Aku datang membawa segelas kopi untuk Abu kemudian kembali ke dapur. Di kampung kami diajarkan untuk tidak ikut duduk bila para orang tua bicara jika tidak diminta. "Tidak sopan mendengar pembicaraan orang tua." Kalimat peringatan yang sudak didoktrin untuk kami dari kecil.
Aku memang tidak ikut duduk disana tapi mendengar tampa sengaja tentu tidak dosa kan? Rumah kami yang tidak terlalu berjarak dari ruangan satu ke ruangan lain tentu memudahkan aku untuk mendengar semua pembicaraan mereka.
Di sinilah aku sekarang, dibalik dinding papan dapur aku menguping pembicaraan mereka. Dengan harapan Umi tidak datang tiba-tiba lalu menangkap basah aku yang ketahuan menguping. Jika itu terjadi, habis sudah telingaku kena jeweran jari lentik Umi yang sudah keriput namun masih kuat bertenaga.
"Assalamualaikum saya ucapkan sekali lagi untuk Abu dan Umi sekeluarga. Saya bersama beberapa kerabat datang ke rumah Abu membawa amanah dari seorang pemuda yang bernama Muhammad Khalid yang merupakan keponakan saya ingin meminang putri Abu dan Umi yang bernama Cut Zulaikha."
Aku tersentak, Abu menatap Umi begitu juga sebaliknya. Sedangkan aku di dapur sedang berpikir keras siapa Muhammad Khalid, aku tidak pernah mengenal laki-laki itu. Bagaimana dia bisa melamarku? Aku bingung namun sejurus kemudian suara Abu terdengar memanggilku.
"Cut, mereka datang ingin meminangmu untuk keponakan mereka yang bernama Muhammad Khalid, apa kamu mengenalnya?" Tanya Abu.
Aku menggelengkan kepala. Kemudian mereka membisikkan sesuatu kepada Abu. Wajah Abu langsung memerah seperti menahan marah. Aku dan Umi tentu bingung dengan perubahan wajah Abu tersebut dan itu sangat jarang terjadi.
"Saya menerima amanah tersebut namun semua keputusan saya serahkan pada putri saya. Dia yang akan menikah jadi gimana Cut, apa kamu menerima lamaran mereka?" Tanya Abu seraya menatapku dengan sorot mata berbeda dan bukan putrinya jika tidak tahu maksud dari sorot mata tersebut.
"Saya minta maaf, tapi untuk saat ini saya belum ingin menikah. Saya ingin menikah jika keadaan sudah aman dan abang saya sudah bisa pulang dari pesantren." Kata-kata dari mana itu? Mereka pasti berpikir keras mendengar jawabanku. Ya...raut wajah marah Abu hanya terlihat ketika berurusan dengan abangku. Dan aku bisa pastikan jika ini juga berhubungan dengan dia.
Mereka menghela nafasnya kemudian berbasa basi sedikit sebelum akhirnya mereka mengangkat kaki dari rumahku. Abu terduduk lemas, Umi mencoba menenangkan Abu yang terlihat sangat kecewa. "Setelah dia mengecewakan kita sekarang dia mau membuat adiknya kecewa. Abang macam apa dia yang mau adiknya dinikahi oleh pria yang tidak jelas hidupnya. Jangankan memberi makan istri dan anak, makan untuk dirinya sendiri harus mengemis pada warga dengan berbagai alasan. Jika anak kita menikah dengan pria seperti itu bisa janda sebelum waktunya."
"Kenapa Abu berkata sepah serapah seperti itu? Bukankah kita harus berkata yang baik-baik untuk anak-anak kita?" Tanya Umi pelan.
"Umi, anak laki-laki kita mau menikahkan adiknya dengan teman seperjuangannya. Apa Umi rela Cut menikahi pria seperti itu? Lebih baik kamu tidak menikah dari pada punya suami yang hidupmu selalu dalam ketakutan. Tidak ada kebahagian pernikahan kalian jika dengan dia. Abu yakin tampa kita tau, Ilham juga pasti sudah menikah. Umi bersiaplah jika suatu hari ada perempuan dan anak-anak kemari yang mengaku sebagai istri dan anak dari putra kita." Abu bangkit dari duduknya lalu mengganti baju dan kembali ke sawah dengan perasaan kecewa.
Aku kembali melanjutkan memasak bersama Umi. Umi memasak dalam diam, perkataan Abu tadi sepertinya berpengaruh banyak pada Umi. Aku bingung harus seperti apa. "Umi yang sabar." Hanya itu yang kuucapkan.
