Kami tidak kembali hari ini sesuai yang Abu pinta. Entah apa yang terjadi hingga Abangku terlihat gelisah. Aku melihat Abu yang sedang duduk di batang kayu yang sudah mati. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kekecewaan dan kesedihan.
Sementara Umiku tampak senang bermain dengan cucunya. Menggendong bayi tersebut membuat Umi tersenyum bahagia. Hati seorang ibu memang berbeda. Semarah-marahnya pada seorang anak tapi bila dia datang membawa cucu pasti luluh juga. Sepertinya abangku sangat mengetahui trik tersebut.
"Boleh Abang duduk di sini?" Lamunanku buyar ketika pertanyaan seorang pria terdengar di sampingku.
Aku menganggukkan kepala sekilas melirik ke arahnya. Ya...dia pria itu. Muhammad Khalid, pria yang sudah aku tolak lamarannya. "Kenapa kami tidak bisa pulang hari ini?" Tanyaku tampa menatapnya.
"Ada masalah di bawah, banyak aparat yang menyisir kampung sekitar setelah kalian tidak kembali."
Aku sudah bisa menerka situasinya seperti apa sekarang di sana. "Dek," Dia memanggilku.
"Ya." Jawabku singkat dan lagi-lagi tampa melihatnya.
"Apa kamu mau menikah sama Abang?"
"Abang sudah tau jawabannya."
"Apa kamu suka sama tentara itu?" Kali ini aku menatapnya. "Abang tau ada tentara yang suka sama kamu."
"Terus Abang mau bunuh aku seperti Miftah? Kalo iya, lakukan sekarang selagi Abu dan Umi di sini. Jadi aku bisa disyahadatkan oleh mereka sebelum mati." Jawabku dengan berani sambil menatap matanya penuh dengan amarah.
"Abang tidak membunuh Miftah."
"Tidak perlu dijelaskan. Aku sudah cukup paham. Biarpun tidak lulus SD tapi aku bukan gadis bodoh yang mudah ditipu.
"Dek, Abang suka sama kamu."
Aku tersenyum sinis, terus dia berharap apa? Aku membalas perasaannya? Itu hanya jadi angan semata. Aku terlalu benci pada mereka karena Miftah.
"Aku tidak menikah sebelum Abangku pulang ke rumah!" Ucapku lalu pergi menemui Umi dan Kakak Ipar.
Rupanya, kakak iparku sedang sibuk memasak. Aku menghampirinya, tidak ada kebencianku terhadapnya. Dia hanya seorang wanita yang mengikuti kata hati tampa memakai logika.
"Orang tua Kakak masih ada?" Tanyaku.
Dia tersenyum, "Tinggal Ibu sama adik perempuan yang lain sudah meninggal."
Aku menatapnya, ingin bertanya lebih tapi ragu-ragu takut membuatnya sedih. Dia kembali tersenyum, "Ayah Kakak dibawa aparat keamanan karena dituduh sebagai mata-mata. Adik laki-laki terkena tembakan saat kontak senjata di kampung Kakak."
"Gimana bisa ketemu Bang Ilham?"
"Dikenalin sama Ayah Kakak sebelum meninggal."
Aku mengangguk mengerti ternyata orang tuanya memang berhubungan dengan para pemberontak seperti abangku.
"Apa Kakak bahagia hidup di sini?"
"Dimana aja sama, Dek. Tergantung kita yang menjalani. Asalkan bisa dekat dengan Abang, Kakak sudah bahagia."
Aku terdiam, ternyata cinta mengalahkan segalanya di sini. "Kenapa kamu menolak lamaran Bang Khalid?" Sekarang dia yang bertanya padaku.
"Aku tidak menikah dengan orang yang tidak aku kenal."
"Jangan menyukai tentara, Cut. Mereka tidak sebaik yang kamu bayangkan."
Aku tersenyum sinis, "Para pemberontak itu juga tidak sebaik yang Kakak bayangkan. Mereka bahkan sanggup membunuh seorang gadis yang mencintai musuh mereka."
"Miftah? Dia itu mata-mata aparat, Dek. Para aparat itu sengaja mendekati gadis-gadis kampung untuk mendapatkan informasi."
"Apa ada bukti jika Miftah Mata-mata? Semua info yang pemberontak itu dapatkan juga dari mata-mata mereka yang belum tentu jelas kebenarannya. Aku bisa melihat bagaimana calon suami Miftah menangisi kepergian calon istrinya. Dan itu keluar dari perasaan bukan rekayasa."
