Dinginnya desiran angin laut menembus hingga tulang sumsum. Sama seperti malam sebelumnya, mendung tebal menutupi permukaan langit memaksa rembulan untuk kembali bersembunyi.
Perlahan namun pasti, kapal yang ditumpangi Mahesa melaju membelah gelapnya lautan. Nampak dari kejauhan lampu-lampu kecil berasal dari kapal para nelayan yang sedang mencari ikan. Sebenarnya, cuaca sedang tidak mendukung untuk melaut. Akan tetapi mereka masih nekad berangkat. Ah, kebutuhan dapur memang tidak bisa diajak kompromi.
Hampir lima jam diatas kapal. Memandang hamparan laut yang berwarna hitam. Malam terasa sangat gelap, ternyata diatas air lebih menyeramkan. Para penumpang sudah banyak yang terlelap. Mahesa berjalan menghampiri sekelompok petani yang masih berbincang.
Melihat kehadiran Mahesa, para petani segera memberi tempat mempersilakan Mahesa duduk. Pakaian yang dikenakan Mahesa memang berbandrol tinggi menunjukkan dia bukan berasal dari golongan ekonomi rendah sehingga para petani terlihat begitu gugup. Mahesa jadi agak kikuh juga.
"Tuan-Tuan jangan terlalu sungkan, saya sama seperti kalian. Hanya seorang rakyat biasa. Mohon untuk beri saya muka." Mahesa tersenyum ramah. Suaranya begitu lembut dan menenangkan.
Para petani yang tadi merasa takut jadi berubah sikap. Mereka tidak lagi menganggap Mahesa sebagai suatu ancaman atau bahaya. Penampilan Mahesa yang memakai topeng, layaknya Pendekar yang sengaja menyembunyikan jati diri merupakan alasan kuat bagi orang biasa untuk merasa dalam bahaya. Sudah pemandangan yang sangat lumrah, ketika seorang pendekar dipandang seperti malaikat pembunuh. Bagaimana tidak, dengan sekali gerakan saja, dengan mudah bisa mengambil kepala petani biasa seperti mereka.
"Maaf den, kalau boleh kami tahu sebenarnya kemana tujuan aden?" tanya seorang bapak yang berusia sekitar 50 tahun.
"Tuan Muda ... Ah, kiranya Tuan ada disini." Puspita Dewi muncul. Nampaknya gadis itu sejak tadi mencari-cari keberadaan Mahesa.
Mendengar cara Puspita memanggil dan melihat sikap gadis yang baru datang itu sangat sopan serta berhati-hati saat berbicara dengan pemuda bertopeng perak, para petani yang tadi mulai mencair kini terlihat jadi serba salah.
Mahesa memahami yang dirasakan para petani.
"Tuan-Tuan, perkenalkan. Dia adalah teman saya. Ditempat kami, sebutan Tuan Muda biasa diucapkan oleh seorang adik pada kakaknya. Saya harap Tuan-Tuan bisa mengerti." Mahesa kembali memasang senyum ramah. Tangannya menepuk tempat duduk memberi kode pada Puspita agar segera bergabung. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan Puspita duduk disamping Mahesa.
Para petani saling pandang.
"Maaf den, kalau boleh kami tahu, dari mana aden dan nini berasal?" petani tua yang memperkenalkan diri bernama Dirun memberanikan diri untuk bertanya.
"Kami berasal dari Utara pak, kami sama sekali tidak tahu mengenai Pulau Tengkorak. Mohon kiranya bapak menegur jika kami terdapat khilaf." Jawab Mahesa enteng.
Wajah dirun dan teman-temannya menjadi pucat. Dari utara cuma berdua saja? Orang biasa tidak mungkin berani melakukannya.
Sejak zaman nenek moyang, hubungan wilayah Utara dan Selatan tidak kunjung membaik. Persahabatan Padepokan Rajawali dari Utara dan Padepokan Pring Wulung dari selatan adalah satu-satunya yang selalu dijadikan contoh dan kebanggaan. Namun, setelah tersiar kabar kematian Tapak Wulung yang dibunuh oleh Belibis Putih, ketegangan semakin menjadi. Boleh dikatakan telah berkibar bendera perang antara Pendekar maupun padepokan utara dan selatan. Sudah tidak terhitung korban yang berjatuhan, hampir setiap hari darah mengalir.
Mahesa bisa mengerti. Dia tidak berniat menyinggung apapun tentang dunia persilatan. Dia mengarahkan pembicaraan seputar ladang dan perkebunan. Juga harga-harga bahan pokok yang semakin meroket naik. Sebagai pengumpul informasi keluarga Belibis Putih, Puspita Dewi tentu tidak kesulitan mengikuti alur pembicaraan.
"Hahahaha." Sesekali terdengar tawa lepas dari kesemuanya. Tidak ada batas lagi antara Mahesa dan para petani. seolah melupakan mereka berasal dari daerah yang sedang bertikai.
