Suasana kediaman Buta Rota dalam keadaan berkabung. Jenazah sudah di kebumikan kemarin pagi. Namun orang yang mengucapkan belasungkawa masih terus berdatangan.
Braja Geni ada diantara mereka. Dia sedang bicara dengan Sucitra, putra dari Buta Rota.
"Terimakasih ketua, kami sekeluarga berharap masalah ini bisa diselesaikan secepatnya." Sucitra memaksakan untuk tersenyum. Kematian ayahnya jelas meninggalkan duka yang mendalam.
Braja Geni menepuk pundak Sucitra.
"Jangan khawatir. Sudah menjadi kewajiban ku menangani masalah ini."
Pemuda bertopeng perak di iringi dua orang wanita memasuki ruangan. Mahesa mengambil dupa lalu memberi hormat di depan lukisan dan papan nama mendiang Buta Rota.
"Paman, Elang Putih menghaturkan hormat. Maaf, saya datang terlambat." Cukup lama Elang Putih berdiri mematung.
Melihat ada Elang Putih, ketua Braja Geni diikuti Sucitra menghampiri.
"Paman Ketua, ketika saya pergi apa yang telah terjadi?" Elang Putih bertanya saat Braja Geni tiba.
"Seseorang telah membunuh ayah, pedang yang digunakan mengandung racun ular seperti halnya milik ayah. Saya rasa pelakunya orang yang sama dengan pembunuhan pimpinan Padepokan Giling Wesi. Padepokan Rajawali telah diserang dan telah memakan korban yakni ayah saya. Walau Ayah tidak memiliki jasa yang besar pada padepokan, saya harap kakang tidak menutup mata." Sucitra yang menjawab pertanyaan Mahesa.
Braja Geni menarik napas dalam. Dalam hati dia mencela ucapan Sucitra. Itu sama saja mengatai dirinya tidak bisa menjaga keamanan Padepokan.
Mahesa menatap Sucitra. "Jangan lari dari kenyataan, jadilah diri sendiri yang bisa dibanggakan. Saya pasti akan membantu sejauh yang saya bisa." Mahesa meyakinkan Sucitra.
Sucitra menghaturkan terima kasih. Dia yakin Elang Putih pasti akan membantu.
"Debu akan berbahaya jika terus berkumpul. Lebih baik dibersihkan sebelum jadi masalah. Paman Braja Geni, saya ingin bicara dengan orang pertama yang menemukan jasad ketua Buta Rota. Dan kemungkinan, saya harus melihat sendiri luka dan racun yang merenggut nyawa ketua Buta Rota."
Braja Geni dan Sucitra terkejut mendengarnya. Kalau bertemu saksi, itu hal mudah. Akan tetapi keinginan kedua Elang Putih sungguh tidak masuk akal. Haruskah menggali makam? Jelas itu bertentangan dengan aturan keluarga Padepokan Rajawali.
°°
Pelayan Buta Rota, Ariana terlihat sangat ketakutan mana kala Mahesa mengintrogasi perihal kematian majikannya.
Mata Mahesa tajam menatap wanita itu.
"Jika kau tidak melihat langsung bagaimana kau bisa yakin paman Buta Rota dibunuh dengan jurus andalannya sendiri?"
"Elang Putih, nada bicara Anda seakan memojokkan Nona Ariana. Sudah jelas-jelas Nona Ariana tidak banyak tahu pada saat kejadian, saat ditemukan jasad ketua sudah membiru terkena racun." Adik sepupu Buta Rota bernama Sasongko memotong perkataan Mahesa.
Mahesa mengalihkan pandangannya pada Sasongko. Sejak awal, Sasongko terlihat tidak begitu senang kala Mahesa terus-menerus menggali informasi.
"Nampaknya ada sesuatu yang sengaja disembunyikan. Saya yakin ketua Buta Rota dicelakai dengan cara tidak wajar. Saya harus memastikan sendiri keadaan nya. Jika paman masih berkeberatan, paman harus bisa menghentikan saya." Mahesa melangkah menuju makam Buta Rota.
Sasongko berlari menghadang.
"Apa yang akan kau lakukan? Kau boleh mencari informasi apapun yang kau inginkan tapi jika kau ingin menggali makam kakang Buta Rota, sebagai anggota keluarga aku tidak akan mengizinkan kau melakukan nya."
"Jika benar Ketua Buta Rota dicelakai menggunakan jurus pedang beracun miliknya, saya perlu memastikan luka di tubuhnya. Saya berharap ada informasi lain yang mungkin bisa saua dapatkan." Mahesa ngotot ingin menggali makam Buta Rota yang baru ditanam kemarin.
Sasongko menatap Mahesa dengan penuh kebencian. Dari balik mata itu, Mahesa bisa merasakan ada yang disembunyikan.
"Elang Putih, jangan karena kau murid kesayangan Pimpinan Padepokan kau bisa bertindak sesuka hati. Keluarga kami punya aturan sendiri, jika kau berani melanggar aturan itu, aku tidak akan memandang pimpinan Padepokan. Kau akan aku celakai."
Mahesa tersenyum kecut mendengar ancaman Sasongko. "Saya yakin guru akan sependapat dengan keputusan saya."
Mahesa mengumpulkan energi pada jari tangannya. Ketika Sasongko mengangkat pedang, dengan cepat mahesa mengarahkan kekuatan energi ke tubuh Sasongko.
Tubuh Sasongko terangkat dan tersedot. Dia hanya bisa pasrah, menyerahkan lehernya kedalam cengkraman tangan mahesa.
"Saya hanya berusaha menyelesaikan masalah, tidak untuk membuat masalah," ucap Mahesa seraya melemparkan tubuh Sasongko ke atas tanah.