"Sudahlah Kak, aku keluar dulu." Aku melenggang pergi meninggalkan kakak iparku yang masih ingin membela pemberontak.
Aku tidak bisa mendengar apapun pembelaannya karena bukti yang aku lihat tidak sesuai dengan perkataan kakak iparku.
"Jika kalian tidak mengantar, Abu akan pulang sendiri." Rupanya Abu kembali berdebat dengan abangku di luar.
Alhasil hari itu juga kami di antar hanya sebatas kaki bukit lalu mereka memberi petunjuk jalan kepada Abu. Kami bertiga berjalan dalam rimba yang entah benar atau salah jalan yang kami tempuh. Tujuan kami hanya satu yaitu rumah.
Seandainya kami bukan keluarga dari salah satu pemberontak maka nasib kami saat ini sudah menjadi mayat. Aku tidak bisa membayangkan nasib kami setelah sampai di kampung. Satu hal yang aku yakini begitu sampai di kampung kami pasti akan diinterogasi habis-habisan.
Aku sempat mendengar perdebatan Abu dengan abangku yang melarang kami kembali ke kampung. "Abu, mereka akan membawa Abu ke markas pusat dan menyiksa Abu jika tidak mengatakan yang mereka tanya." Abangku berusaha membujuk Abu kembali sebelum kami pergi namun usahanya sia-sia.
"Kamu tembak kami sekarang, biar kamu tenang!" Ucapan Abu membuat abangku terdiam seraya menghela nafasnya. Sepertinya, Abu sudah pasrah dengan apa yang akan dihadapinya nanti.
Abu terus berjalan walaupun pelan namun kami tidak berhenti. Abu sudah biasa berladang jadi jalur rimba seperti ini tidak terlalu memberatkannya begitu juga dengan Umi yang terbiasa mengikuti Abu ataupun orang tuanya dulu berkebun di kaki bukit.
Aku lelah begitu juga dengan orang tuaku. Tapi mereka tidak mengeluh. Kami berhenti sebentar kala mendapati anak sungai. Mencuci muka serta meneguk airnya untuk menghilangkan rasa haus. "Abu, kita seperti musafir sekarang." Selorohku untuk memecahkan suasana. Bukankah saling berbincang membuat perjalanan akan terasa cepat? Aku sedang berusaha untuk membuat perjalanan kami menjadi tidak terasa.
"Cepat ambil wudhu, kita shalat berjamaah!" Titah Abu. Kami mengambil wudhu lalu memakai mukena untuk shalat. Kami selalu membawa mukena saat turun ke kecamatan. Untuk berjaga-jaga jika angkutan terlambat berangkat.
Kami shalat berjamaah dengan khidmat. Maka nikmat tuhanmu yang manakah ingin kau dustakan? Sungguh tidak ada nikmat yang bisa kita dustakan. Bahkan saat kami di dalam rimba tak bertuan, tuhan masih memberikan kemurahan-Nya dengan mempertemukan kami dengan anak sungai yang jernih.
Urusan kiblat dan waktu masuk shalat zuhur tidak perlu ditanya lagi. Abu dan Umi sudah sangat paham dengan petunjuk yang Allah berikan melalui alam. Abu melihat matahari lalu mengambil sebatang ranting lalu dari bayangan ranting tersebut Abu bisa tau jika ini sudah masuk waktu zuhur atau belum. Begitu juga dengan arah kiblat.
Sebagai orang yang terlahir dari kampung serta dibesarkan dengan keseharian menjelajah hutan saat kecil tentu itu bukan lagi hal yang besar untuk Abu dan Umi.
Abu berdoa sangat lama, aku sama Umi saling menatap di belakang. Tidak biasanya Abu seperti ini. Setelah menunggu Abu beberapa saat, kami merapikan kembali alat shalat dan memasukkannya ke dalam tas goni yang biasa Umi bawa jika ke pasar.
Kreekkk....
"Angkat tangan!!!"
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Ersa
ilham secara lgsg maupun tdk lahsg dg menculik ortu&adikmu ,kamu menempatkan keluarga di posisi yg serba susah. tdk kembali ke desa dianggap pemberontak kembali kedesa pst diintrogasi.
Abu berdoaama mungkinkah sdh punya firasat??😭
2023-09-30
0
Reiva Momi
cerita nya seru, aku suka
2023-02-06
0
안니사
OMG!!! Itu siapa?! Aparat atau pemberontak yang lain?!
2022-10-28
1