Pertarungan antara Tambak Wulung dan Serigala Merah terus berlanjut. Mereka telah bertukar puluhan jurus. Jika tidak diganggu oleh beberapa orang murid Padepokan, mungkin Serigala Merah mampu bertahan lebih lama.
Serigala Biru dan Hijau juga tengah disibukkan oleh musuh mereka masing-masing. Anjani dan Puspita Dewi berhasil memojokkan Serigala Hijau. Sementara hanya Serigala Biru yang berada diatas angin. Dia mampu melukai beberapa murid Padepokan.
Tombak pendek ditangan Serigala Biru mengarah bagian-bagian vital musuh. Andaikan murid Padepokan Rajawali bukan murid pilihan, mungkin Serigala Biru bisa menghabisi dengan mudah.
Pertarungan sengit masih berlangsung ketika muncul satu kekuatan tingkat tinggi. Energi yang cukup besar menimbulkan angin kencang dibalik bayangan seekor naga. Angin itu berhasil menghentikan pertarungan. Tiga Serigala terdorong kebelakang, sementara murid Padepokan bahkan ada yang terjatuh akibat kelebatan bayangan naga tadi.
"Jurus Naga Terbang?" gumam Serigala Merah. Pendekar itu terlihat sangat kaget.
Pada saat yang sama, seorang pemuda bertopeng perak berdiri diantara dua kubu yang bertarung.
Ketua Rijo, Anjani dan Puspita Dewi menyimpan senjata mereka masing-masing. Sementara Tambak Wulung cuma mundur beberapa tindak dengan tatapan yang kurang senang.
"Agar tidak ada penyesalan, sebagai seorang kesatria baiknya kalian mengakui bahwa kalian yang telah membunuh salah satu ketua padepokan kami." Mahesa menunjuk kearah Tiga Serigala.
"Seorang pendekar selalu menyelesaikan masalah dengan cara Pendekar. Tidak menutup kemungkinan akan ada yang jatuh sebagai korban." Serigala Merah menjawab dengan santai. Dia sudah menduga alasan Padepokan Rajawali menyerang.
"Jika kalian hendak membalas dendam atas kematian ketua kalian Buta Rota, sebaiknya lakukan sekarang. Selama kalian masih mempunyai kesempatan untuk bernafas. Hahaha..." Serigala Hijau menimpali.
Mahesa tersenyum kecut.
"Kalian telah mengakuinya sendiri, kalau begitu saya tidak akan sungkan. Kemampuan saya sangat rendah. Mohon bimbingan."
"Hahaha .... Baiklah bocah, kami akan menemani kau bermain." Tiga Serigala langsung bersiap bertarung dalam formasi.
Mahesa masih berdiri tegap, hanya jari tangannya telah menekuk seperti cakar dengan aliran energi tenaga dalam tinggi.
Saat Tiga Serigala maju menyerang, Mahesa menyambut dengan tangan kosong. Mereka bertukar beberapa pukulan.
Pada gerakan kesepuluh, Mahesa berhasil memukul dada Serigala Hijau dengan keras. Membuat tubuh Serigala Hijau terpental beberapa meter kebelakang.
Serigala Merah dan Biru meningkatkan serangan. Celurit kembar Serigala Merah bergerak cepat bagaikan baling-baling, begitu juga tombak pendek Serigala Biru terus mengarah kebagian vital tubuh Mahesa.
Akan tetapi, kemampuan olah Kanuragan Mahesa berada jauh diatas keduanya. Hingga beberapa gerakan selanjutnya Mahesa berhasil menjatuhkan keduanya tanpa kesulitan.
Tiga Serigala menyeka darah disudut bibir mereka. "Jangan dulu berbangga hati anak muda. Kami belum kalah, Tiga Serigala akan bertarung hingga nafas terakhir."
Lagi, senyum tipis tersungging di bibir Mahesa. "Saya juga tidak berencana melepas kalian hidup-hidup. "
"Cuiiihhhhh.... Jumawa, coba kau sambut ini." Serigala Biru mengarahkan tombaknya mencoba menembus jantung mahesa.
Dengan gerakan ringan, mahesa menghindar dengan mudah. Dia berhasil menangkap pergelangan tangan Serigala Biru.
