"Apa kamu takut?" Pertanyaan apa itu? Ya jelas takut, aku sangat takut sekarang.
Rendra duduk di depanku, jarak kami hanya tidak terlalu dekat. Aku masih menunduk, aku meremas ujung kerudung yang kugunakan.
"Apa kamu mengenal Jannah?" Aku menganggukkan kepala.
"Dia teman dekat kamu?" Aku menggelengkan kepala.
"Apa kamu bisu?" Lagi-lagi aku menggelengkan kepala membuat Rendra menghela nafasnya dan itu terdengar olehku.
"Kalo kamu mau cepat keluar dari sini makan lihat saya dan jawab pertanyaan saya dengan suara bukan gerakan kepala. Kamu bisa bahasa Indonesia kan?"
Aku mengangkat kepala lalu menatapanya seperti yang dia perintahkan. Rendra tersenyum kecil.
"Beberapa bulan ini dia sering kerumahmu, ada keperluan apa dia disana dan tadi kamu bilang kalian tidak dekat tapi dia sering ke rumahmu."
"Saya juga tidak tau, Pak. Setelah Miftah meninggal dia jadi sering ke rumah saya. Saya juga merasa aneh karena kami memang tidak dekat tapi saya tidak mungkin mengusirnya kan?" Jawabku dengan tatapan kesal.
Lagi-lagi Rendra tersenyum, "Apa yang sering kalian bicarakan?"
"Banyak, tentang pengajian, teman-teman dan em...calon suami."
"Apa dia sudah punya calon suami?"
"Yang dia bilang tidak tapi saya gak tau benar atau tidak. Karena saya gak ingin tau urusan dia."
Rendra manggut-manggut. "Gimana dengan Miftah? Apa kalian dekat?"
"Saya dan Miftah lumayan dekat, tapi Jannah dan Miftah tidak."
"Apa Miftah sering menceritakan masalah pribadinya pada kamu?"
"Kami bertemu hanya waktu ke pengajian, kami saling bercerita sebelum ngaji dimulai."
"Soal lamaran anak buah saya pada Miftah, apa kamu dan Jannah tau?"
"Saya tau saat ke pengajian melewati rumahnya. Dan di sana ada beberapa tentara, setelah sampai di pengajian baru Miftah cerita jika dia sudah dilamar sama teman Bapak."
"Apa Jannah juga mendengar cerita itu?"
"Saya gak tau, karena kami bicaranya bisik-bisik."
"Berarti kamu suka bicara kalo lagi ngaji?"
Aku gelagapan, kenapa dia malah menceramahi aku? "Cuma hari itu saja" Jawabku.
Rendra menatapku dengan tatapan serius. "Jannah ditangkap karena sudah menjadi mata-mata para pemberontak."
"Hah???" Aku terkejut tapi tidak terlalu. Dari awal memang aku sudah curiga namun aku diamkan karena aku juga tidak mungkin melapor pada aparat keamanan. Justru aku bisa dikira mata-mata mereka.
"Kemungkinan dia juga ada dibalik meninggalnya Miftah." Ucap Rendra kembali.
Aku tidak percaya dengan apa yang Rendra katakan. "Untuk apa dia melakukan itu?" Gumamku.
"Karena penyakit hati seperti iri dan dengki jika tidak terkontrol maka akan memakan diri sendiri, contohnya ya Jannah. Dia iri melihat Miftah dan melakukan tindakan bodoh dengan melaporkan Jannah pada pemberontak."
"Mungkin jika kamu menerima lamaran saya dan dia juga tau maka nasib kamu akan berakhir seperti Miftah kecuali Abang kamu membantu."
Aku menatap Rendra saat dia menyebutkan 'Abang kamu'. Apa Rendra sudah tahu tentang Abangku? Dan apa dia juga mencurigai kami karena telah menyembunyikan wajah abangku padanya?
"Kenapa? Kamu sudah bertemu Abangmu? Apa kamu masih mengenalinya?" Aku tidak menjawab lagi pertanyaan Rendra.
"Apa Jannah akan dibebaskan?" Tanyaku ragu-ragu.
"Tidak, dia akan ditahan dan pengadilan tidak bekerja untuk tahanan seperti dia."
Aku mengernyitkan kening tanda tidak mengerti dan Rendra sama sekali tidak berniat memberi penjelasan untukku mengerti.
