Bidadari Untuk Pria Pendosa

Bidadari Untuk Pria Pendosa

Aktivitas Pagi Hari.

Embun turun membasahi permukaan bumi. Burung berkicau ria diatas dahan ranting-ranting pepohonan. Suara kicauan yang seperti bebas menggema disuasana pagi.

Sang mentari yang masih malu-malu untuk menampakan diri.

Ketika sang fajar itu sudah berada dipermukaan untuk memancarkan sinar, ia akan menghapus jejak-jejak embun yang tertinggal diatas dedaunan.

Menghangatkan tubuh dari udara dingin.

Pancaran fajar dipagi hari membuat semangat dihari yang baru, menjalani aktifitas dengan sebuah senyuman.

Seorang gadis mengawali hari dengan sebuah senyuman, tangan putih mulus yang selalu dibalut dengan kain panjang, tidak membiarkan kulit putihnya terekspos.

Tangan putih itu sudah terbiasa memegang sebuah sapu, membersihkan halaman rumah dari dedaunan kering yang gugur diterpa angin.

"Aisyah..." wanita paruh baya berdiri didepan pintu dengan mengamati aktivitas putrinya.

"Iya Umi," jawabnya dengan suara lembut, selembut kulit pipinya yang tidak pernah tersentuh alat make-up berat. Ia hanya menggunakan bedak tabur untuk bayi. Begitu sudah membuatnya terlihat sangat ayu.

"Belum selesai bersihin halamannya? hari ini kamu tidak kerumah sakit?" tanya Umi Siti.

"Tinggal sebentar lagi sudah selesai kok, Umi. Pergi kerumah sakitnya nanti jam setengah delapan." jawab Aisyah, tangannya masih memegangi gagang sapu panjang. Ketika berbicara dengan orang tua, ia tau harus memperhatikannya. Menghentikan aktivitas barang sejenak.

"Kalau sudah selesai, cepetan mandi terus sarapan bersama." perintah Umi Siti. Aisyah menganggukkan kepalanya beberapa kali. Setelah itu, Umi Siti terlihat kembali masuk kedalam rumah. Aisyah segera menyelesaikan aktivitasnya.

"Assalamu'alaikum, neng Ais," sapa seorang pemuda yang sedang lewat didepan jalan setapak. Pemuda yang Aisyah kenal, mereka bertetangga. Bahkan mereka menjalin hubungan pertemanan yang baik.

"Walaikum salam, mas Faris." Aisyah membalas sapaan dari seorang pemuda yang bernama Faris. Pemuda yang sangat ia kenal, sopan dan baik.

"Mas Faris baru pulang dari masjid? Abi belum pulang, mas?" tanya Aisyah, dia tidak canggung dengan lelaki itu. Mereka sudah biasa dekat, ketika sehabis sholat maghrib mereka berdua mengajar anak-anak didesa untuk mengaji.

"Belum, Abi Muhsin dan Abi-ku masih dibelakang. Sebentar lagi pulang." jawab Faris. Lelaki itu masih berdiri digerbang besi yang tidak terlalu tinggi, hanya sebatas dada orang dewasa. Belum melanjutkan langkah kakinya.

"Ais, kamu ada jadwal kerumah sakit?" tanya Faris. Tadi Umi Siti yang menanyakan, sekarang berganti lelaki didepannya ini. Padahal mereka tau jadwal Aisyah pergi kerumah sakit.

"Ini hari senin, tentu ada jadwal. Memang kenapa?" Aisyah berganti melayangkan pertanyaan.

"Jadwal pagi ya?" pertanyaan dari pemuda bernama Faris tadi membuat Aisyah sedikit kesal, Faris sudah tau tentang jadwalnya tapi selalu berbasa-basi dengan bertanya.

"Iya," menjawab singkat. Berharap pria itu tidak bertanya hal yang sudah tau jawabannya. Aisyah terlalu malas untuk menjelaskan.

"Kita bareng saja, aku ada survei disekitar rumah sakit tempatmu mengajar." kata Faris, pemuda itu sangat berharap Aisyah mau menerima ajakannya.

"Tapi mas,"

"Abi?" Faris sudah hapal dengan alasan Aisyah menolak ajakannya.

"Bukan. Aku ada urusan sebentar dijalan Kemuning, Mas pasti kejauhan kalau mengantarkan aku kesana. Besok saja kita berangkat barengnya." Aisyah sendiri tak enak hati sudah sangat sering ia menolak ajakan lelaki itu, lelaki yang menaruh perasaan untuknya tapi ia pura-pura tidak mengetahui.

Aisyah gadis lugu, polos, ia tidak suka berpacaran. Dunia pergaulannya sangat terbatas, hanya dengan Faris saja ia mau berteman. Ia tidak suka berteman dengan lawan jenis.

