Seperti biasa setelah zuhur aku bersiap ke pengajian namun langkahku terhenti saat beberapa tentara sudah berdiri di depan rumahku.
"Kami mau bertemu Bapak." Ucapnya dengan tegas.
Aku sempat menatap matanya sekilas lalu kembali masuk ke rumah. Mereka mengikutiku masuk tampa izin. "Abu sedang sembahyang." Kataku.
Salah satu dari mereka langsung melihat ke kamar Abu lalu mengangguk kecil pada orang yang di aku pikir bosnya.
Aku bingung dengan situasi sekarang, pria yang aku pikir bos mereka terlihat menatapku. Aku ketakutan, apalagi wajah mereka terlihat menyeramkan. Aku terus menunduk berharap orang tuaku segera keluar kamar.
"Abang kamu sekarang dimana?"
Deg....
Aku harus jawab apa, aku bingung. "D-di pesantren." Jawabku sedikit gugup.
"Siapa namanya?" Suara tegasnya sangat mengintimidasi.
"Teuku Muhammad Ilham."
"Sudah berapa lama dia di pesantren?"
"Dari lulus SD."
"Sekarang pasti sudah dewasa, apa ada fotonya?" Aku menggelengkan kepala. Kami tinggal di kampung, foto yang kami miliki hanya foto untuk ijazah.
Abu dan Umi keluar kamar, aku menghela nafas lega dan orang yang ku pikir 'Bos' itu melirik saat aku menghela nafas.
"Putra Bapak sekolah dimana?"
"SD kecamatan, Pak." Jawab Abu.
Si 'Bos' itu memberikan kode kepada anak buahnya untuk ke belakang rumah.
"Dia sekolah sampai tamat?"
"I-iya."
"Bisa saya lihat ijazahnya?"
Abu ketakutan saat mereka meminta ijazah. Dengan gugup Abu kembali masuk ke kamar diikuti beberapa anak buah si 'Bos'. Mereka mencari foto-foto lain namun nihil karena kami memang tidak pernah berfoto.
Abu mnyerahkan ijazah abangku pada si 'Bos'. Aku lupa, rupanya di sana ada foto abangku. Si Bos itu melihat dengan seksama wajah abangku lalu melihat ke arahku. Mungkin dia sedang mencocokkan wajah kami.
Seorang anak buahnya berlari dari arah belakang. "Dan." Panggil anak buah tersebut lalu memperlihatkan beberapa lembar daun nilam yang ternyata terdapat bercak darah.
Si Bos tadi menatap Abu dengan tajam. Abu ketakutan, badanya gemetar sama seperti aku dan Umi. "Bapak sudah tua, saya tidak akan bertindak kasar jika Bapak mau jujur. Saya juga punya orang tua yang selalu berdoa supaya putranya kembali dengan selamat. Sama seperti Bapak yang mungkin tidak menginginkan putra Bapak menjadi pemberontak. Namun anak-anak tersebut justru termakan rayuan mereka yang tidak bertanggung jawab. Saat putra Bapak terluka apa mereka yang sudah berhasil mengajak putra Bapak ikut membantu? Tidak ada yang membantu para pemberontak level bawah seperti anak Bapak. Yang mereka dapatkan hanya luka serta siksaan juga jauh dari keluarga." Kata-kata si 'Bos' itu mampu membuat air mata Abu dan Umi tumpah. Mereka sesegukan menahan tangis.
Aku mencoba menengkan Umi dengan memeluknya, perasaanku juga kacau, aku kecewa dengan abangku namun aku juga tidak bisa berbuat apa-apa saat ini.
"Apa Bapak melihat wajah putra Bapak tadi? Dugaan kami, putra Bapak adalah pimpinan para pemberontak di daerah ini. Dia dikenal dengan nama 'Pang Sagoe'."
Si 'Bos' itu mensejajarkan badannya dengan Abu yang terduduk lemas di tanah bersama Umi. "Apa Bapak masih mengingat wajahnya?" Tanyanya kembali.
Abu menggelengkan kepala, "Dia datang sebelum subuh, saya tidak melihat jelas wajahnya karena masih gelap dan tidak ada cahaya disana." Si Bos itu menganggukkan kepala kepada anak buahnya lalu keluar dari rumah dengan membawa ijazah abangku.
Aku tetap melanjutkan niatku untuk ke pengajian, namun sayang perjalananku terhwnti sebelum sampai di balai pengajian. Miftah memanggilku dari rumahnya. "Cut...sini!" Panggilnya seraya melambaikan tangan.
Aku memasuki halaman rumahnya, "Kamu gak ngaji?" Tanyaku.