"Kraakk"
"Aaaaa..."
Suara tulang patah diiringi teriakan tertahan keluar dari mulut Serigala Biru. Tubuhnya kemudian terhempas jauh setelah mahesa kembali menghadiahkan satu pukulan tapak tepat di dadanya.
Serigala Biru hampir kehilangan kesadaran. Saat tubuhnya melayang di udara, secepat yang dia bisa dengan tangan kiri meraih bungkusan serbuk di pinggangnya lalu menaburkan kearah Mahesa.
"Awas Tuan Muda ... Racun ... !!!" Melihat serbuk berwarna kuning kehitaman yang ditaburkan Serigala Biru, Puspita Dewi berteriak lantang.
Mahesa yang juga mengetahui hal itu mengibaskan tangannya. Bayangan Elang berwarna putih menghantam serbuk racun lalu menggiring menuju tubuh Serigala Biru. Senjata makan tuan. Ketika tubuh Serigala Biru menyentuh tanah, racun miliknya telah bekerja.
Tubuh Serigala Biru mengejang menahan sakit yang luar biasa. Luka ditubuhnya langsung menghitam terkena racun jamur upas.
Sangat mirip dengan luka ditubuh ketua Buta Rota.
Sucitra menahan air matanya. Dia bisa merasakan rasa sakit yang diderita ayahnya pada saat meregang nyawa.
"Benar. Kakang Elang Putih benar. Ayah bukan terkena racun pedangnya melainkan baj*ngan ini yang telah membunuh ayahanda." Sucitra menatap nanar Serigala Merah dengan penuh dendam. "Pasti celurit itu yang lebih dulu melukai ayah." Gumam sucitra.
Melihat saudara mereka meregang nyawa, kedua Serigala yang tersisa menyerang Mahesa dengan kemampuan tertinggi.
Mahesa menyambut serangan mereka dengan Jurus Tapak Naga Terbang.
Dalam dua puluh gerakan, Mahesa merubuhkan tubuh Serigala Merah dan Hijau dengan luka dalam yang sangat serius. Untuk berdiri saja, mereka kesusahan.
Sucitra berlari mendekat. Dia memberi hormat pada Mahesa.
"Kakang Elang Putih, mohon beri kesempatan saya untuk membalaskan dendam atas kematian ayah." Ucapannya dengan memohon.
Mahesa mengangguk. Dia membiarkan Sucitra menuntaskan dendam sebagai seorang putra. Lagipula, Dua Serigala sudah tidak berdaya.
Mahesa memilih untuk memeriksa barang bawaan Tiga Serigala.
"Ampun Tuan Pendekar, saya hanya rakyat biasa, saya sama sekali tidak terlibat." Kusir kereta merangkak memohon ampun saat Mahesa menghampiri.
"Bangunlah pak. Kau tidak akan kami sakiti."
"Terimakasih Tuan Pendekar .... Terimakasih..." Ucapnya berulang kali tanpa berani bangkit.
Mahesa menatap Anjani dan Puspita Dewi. Kedua pelayanan itu terlihat kebingungan dengan rasa tidak percaya menyelimuti.
"Mungkinkah ketua Buta Rota terlibat?" tanya Mahesa lirih.
"Tuan Muda, sumberdaya yang mereka bawa tidak seluruhnya dibayar kepada Padepokan. Seseorang memfasilitasi kelancaran aksi mereka. Bukti ini mengarah pada mendiang ketua .... " Anjani menarik nafas dalam-dalam.
Tambak Wulung, Ketua Rijo dan yang lain membisu melihat bukti yang mereka dapat.
Sasongko menjadi pucat. Dia mengenali Tiga Lencana padepokan yang digunakan Tiga Serigala merupakan lencana Ketua Buta Rota. Dia lebih tahu, memang benar Tiga Serigala bekerjasama dengan Buta Rota juga dirinya untuk memperoleh beberapa sumberdaya berharga. Tapi tidak secara ilegal.
"Kakang Buta Rota ,,, aku tahu kakang khilaf ... Aku pasti akan menanggung hukuman ini kakang, akan aku pastikan sucitra tidak dilibatkan." Ucap Sasongko lirih. Mahesa dan yang lain tidak bisa berbuat apa-apa.