"Umi sangat sabar, Cut. Andai Umi tidak sabar mungkin abang kamu sudah mati lebih dulu di tangan Umi. Namun Umi tetaplah seorang ibu, tapi sepertinya Abang kamu tidak menganggap lagi keberadaan Umi. Dia bahkan melangkahi Abumu untuk mencarikan calon suami untuk adiknya. Calon suami terburuk yang pernah diberikan seorang abang untuk adiknya di dunia ini." Aku merasakan kekecewaan yang dalam dari hati Umi.
Aku hanya berharap semoga tidak terbesit kata-kata buruk dihati Umi untuk Abangku. Jangan sampai abangku merasakan pedihnya azab anak durhaka di bumi ini.
Hari itu aku habiskan di sawah membantu pekerjaan Abu dan Umi. Untuk sesaat kami menikmati udara panas dengan bebas seraya bersenda gurau dengan warga yang lain. Sampai akhirnya suara dentuman keras diiringi rentetan suara bedil kembali menggema. Kami semua tiarap dalam tumpukan padi disawah.
Untuk pertama kalinya kami melihat secara langsung bagaimana kontak senjata itu terjadi. Markas tentara yang berada di atas bukit terkena tembakan bazoka para pemberontak. Dari arah rumah aku melihat banyak tentara dari markas yang keluar dengan senjata lengkap menuju kaki bukit.
"Tetap tiarap di sana jangan ada yang bangun." Suara teriakan dari orang yang aku kenal. Walaupun kami jarang bicara namun aku masih mengingat suaranya.
Suara rentetan senjata masih terdengar kemudian beberapa truk melintas didepan kami, aku juga melihat sebuah mobil dengan tulisan yang pernah aku lihat di rumah sakit namun ini warnanya berbeda.
Setiap warga berkomat-kamit membaca doa dalam ketakutan akan tembusan peluru yang bisa jadi salah sasaran.
Hampir dua jam kontak tembak itu terjadi dan menjelang sore setelah mendapat perintah untuk kembali ke rumah dari Rendra, kami langsung bergegas meninggalkan sawah.
Sungguh sangat berbahaya berada di sana saat itu. Dan lautan tentara kembali menghiasi kampungku. Sepertinya ada yang terluka dari mereka. Buktinya mobil bersirine itu melaju dengan cepat meninggalkan kampungku dengan pengawalan dari beberapa truk lapis baja.
Keesokan harinya aku melihat bendera merah putih yang dikibarkan setengah tiang oleh mereka. Beberapa lainnya menundukkan kepala mereka. Namun setelah sampai di sawah aku mendengar bahwa ada anggota mereka yang meninggal kemarin. Dan yang lebih mengejutkanku adalah tentara yang terkena tembakan bazoka itu adalah Eko dengan beberapa temannya.
Eko meninggal menyusul Miftah, wanita yang sangat dicintainya. Mereka pergi sebelum bersatu. Sungguh tragis jalan cinta keduanya. Jika itu aku, apa aku sanggup? Entahlah, hanya tuhan yang tahu karena selama ini belum sekalipun aku merasakan perasaan yang bernama 'cinta'.
Aksi pengejaran rupanya masih berlanjut. Patroli semakin gencar dilakukan di kampungku. Bahkan mereka kembali menambah jumlah pasukan dan kembali mendirikan pos di kaki bukit. "Kapan perang ini akan berakhir, Ya Allah?" Tanyaku pada diri sendiri.
"Mintalah sama Allah supaya mereka sadar bahwa ini salah, mintalah supaya cepat damai agar saya bisa melamarmu dan kamu tidak perlu takut lagi untuk menerima saya."
"Hah????"
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
No Name
ngebaca ceritanya gw merasa kayak kembali ke masa DOM (darurat operasional militer) dimana waktu itu para abang loreng waduh ngeri2 sedap..apalagi cerita baku tembak itu aku sendiri ngalaminnya langsung..sampe teman aku yang waktu itu emaknya lagi hamil jadi korban kontak senjata salah sasaran..
2024-06-28
1
Ersa
jodoh sampai mati
2023-09-30
0
Cut SNY@"GranyCUT"
Yaa Allah.. membayangkan suasana sehari-hari di kampung tempat cerita ini begitu mencekam, hidup tidak tenang.
Saya jadi teringat kakak saya dan suaminya th 1999 terpaksa pensiun dini dari perusahaan tempatnya bekerja dan memboyong keluarganya pindah ke Jakarta, karena suasana sudah tidak aman untuk beraktifitas diluar komplek perumahan, termasuk sekolah anaknya menjadi terganggu.🥺
2023-07-12
0