"Eh, hari ini gak ada pengajian. Teungku Zul dipanggil sama tentara ke tempat mereka." Aku terkejut mendengarnya. "Kenapa?" Tanyaku kembali.
"Tidak tau, aku dengar ada yang lapor kalo Teungku sering ngirimin makanan ke markas pemberontak." Aku menelan saliva dengan susah. Begitulah akhirnya jika berhubungan dengan musuh negara. Aparat negara akan memanggil ke markas dan mereka akan diintrogasi habis-habisan.
Ada beberapa karakter warga kampungku. Pertama, warga netral tidal berpihak pada siapa pun.
Kedua, warga penjilat atau mata-mata. Mereka akan memberikan laporan apa saja kepada aparat pemerintah tentang para pemberontak serta keluarganya. Seperti kejadian tadi siang di rumahku. Aparat tersebut mendatangi kembali rumahku hanya untuk bertanya tentang Bang Ilham. Aku yakin ada yang memberitahukan pada mereka tentang abangku.
Dan yang ketiga adalah para pendukung pemberontak. Mereka akan memberi bantuan makanan atau apa saja secara diam-diam. Dan jika ketahuan maka resikonya akan berakhir seperti Teungku Zul.
Aku kembali pulang ke rumah. Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan jika habis kontak senjata. Warga kampung lebih memilih berdiam diri di rumah. Di jalan pulang, aku kembali bertemu dengan segerombolan aparat pemerintah yang sedang berpatroli dengan berjalan kaki.
Aku tidak menatap mereka, jalanku menunduk walaupun sayup-sayup aku mendengar siulan dari beberapa prajurit tersebut. Dengan langkah cepat aku berusaha untuk secepatnya sampai ke rumah.
"Assalamualaikum." Ucapku begitu sampai di rumah.
"Walaikumsalam." Jawab Abu dan Umi serentak. Aku bisa merasakan kegelisahan mereka. Kedua orang tuaku duduk di bangku bambu seperti habis menangis. "Kenapa sudah pulang, Cut?" Tanya Umi.
"Teungku Zul dipanggil ke pos tentara, Umi. Cut gak tau sampai kapan ngajinya diliburkan."
Abu tidak berkata apa-apa lalu memilih masuk ke kamar disusul Umi. Aku sedih karena di usia tuanya mereka justru mengalami kesedihan. Seharusnya seorang anak menyenangkan orang tuannya namun ini malah sebaliknya. Abangku telah menyakiti hati Abu dan Umi, bahkan membuat mereka sedih serta tertekan dengan keadaan sekarang.
Setelah peledakan markas pemberontak, kondisi kampungku lumayan tenang. Yang aku dengar dari beberapa temanku, para pemberontak tersebut telah lari keluar dari kampung kami.
Teungku Zul telah dibebaskan dan pengajian kembali berjalan seperti biasa. Satu hal yang membuatku merasa aneh, tidak jauh dari rumahku tiba-tiba dibangun markas tentara. Cukup seminggu waktu yang dibutuhkan, markas tersebut sudah berdiri lengkap dengan karungan pasir sebagai dinding di sekeliling markas.
Aku juga merasa rumahku dalam pantauan mereka. Gerak gerik kami seperti selalu diikuti oleh mereka. Apa yang membuat mereka bersikap seperti itu? Pertanyaan demi pertanyaan terus menghantui pikiranku hingga suatu hari aku mendengar dari temanku yang bernama Miftah jika mereka mengincar abangku yang kemungkinan adalah orang yang paling mereka incar selama ini. Ya...mereka menduga jika abangku adalah Pang Sagoe.
Sebulan lebih markas itu berdiri. Aku tidak pernah keluar rumah selain ke pengajian atau membantu Umi dan Abu di ladang. Jangan tanya apa yang kami makan sehari-hari. Kampung kami yang jauh dari pasar kecamatan dan yang berjualan di kampungku juga tidak ada. Untuk makan kami memiliki beras hasil dari sawah sendiri, sayur-mayur hasil kebun dan ikan air tawar yang kadang-kadang Abu bawa pulang dari sungai. Jika tidak ada ikan, maka kami akan makan telur ayam atau telur bebek hasil dari beternak.
***
LIKE...LIKE...LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
🎯™⨀⃝⃟⃞☯ Mamo Nia❤ᵖˡ🏠
sy mulai baca dr awal lgi
2024-11-05
0
Reiva Momi
cerita nya real banget
2023-02-05
0
Sebutir Debu
secangkir kopi mendarat kak Rani dari Ayra ☕☕☕
2022-08-17
0