Dari cerita mereka, Pulau Tengkorak merupakan pulau yang besar. Terdapat Tiga kota besar yang menghidupi banyak padepokan didalamnya. Meski telah dipisahkan oleh laut, Pulau Tengkorak masih termasuk dalam wilayah selatan. Tidak ada yang mengetahui secara pasti mengapa pulau itu dinamakan Pulau Tengkorak. Namanya telah turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Akan tetapi, ada satu cerita menarik.
Sekitar dua puluh lima tahun silam, telah terjadi pertempuran maha dahsyat di Pulau Tengkorak. Tepatnya di Lembah Tengkorak. Konon, jumlah tengkorak manusia disana hampir menyerupai gunung kecil. Seorang pendekar sakti yang berasal dari selatan membantai beberapa kelompok Padepokan di Lembah itu.
Katanya, akar masalahnya disebabkan hubungan pendekar tersebut dengan seorang wanita dari utara. Mereka saling mencintai dan telah mengembara bersama lebih dari dua puluh tahun. Sang pendekar membawa kekasihnya kembali ke Pulau Tengkorak untuk menikahi sang wanita secara resmi didepan kedua orang tuanya dan disaksikan seluruh anggota padepokan tempatnya menimba ilmu.
Apa hendak dikata, pihak keluarga pria menolak keras keinginan itu. Padepokan juga melakukan hal serupa. Alasan mereka sama yaitu karena wanita yang akan dinikahi sang pendekar merupakan orang utara. Selamanya orang utara itu jahat dan tidak pantas bersanding dengan keturunan dari selatan.
Cinta yang telah membutakan mata membuat sang pendekar sakti tidak menerima. Dia tidak mengindahkan penolakan keluarga dan padepokan. Tekadnya akan tetap menikahi kekasihnya. Jika selatan menolak dia akan menikah di Utara.
Keputusan tersebut menempatkan Pendekar sakti pada tuduhan Penghianat Bangsa. Hukum bagi penghianat adalah Hukum Mati. Pulau Tengkorak berencana tidak membiarkan sepasang kekasih dimabuk asmara tersebut keluar hidup-hidup. Keluarga dibantu beberapa Padepokan mengepung pendekar sakti dan kekasihnya.
Sampai di Lembah Tengkorak, pertempuran besar tidak terelakkan. Sepasang pendekar yang merupakan Pendekar pilih tanding, sulit menemukan lawan. Dan pada akhirnya mereka terpaksa membantai siapapun yang datang ke Lembah Tengkorak. Meski dengan segala cara, pihak pulau tengkorak tidak bisa menghalangi sepasang pendekar untuk meninggalkan pulau. Dengan luka yang cukup parah, sepasang pendekar berhasil melarikan diri. Meninggalkan segunung bangkai manusia.
Tersiar kabar setelah menikah, sang pendekar bersama istrinya hilang bagai ditelan bumi. Ada yang menduga mereka tewas akibat terkena racun ganas pada pertempuran di Lembah Tengkorak. Hingga kini, setelah dua puluh lima tahun, kabar tentang Pendekar tersebut semakin terlupakan.
Banyak orang berkaca dari cerita itu hingga menimbulkan kesan 'seram' akan persepsi orang terhadap pulau tengkorak.
"Apa bapak mengetahui siapa nama sepasang pendekar dari Utara tersebut?" tanya Mahesa penasaran. Napasnya menderu ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Pak Dirun menarik napas berat lalu menggelengkan kepalanya.
"Pihak Pulau Tengkorak melarang untuk sekedar menyebut nama sepasang pendekar itu. barang siapa saja yang diketahui menyebutkan salah satu nama didepan umum, maka hukuman mati sudah ditetapkan sebagai ganjaran."
"Pendekar pria memiliki ilmu tapak tak tertandingi. Sementara Pendekar wanita merupakan ahli pedang."
°°
Dikejauhan, lampu-lampu yang berasal dari perahu kecil bergerak mendekat. Semakin lama semakin dekat. Bukan. Itu bukan kapal nelayan.
Puluhan kapal kecil telah mengepung kapal yang ditumpangi Mahesa. Tidak lama berselang, puluhan orang bergerak lincah menaiki kapal. Sepertinya mereka perompak.
"Bajak laut !!! Bajak laut !!!" teriak awak kapal mengejutkan seluruh penumpang.
Sudah cukup lama tidak ada perompak. Mengapa tiba-tiba muncul??
Para penumpang yang merupakan Pendekar bergegas menyambut kedatangan para perompak. Akan tetapi jumlahnya kalah jauh. Ditambah bertarung diatas air, tentu perompak lebih diuntungkan.
Sambil menunggu pimpinan perompak muncul, Mahesa mencoba menenangkan para petani yang mulai sangat ketakutan.
Pedagang dan saudagar kaya terlihat sangat panik. Semuanya diperingatkan untuk berkumpul di tempat Mahesa dan temannya duduk. Dalam waktu singkat tempat itu dipenuhi para penumpang.
Kusuma Gandawati bergabung bersama Mahesa dan Puspita Dewi.
"Apa bajak laut sering beroperasi di sini?" tanya Mahesa pada Kusuma Gandawati.
Kusuma Gandawati menggeleng.