°°
"Nyonya Wakil Ketua, saya hargai pendapat Anda. Ada kemungkinan Ketua Buta Rota sengaja dijebak." Mahesa yang baru datang segera bergabung dalam pembicaraan.
"Saya mendapatkan laporan perihal rincian sumberdaya yang dibeli oleh kelompok tiga serigala. Tentu sisanya merupakan curian. Ketua Buta Rota hanya menangani sebagian sumberdaya yang hilang. Tidak termasuk rempah dan daun langka untuk meramu obat. Apa ada ketua lain yang juga terlibat?" Mahesa melirik Ketua Rupa Kenca.
Rupa kenca tercekat. Dia menutupi keterkejutannya dengan mengalihkan pandangan pada ketua lain yang juga hadir dalam rapat.
"Elang Putih, kecurigaan mu sangat beralasan. Saya sangat kagum pada kecerdasan yang kau miliki. Maka dari itu, bersama-sama kita harus melakukan penyelidikan lebih jauh. Saya bersedia dilibatkan." Pedang Perak menawarkan diri.
"Saya salah satu gentong nasi tidak berguna. Memegang kunci namun tidak mengetahui kala ada orang membuka pintu. Silahkan selidiki kegiatan saya akhir-akhir ini. beberapa pegawai akan saya libatkan." Seorang ketua berdiri dari tempat duduknya.
"Benar. Silahkan periksa saya juga. Beberapa hari ini saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, mana tahu saya telah salah tangan." Pengurus lain menimpali.
"Tuan Muda Elang Putih. Saat kejadian pembunuhan, anda tidak ada di padepokan. Boleh saya tahu kemana Tuan Muda pergi?" Galih balik bertanya pada Mahesa.
Mahesa melirik Galih sambil mengerutkan dahi. Dia tidak mungkin memberi tahu yang sebenarnya tapi jika tidak, belasan pasang mata yang kini menatapnya pasti akan curiga.
"Apa Nyonya Wakil Pimpinan mencurigai saya?"
Galih tersenyum dan menggeleng.
"Sedikitpun saya tidak terfikir akan hal itu. Tuan Muda Elang Putih adalah murid kesayangan Pimpinan Padepokan, jika menginginkan sumberdaya bukankah akan lebih mudah dengan meminta daripada mencuri? Mohon Anda jangan salah paham."
Braja geni yang melihat suasana menjadi sedikit panas angkat bicara. Dia harus menghentikan perselisihan sebelum berlarut.
"Para ketua dan semuanya. Mohon untuk berfikir jernih. Kita semua hadir disini untuk memecahkan masalah bukan malah sebaliknya."
Yang hadir semua diam. Mereka Mendengarkan Braja Geni.
"Kasus ini akan diselidiki lebih jauh, jika benar ada ketua lain yang terlibat, maka harus dihukum. Saya akan menerjunkan tim khusus, bersama kita akan tentukan para anggotanya. Tim ini bekerja dalam pengawasan kita bersama. Setiap ketua bisa menetapkan satu nama.
kembali pada Ketua Buta Rota. saya sependapat dengan Nyonya Wakil Pimpinan. Mendiang telah tiada, sebelum masalah ini benar-benar jernih, Sucitra maupun Sasongko saya bebaskan. Namun tetap dalam pengawasan ketat. Mereka tidak diperkenankan untuk meninggalkan Padepokan. Lagipula kita harus menunggu kakang Belibis Putih kembali. Ketua Sanca Lurik dan Rupa Kenca, apa ada yang ingin ditambahkan?"
"Saya rasa tidak ketua" jawab Sanca Lurik dan Rupa Kenca bersama.
Galih tersenyum lembut pada Sucitra dan Sasongko yang sedari tadi sering menoleh ke arahnya. Satu senyuman pembungkus maksud.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 312 Episodes
Comments
Raka Afidien
mirip cerita dari tirai bambu
2022-07-03
2
Thomas Andreas
bahaya jg galih sindu
2022-04-21
0
Thomas Andreas
terjerat
2022-04-21
0