Aku duduk di bangku teras rumah menunggu mereka selesai berbicara. Sekilas aku melihat beberapa tentara di pos penjaga menatapku. Mereka pasti tahu jika pemimpin mereka sedang berada di dalam.
Sayup-sayup masih terdengar olehku pembicaraan mereka. Abu dan Umi sepertinya terkejut dengan lamaran yang tidak terduga ini. Andai abangku di sini pasti dia orang pertama yang akan menolak dengan tegas.
Rendra keluar dari rumahku, ternyata dia ditemani beberapa anak buahnya dengan senjata lengkap. Baru kali ini aku melihat pria melamar wanita membawa senjata. Yang aku tahu, jika ada lamaran di kampungku biasanya yang dibawa oleh si pria adalah buah tangan berupa kue talam, gula juga buah-buahan.
Jika berani rasanya aku ingin mengatakan langsung pada mereka namun sayang nyaliku ciut sebelum waktunya. "Saya permisi dulu, minggu depan saya kemari lagi." Ucap Rendra seraya melirikku sekilas dengan senyumnya. Umi mengajakku masuk diikuti Abu. "Duduklah!" Titah Abu sambil menghela nafasnya. Aku yakin Abu dan Umi belum siap untuk menjawab pinangan Randra, buktinya ucapan Rendra yang akan kembali lagi pasti untuk mendapat jawaban.
"Pria itu meminangmu, Abu belum memberikan jawaban. Abu bingung harus bagaimana menjawabnya. Kamu tentu tau, sangat berbahaya jika berhubungan dengan mereka. Jadi apa pendapatmu, Cut?"
"Cut tidak mau, Abu tolak saja lamarannya!" Pintaku.
Lagi-lagi Abu menghela nafasnya. Aku yakin pikiran Abu dan Umi sangat kacau saat ini. "Tadi siang, Miftah juga dipinang oleh salah satu dari mereka." Abu dan Umi menatapku dengan raut wajah terkejut.
"Apa dia menerima?" Aku mengganggukkan kepala menatap Abu dan Umi.
"Cut, Abu tidak melarangmu menikah karena umurmu sudah cukup untuk itu, tapi Abu hanya berharap bukan salah satu dari mereka yang akan jadi suamimu. Abu tidak akan tenang jika kamu menikah dengan mereka. Dan Abang kamu pasti tidak akan setuju.
"Cut juga tidak berniat menikah dengan mereka, Abu."
"Jadi bagaimana kita menyampaikan jawaban ini pada pria itu, Abu?" Tanya Umi cemas.
"Biar nanti Abu yang jawab, kalau dia pria yang baik tentu dia akan menerima apapun jawaban kita." Tukas Abu.
Jika ada yang bertanya bagaiama rasanya dilamar? Jawabannya adalah aku tidak tahu. Kami bahkan tidak pernah bicara bagaimana bisa dia datang ke rumah untuk melamarku. Apa maksudnya melamarku? Apakah ini termasuk strateginya untuk menangkap abangku? Jika iya, maka dia layak jadi pimpinan mereka.
Keesokan harinya...
Kampungku geger, jam 7 pagi suara beduk tujuh kali yang menandakan ada orang meninggal di kampungku menggema dari mesjid kampung. "Siapa yang meninggal, Abu." Tanyaku pada Abu yang baru pulang dari sawah.
Abu menatapku sekilas, "Miftah." Aku mundur beberapa langkah, air mataku keluar dengan sendirinya. Abu yang berencana ke sawah namun urung ketika dijalan bertemu dengan beberapa orang kampung yang hendak ke rumah Miftah.
"Meninggal kenapa, Abu? Selama ini dia tidak pernah sakit." Tanyaku seraya memagang tiang rumah.
"Orang kampung menemukan jasadnya di dekat pintu air irigasi. Bersiaplah, kita akan ke rumahnya melaksanakan fardhu kifayah!"
Dengan langkah lemah aku mengambil jilbab serta mukena dan melilit kain sarung di pinggang. Sepanjang perjalanan aku memeluk lengan Umi dengan air mata yang terus mengalir. Batinku terus bertanya siapa yang melakukan ini? Apa tujuannya? Pada siapa aku harus bertanya tentang penyebab kematian temanku?
Banyak warga kampung yang sudah berdatangan. Aku juga melihat para tentara cukup banyak disana lengkap dengan senjata mereka. Aku masuk ke dalam ingin melihat temanku untuk terakhir kalinya. Dan untuk pertama kalinya aku melihat sosok yang kemarin Miftah ceritakan dengan senyum bahagia yang terus terpancar dari wajahnya.