"Mereka bukan bajak laut Tuan Muda. Saya mengenali mereka berasal dari Padepokan Kemuning Senja. Sepertinya mereka sedang mengejar buronan."
Mahesa memperhatikan seluruh penumpang kapal. Banyak anak kecil dan ibu-ibu, saudagar dan pedagang. Buronan?
Melihat peta kekuatan musuh, Para pendekar yang tadi berniat melawan jadi ciut nyalinya. Padepokan Kemuning Senja mengerahkan cukup banyak pasukan. Tentu ada hal penting yang mereka cari.
Pimpinan perompak berjalan mendekat.
"Tanpa melihat, aku bisa tahu ada berapa jumlah calon pendekar di kapal ini. Sekarang siapa saja yang mempunyai ilmu tapak silahkan berdiri !!!" bentaknya.
Beberapa Pendekar berdiri. Termasuk Mahesa.
"Kami mendapat perintah untuk membunuh semua pendekar tapak yang melintas di perairan ini. Sekarang kalian bisa pilih untuk menghabisi nyawa sendiri atau kami terpaksa mengotori tangan." Satu pilihan mengejutkan keluar dari bibir pimpinan rompak.
Mahesa memberi hormat sebelum bicara.
"Ilmu tenaga dalam kami sangat rendah tidak cukup mampu untuk mencelakai diri sendiri. Bisakah kiranya tuan menjelaskan perihal kesalahan yang telah kami perbuat?" suara Mahesa terdengar sangat tenang.
"Hahahah!!!" Pimpinan rompak tertawa nyaring diiringi tawa anak buahnya.
Mahesa melanjutkan perkataannya.
"Sangat menyedihkan, saya bertanya akan tetapi tidak mendapatkan jawaban. Seekor kerbau tidak mungkin menelan ayam meski perutnya sangat lapar. Tegakah seorang pendekar hebat seperti Tuan mencelakai Pendekar lain tanpa kesalahan yang pasti?"
"Tega ?? Hahaha!!! Dalam dunia persilatan tidak ada kata tega dan kasihan." Jawab pimpinan rompak.
Dia memberi kode pada prajuritnya yang berada didekat anak kecil. Dengan kasar prajurit itu menarik tubuh anak berusia sekitar tujuh tahun tersebut dan melemparkan kedepan pimpinannya.
Tangis si anak pecah, begitu juga ibunya memohon pengampunan atas anaknya.
"Hahahaha ...." Sekali lagi Pimpinan pasukan tertawa lantang.
Seorang anak buahnya menghunus pedang. Sambil menatap kearah mahesa dia mengayunkan pedangnya kearah leher bocah yang menangis ketakutan.
Jaraknya dengan Mahesa cukup jauh, tidak ada kesempatan untuk Mahesa mendekat.
Mahesa memutarkan pergelangan tangannya, kekuatan energi tenaga dalamnya menahan pedang yang hampir memisahkan kepala bocah kecil.
"Hufftt ...." Suara prajurit itu menjerit tertahan saat dia merasakan kulitnya menyentuh sesuatu yang dingin. Air. Beberapa detik kemudian dia sadar bahwa tubuhnya telah terlempar kedalam laut.
Pimpinan pasukan terbelalak. Dia hampir mati tersedak.
"Bunuh semua orang yang ada disini !!!" teriaknya kemudian.
Sehebat apapun pemuda bertopeng perak, dia seorang diri tidak akan mampu melindungi seluruh penumpang kapal. Senyum kemenangan tersungging dibibirnya.
Para pendekar yang berada di kapal berusaha melawan semampu mereka. Puspita Dewi dan Endang Kusuma Gandawati bergabung menghalau serangan pasukan padepokan kemuning senja. Prajurit yang kesetanan mengarahkan mata pedang mereka pada ibu-ibu dan anak kecil. Sepertinya mereka berniat membantai seluruh penumpang kapal.
Mahesa mengernyitkan dahi. Dia baru menyadari sedang berhadapan dengan kelompok yang sangat kejam. Tidak ada kesempatan untuk bermain-main. Mahesa mengalirkan tenaga dalamnya. Dia menghentakkan keras kedua tangannya. Seketika seekor bayangan naga putih berkelebat menghantam seluruh pasukan Padepokan Kemuning Senja hingga tubuh mereka terpental jauh sebelum akhirnya jatuh kelaut.
Mahesa mengulang gerakan yang sama satu kali lagi. Kali ini tujuannya adalah perahu kecil yang digunakan pasukan Padepokan Kemuning Senja. Dengan mudah, bayangan naga wujud tenaga dalam Mahesa merobohkan perahu-perahu milik anggota Padepokan Kemuning Senja.
"Jurus Naga Terbang di awan?!" desis dirun.
Petani itu mengenali jurus yang digunakan Mahesa. Salah satu jurus yang ikut ambil bagian saat membuat kehancuran di Pulau Tengkorak beberapa puluh tahun silam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 312 Episodes
Comments
Mas Vin
Bapak dan mamak nya sendiri
2023-06-19
1
Thomas Andreas
sadis
2022-04-22
0
Thomas Andreas
kembalinya jurus lama
2022-04-22
0