rumah Miftah lalu meneruskan perjalanan ke pengajian. Sepuluh menit kemudian Miftah sudah sampai di pengajian dan ia duduk di sampingku. "Tadi ada tentara di rumahmu." Bisikku supaya tidak didengar oleh yang lain.

"Iya, kamu baru tau. Oh iya aku belum sempat cerita kalo aku sekarang pacaran sama Bang Eko." Jawab Miftah seraya tersenyum.

"Pacaran?" Tanyaku tidak percaya.

"Iya, setelah habis tugasnya disini kami akan menikah."

"Kamu yakin?"

"Iya, dia juga udah bicara sama ibu dan bapakku."

"Terus mereka setuju?"

"Iyalah setuju. Orang tua mana yang mau anaknya jadi perawan tua. Kamu jangan berharap ada laki-laki biasa yang melamar kita. Di kampung ini tidak ada lagi pemuda, Cuttttt." Jelas Miftah yang membuatku tersadar.

Benar yang Miftah katakan jika di kampungku memang tidak ada lagi pemuda yang layak untuk menikah. Hanya ada dua kategori lelaki penghuni kampungku. Yang pertama adalah lelaki yang sudah punya cucu atau lansia dan yang kedua lelaki menjelang lansia yang memiliki anak gadis seperti kami.

Apa pemuda di kampungku menjadi pemberontak semua? Jawabannya tentu tidak. Para orang tua yang memeliki sedikit kelebihan akan memasukkan putra-putra mereka ke pesantren di kecamatan. Sedangkan para pemuda yang tidak mau terlibat lebih memilih merantau ke ibu kota provinsi atau ke luar daerah. Banyak juga dari mereka yang pergi merantau ke Malaysia.

Jangan salahkan kami para gadis jika terpesona dengan pemuda-pemuda berbaju loreng. Sebagai gadis normal tentu kami akan tertarik bila mereka memulai. Seperti temanku yang bernama Miftah. Aku? Tidak. Aku memilih untuk seperti ini saja. Aku memasrahkan diri dan jodohku hanya pada Allah yang telah menciptakanku.

Bukankah kita diciptakan berpasang-pasangan? Kenapa harus takut sendiri? Jika janji Allah itu pasti.

Aku pulang ke rumah seperti biasa namun langkahku terhenti di depan pintu saat sayup-sayup aku mendengar pembicaraan dari dalam rumah.

"Bagaimana Pak, Buk, bolehkah saya melamar putri Bapak dan Ibu?" Aku terhenyak, baru tadi siang aku berbicara dengan Miftah masalah ini sorenya langsung kejadian ini menimpaku. Apa yang aku harapkan? Menikah? Bahagia, keluar dari kampung, jauh dari orang tua? Ah...semua terlalu mendadak dan aku tidak bisa menikah dengan orang yang mengancam hidup keluargaku.

***

LIKE...LIKE...LIKE...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!