Pria itu duduk di samping jenazah Miftah yang terbujur kaku. Aku mendekat lalu membuka kain penutup wajahnya. "Astagfirullah." Aku tersentak ketika melihat tanda di keningnya. Tanda goresan berbentuk huruf x yang belum kering. Air mataku kembali tumpah, aku menguatkan diri untuk mencium keningnya sebagai tanda perpisahan. "Maafkan segala salahku dan aku sudah memaafkan segala salahmu. Semoga kita bertemu lagi di surga." Bisikku di telinganya setelah mencium kening Miftah.
Pria itu menundukkan kepalanya di samping jasad Miftah. Sesekali dia menyeka air matanya. Ternyata, pria itu sangat mencintai temanku. Dadaku sesak membayangkan betapa bahagianya bila Miftah bersanding dengan pria ini. Belum jadi istrinya saja dia sudah seperti ini apalagi jika sudah menikah. Pernikahan mereka pasti akan diliputi rasa cinta dan kasih sayang antara keduanya.
Semua telah sirna, Miftah pergi membawa cintanya. Cinta yang layu sebelum berkembang.
Aku butuh tempat untuk bersandar namun Umi sedang sibuk di belakang. Umi adalah salah satu orang yang selalu mendapat tugas memandikan jenazah di kampungku. Aku mendekati ibu Miftah dan dengan cepat beliau menarikku ke pelukannya. "Mimi sudah pergi, Cut. Dia pergi dibawa para penjahat itu. Apa salahnya sampai mereka tega membunuhnya dengan kejam." Mimi adalah panggilan orang tua Miftah untuknya.
Aku ingin bertanya namun situasi tidak memungkinkan. Terlalu pedih perasaan beliau mana mungkin sanggup untuk bercerita. Akhirnya, aku diam dan hanya memeluknya. Berusaha memberikan sandaran padahal diriku sendiri membutuhkan sandaran saat ini.
Fardhu kifayah sudah dilaksanakan dengan sempurna. Mulai dari memandikan, mengkafankan lalu menshalatkan. Aku ikut shalat terakhir untuk temanku. Semua doa terbaik hanya untukknya saat ini. Aku juga mengantarnya sampai liang lahat, tempat peristirahatan terakhir. Aku melihat sosok yang menjadi kebahagiaan terakhir temanku dengan setia mengikuti Miftah. Dari menshalatkan hingga menurunkannya ke liang lahat.
Miftah bahkan belum bercerita banyak dengan tentang pria itu. Dia telah pergi dengan kisah cinta yang dibawanya sampai akhir hayat.
Kami masih di rumah duka, membantu keluarga Miftah, meramaikan rumah duka supaya yang ditinggalkan tidak merasa sendiri. Para tentara juga masih ada yang tinggal dan Rendra, pria itu sepertinya sedang menemani temannya yang tidak lain adalah calon suami Miftah.
Menjelang zuhur kami kembali ke rumah. Setelah shalat zuhur, aku memilih berbaring di kamar dan lagi-lagi air mataku tumpah membasahi bantal. Aku belum siap kehilangan Miftah. Aku seperti belum menerima semua kenyataan hari ini. Dan tanda x itu, apa maksudnya. Kenapa mereka tega melakukan perbuatan biadab seperti itu pada seorang gadis? Apa mereka terlahir dari rahim laki-laki? Tidakkah mereka mengingat adik perempuan, anak perempuan atau ibunya di rumah saat melakukan perbuatan keji itu?
Malam harinya kami kembali ke rumah Miftah untuk takziah. Kami berjalan kaki berbarengan dengan warga yang lain. Ada juga beberapa tentara yang juga pergi kesana. Seorang anak perempuan mendekatiku di dapur saat aku sedang membantu mengisi kopi dalam gelas-gelas yang sudah disusun untuk para warga.
"Apa ini?" Tanyaku.
"Tadi ada yang suruh aku kasih ini ke Kakak." Bisiknya lalu pergi.
***
Minta doanya, semoga novel ini bisa masuk you are a writer S5...
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
Ersa
mungkinkah miftah dibunuh oleh pemberontak agar tdk jd menikah dg aparat TNI yg notabene bermusuhan dg pemberontak?
2023-09-30
0
Reiva Momi
kasihan Miftah 😔
2023-02-05
0
Ira Sulaiman
aq aja sampai sekarang masih takut sama tentara
2022-09-08
0