Darah mengalir disudut bibir Sasongko. Tubuhnya kemudian terasa sangat lemas. Semua yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menelan ludah. Selain Elang Putih murid kesayangan Pimpinan Padepokan, mereka gentar pada kemampuan Elang Putih dengan Ilmu aneh yang tidak ada di Padepokan Rajawali.
Ariana, menggigil ketakutan. Ingin rasanya dia berlari, pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Namun, kedua kakinya terpaku di tanah. Dia tahu, Elang Putih telah melakukan sesuatu pada tubuhnya.
Langkah Mahesa semakin dekat dengan makam Buta Rota. Tidak ada yang berani menghentikan nya kali ini. Keluarga Buta Rota cuma bisa menahan napas saat mahesa menepuk tanah makam.
'Cakar Elang Membelah Langit.' Mahesa mengalirkan tenaga dalam pada tangan kanannya, dengan sekali tepuk makam Buta Rota terbelah menjadi dua.
Braja Geni yang ikut menyaksikan tersedak. Dia tidak yakin akan mampu melakukan apa yang baru saja dilihatnya. Kemampuan Elang Putih begitu mengerikan.
Mahesa melambaikan tangan, seketika peti jenasah Buta Rota terbang mendekat.
Setelah menghaturkan sembah, Mahesa membuka peti jenazah dengan hati-hati.
°°°
Di kediaman Wakil Pimpinan Kolo Ireng, Rupa Kenca sedang memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Dia menghela nafas panjang berulang kali. Meski di dalam ruangan itu terdapat banyak manusia, namun suasana sangat sepi. Tidak ada yang berani memulai untuk bicara.
Hanya Galih sindu yang lebih tenang.
"Saat ini Elang Putih pasti sedang mengumpulkan orang-orang nya untuk menyelidiki kasus ini lebih dalam. Saya yakin, dia sudah mengetahui penyebab kematian ketua Buta Rota. Bukan karena ilmu dan senjata pusakanya sendiri melainkan memang sengaja dibunuh."
Suasana kembali hening kala Galih berhenti bicara. "Kakang Rupa kenca, kita harus bisa meyakinkan Ketua Braja Geni untuk segera mengambil tindakan. Jika tidak ingin masalah semakin berlarut. Orang yang membunuh ketua Buta Rota jangan ada yang dibiarkan hidup. Seekor tikus harus bergerak lebih lincah dari kucing."
"Baiklah Nyonya Galih, aku masih memikirkan cara terbaik untuk bisa membungkam Elang Putih. Semakin hari bocah itu semakin menyusahkan." Rupa Kenca akhirnya bicara.
"Yang dikatakan kakang Rupa Kenca benar Nyonya. Selain itu, Keluarga Buta Rota harus kita fikirkan juga. Mereka tidak akan diam saja jika mengetahui yang sebenarnya terjadi," sahut yang lain.
"Sebelum aku bicara, aku sudah memikirkan semuanya matang-matang. Semuanya telah siap. Tinggal menunggu waktu yang tepat,," ucap Galih sambil tersenyum.
Rupa Kenca dan yang lain saling tatap. Mereka menunggu rencana Galih selanjutnya.
°°
Anjani, pelayan setia belibis putih datang melapor. "Tuan muda Elang Putih, saya sudah mendapatkan informasi yang tuan inginkan."
Elang putih mengangguk, mempersilakan.
"Hari pertama Tuan Muda pergi, ada tiga orang pendekar pembeli sumber daya datang ke padepokan kita. Mereka menemui Ketua Rupa Kenca, menurut informasi senjata yang mereka bawa berupa celurit, palu dan tombak pendek. Tidak diketahui apakah senjata mereka mengandung racun. Mereka bermalam di penginapan anggrek. Tepat pada malam berikutnya, Ketua Buta Rota tewas dibunuh."
Mahesa mengelus dagunya.
"Luka di tubuh Ketua Buta Rota jelas bukan luka akibat sabetan pedang, itu luka akibat celurit. Dua Tulang rusuknya patah akibat hantaman benda tumpul. Kemudian, racun yang menyebar bukan racun dari mata senjata. Melainkan, racun itu ditaburkan saat luka telah menganga. Jenis racunnya bukan berasal dari binatang melainkan racun tanaman. Jika diantara ketiganya menyimpan racun jamur upas, bisa dipastikan mereka adalah pelakunya. Lalu dimana keberadaan mereka sekarang?"
Anjani kembali menghaturkan hormat.
"Tadi pagi mereka telah meninggalkan penginapan, berjalan kearah barat menggunakan kereta kuda. Jika mereka terus berjalan tanpa henti, mungkin sekarang mereka telah tiba di hutan jati."
Mahesa menoleh kearah Ketua Rijo, yang sedari tadi berada ditempat itu.
"Paman, kita harus segera menyusul mereka."
"Baik. Kita memang tidak memiliki banyak waktu lagi." Ketua Rijo segera bangkit.
"Tuan Muda, mohon izinkan saya dan Puspita Dewi ikut serta," Anjani memohon. Mahesa mengangguk.
Mereka segera berangkat. Saat itu di halaman rumah, telah berkumpul beberapa orang anggota Padepokan lain. Termasuk Sucitra dan Sasongko ada diantara mereka.
Tambak Wulung menjelaskan bahwa mereka diperintahkan oleh ketua Braja geni untuk membantu.
Mahesa tidak bisa menolak bergabungnya mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 312 Episodes
Comments
Budi Efendi
mantap thorrr
2023-01-30
1
Marlon Nasution
lumayan bagus semogabap berikutnya makin mantap
2022-06-14
1
Thomas Andreas
pengejaran
2022-04-20
0