Faris harus menelan kekecewaan, pagi ini tidak bisa berangkat bersama Aisyah. Tapi tidak apa, Aisyah tadi sudah memberinya harapan baru. Jika hari ini ia tidak bisa berangkat bersama Aisyah, setidaknya masih ada hari esok.

"Ya sudah kalau begitu, aku pulang. Jangan lupa, aku bakal tagih ucapanmu tadi, besok kita berangkat bareng." kata Faris, pemuda itu membenarkan kopiah hitam yang dipakai.

"Iya Mas. Insyaallah, besok kita bisa berangkat bareng." jawab Aisyah.

"Assalamualaikum,"

"Walaikumsalam."

Faris melanjutkan perjalanannya untuk pulang kerumahnya yang tidak jauh dari rumah Aisyah.

Setelah Faris pergi, Aisyah membalikan badan dan berjalan lewat samping rumah. Dibelakang ia menaruh sapu didekat pintu, segera memutar kran air untuk mencuci tangan yang terkena debu.

Setiap pagi Aisyah bertugas membersihkan halaman dan juga membantu Umi-nya didapur, setelah selesai ia akan berangkat kerumah sakit. Bukan sebagai dokter, perawat atau ahli medis lainnya. Gadis berusia 20tahun itu dengan suka rela menjadi penyemangat anak-anak kecil yang menderita penyakit kanker. Penyakit yang hingga kini membuat merinding kala mendengar seseorang menyebutnya. Ada alasan kenapa ia melakukan itu, Abi dan Umi tidak mencegah Aisyah melakukannya. Sebagai orang tua, mereka selalu mendukung apa yang dilakukan oleh putrinya.

Ketika berpapasan dengan Umi Siti, Aisyah menghentikan langkahnya.

"Kenapa Nak?" tanya Umi Siti. Ia melihat Aisyah berdiri dibelakangnya.

"Asik Umi masak tumis kangkung sama goreng tempe, Ais mau bawa bekal ya, Umi." Aisyah nampak kegirangan, tumis kangkung dan tempe goreng bukan makanan mewah tapi ia sudah bersyukur dan menyukai makanan itu.

"Ya ampun, Ais. Cuma makanan seperti kamu udah seneng banget. Nanti Umi siapin bekalnya. Sekarang cepetan mandi, sudah jam setengah tujuh." Umi Siti sibuk membalik tempe goreng diatas penggorengan.

"Iya Umi, makasih." Aisyah segera berlalu menuju kekamar mandi yang ada dibelakang rumah.

Rumah yang ditinggali keluarga Aisyah hanyalah sebuah bangunan biasa, tidak terlalu besar.

Setelah selesai membersikan diri, Aisyah bergabung dengan keluarganya yang sudah lengkap duduk dikursi meja makan.

"Pagi Abi," sedari tadi Aisyah belum menyapa Abi-nya.

"Pagi Nak." jawab Abu Muhsin.

"Kakak nggak nyapa aku?" kata Arini, gadis belia berumur 15tahun berstatus pelajar diMadrasah Tsanawiyah. Ia adalah adik satu-satunya. Kini tampilannya sudah rapi dengan seragam panjangnya.

"Iya adik, selamat pagi." Aisyah menyapa adiknya dengan senyuman seperti biasanya.

"Kalau diingetin aja baru nyapa." kata Arini cemberut.

"Ya Allah, dik.. mau kamu apa? kakak sapa salah, nggak disapa juga salah." Aisyah menggelengkan kepala.

"Kamu kayak nggak hapal sikap adikmu. Lebih baik kamu diamkan saja." Abi Muhsin ikut bersuara. Berbicara dengan nada hangat.

"Abi, ih..."

"Sudah...sudah! ayo kita makan." Umi Siti menghentikan pembicaraan. Dia melayani Abi Muhsin mengambilkan nasi beserta lauk pauk. Berganti Aisyah dan Arini yang bergantian mengambil makanan.

Ketika sedang menikmati makanan maka semuanya akan diam, tidak ada yang berbicara barang satu katapun.

Abi Muhsin sudah lebih dulu selesai, mengambil tissu dan membersihkan mulutnya. Ketika itu Aisyah juga telah selesai.

"Ais, kalau dirumah sakit jangan terlalu kelelahan, fikirkan juga kesehatanmu Nak. Jangan sampai menurun." pesan Abi Muhsin pada putrinya.

"Iya Abi. Ais akan jaga kesehatan." jawab Aisyah.

Sebagai orang tua yang mengetahui kondisi putrinya, Abi Muhsin selalu dihantui kecemasan, ia takut kesehatan putrinya akan menurun lagi.

Terpopuler

Comments

Agus Susanto

Agus Susanto

😍😍😍

2022-09-22

0

Sumi Sumi

Sumi Sumi

maaf akak aku nunggu certa baru nya jadi sementara baca yg ini dulu ,, biyar semua karya akak mei udah aku baca

2022-08-10

0

Puji Astuti

Puji Astuti

hai kak mei aku mampir

2021-09-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!