"Berhati-hatilah, jangan pergi sendirian lagi. Minta diantar oleh Abu jika ada keperluan mendadak. Saya tidak bisa menjagamu setiap saat. Sekarang kamu boleh pulang, Abu dan Umi pasti cemas."
Aku mengangguk kecil kemudian bangkit dari duduk berjalan menuju pintu. "Cut," Rendra menahan lenganku tiba-tiba. "Saya masih berharap kamu menerima lamaran saya."
"Maaf." Ucapku lalu keluar dari tempat menyeramkan itu.
Aku berjalan tergesa-gesa berharap sampai ke rumah secepatnya. "Assalamualaikum."
Abu dan Umi langsung berhamburan memelukku. "Alhamdulillah ya Allah, anak hamba selamat." Ucap Abu seraya memelukku.
Aku menceritakan semua kepada Abu dan Umi. Saat itu juga Abu dan Umi melarangku untuk pergi ke pengajian lagi. Abu dan Umi takut kejadian yang menimpa Miftah akan terjadi padaku. Abu juga takut jika aku telah dicap sebagai mata-mata aparat pemerintah karena pernah masuk dalam pos mereka.
Lengkap sudah deritaku sebagai gadis yang terlahir di daerah konflik yang ingin melihat luasnya dunia ternyata untuk melihat kampungku saja tidak bisa apalagi dunia luar.
Tidak ada lagi kabar tentang Jannah. Orang tuanya pun tidak dapat bertemu dan melihatnya lagi. Terkadang aku berpikir kejadian Jannah sama dengan Miftah. Orang tua Miftah juga tidak bisa melihat anaknya lagi dan orang tua Jannah juga sama. Apakah ini yang namanya keadilan? Entahlah...
Hari berganti minggu berganti bulan dan sekarang sudah delapan bulan Rendra tinggal di kampungku. Bagaimana hubungan kami? Tidak ada. Kami tidak saling mengenal dan tidak saling menyapa.
Hari ini tibanya waktu panen. Semua warga kampung yang memiliki sawah terlihat sibuk untuk memanen padi mereka yang sudah menguning. Aku membantu Umi memasak beberapa makanan yang akan kami bawa ke sawah.
"Assalamualaikum." Suara beberapa orang di depan rumah membuatku dan Umi berhenti seketika.
Begitulah kami yang hidup di daerah konflik. Selalu pikiran menakutkan yang terbesit ketika ada orang memberi salam. Aku dan Umi segera ke dapan. Beberapa orang bapak-bapak serta ibu-ibu yang aku yakini sebagai istri dari bapak-bapak tersebut tersenyum kearah kami.
"Walaikumsalam." Jawabku dan Umi dengan raut wajah bingung.
"Benar ini rumahnya Abu Salahuddin Nur?" Tanya seorang dari mereka.
"I-iya, tapi Abu lagi di sawah. Ada apa ya?" Tanya Umi.
"Maaf karena kami datang tidak tepat waktu, kami ingin bertemu beliau, kami kesini ingin menyampaikan amanah seorang pemuda di kecamatan seberang."
Umi mempersilahkan mereka masuk. "Cut, panggilkan Abu!" Aku segera berlari menuju sawah yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Dengan nafas tersengal aku mengatakan pada Abu jika di rumah ada tamu dan detik itu juga Abu langsung pulang.
Abu tidak langsung menemui tamu-tamu tersebut. Abu masuk lewat samping lalu membersihkan diri di sumur belakang rumah. Aku mengambil baju ganti untuk Abu di kamar dan aku merasa ditatap oleh mereka semua dengan tatapan aneh.
"Assalamualaikum." Ucap Abu seraya tersenyum
"Walaikumsalam."
Aku membuatka minum untuk Abu dan untuk tamu sudah dibuatkan oleh Umi sebelumnya.
"Maafkan kami yang datang tidak tepat waktu sehingga menggangu pekerjaan Abu."
"Tidak apa-apa hanya saya kaget saja, jadi apa maksud dan tujuan bapak-bapak serta ibu ke rumah kami?" Tanya Abu ramah namun aku bisa menangkap gestur Abu yang sebenarny sudah tahu tujuan mereka.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Ersa
wait....menjagamu? aih Abang Ren tiap hari stalking in Cut ya?🤭
2023-09-30
0
Ersa
Dan kbr miftah di Lamar tentara pasti mbak surga alias jannah yg bocorin ke pemberontak.
2023-09-30
0
Cut SNY@"GranyCUT"
Kalau memang mereka berjodoh, apapun halang rintang mereka akan bersatu
2023-07-12
1