Setelah berbincang cukup lama dengan Abi Muhsin, Haidar telah berpamit pulang. Sebelum pergi Haidar sempat berkata bahwa besok pagi akan menyempatkan diri untuk kembali mengunjungi Aisyah.
Abi Muhsin menghantar kepergian teman lamanya. Sedangkan Gibran, lelaki angkuh itu tidak memiliki kesopanan sama sekali. Melangkah dengan sesuka hati meninggalkan kamar rawat Aisyah tanpa berpamit pada kedua orang tua Aisyah atau pun Aisyah nya sendiri.
Tindakan Gibran membuat Haidar geram dan ingin sekali menghajar anak nya yang selalu membuat kesal. Dalam hati benar-benar malu dengan sikap yang Gibran tunjukan. Jika putranya sendiri tidak bertindak sopan didepannya itu sudah menjadi hal lumrah, karna keseharian Gibran memang selalu dingin dan tidak pernah bersikap baik.
Tapi ini dihadapan orang lain, tentu saja membuat Haidar segan sekaligus malu.
"Gibran! kamu benar-benar membuat Papa malu di depan keluarga teman Papa." Haidar berkata dengan marah. Mereka berdua tengah duduk didalam mobil yang sama.
Gibran yang tengah asik dengan gawai ditangannya seolah tidak mendengar perkataan Haidar, matanya tetap fokus melihat layar tanpa ada niat untuk menjawab.
Seperti itulah sikap Gibran, remaja yang terkenal bandel dan membuat ulah rusuh.
Mungkin tidak pantas disebut manusia, lebih tepat seperti jelmaan pangeran kegelapan.
Anak dari pengusaha sukses namun bertingkah seperti berandal urakan. Setiap malam menghamburkan uang untuk pergi ke kelab malam dengan berganti-ganti perempuan.
Kuliah yang terbengkalai karna daftar absen banyak yang kosong. Belum lagi daftar catatan kerusuhan yang dibuat.
Jika bukan karna nama orang tuanya, mungkin sudah dari dulu mahasiswa bernama Gibran telah di DO dari kampus paling elite di Ibu Kota.
"Gibran...!!" Haidar yang sudah sangat geram tiba-tiba menyahut gawai itu dan membuang ke bawah, lalu menginjak dengan sepatunya.
"Pa..!!!" kini Gibran membalas tatapan tajam dari Haidar. Keduanya bukan lagi seperti ayah dan anak, mungkin lebih mirip musuh bebuyutan.
"Mau sampai kapan kamu seperti ini?! kapan kamu akan bersikap normal seperti remaja lainnya?! Papa sudah sangat lelah menghadapi sikapmu. Semakin dibiarkan, semakin menjadi."
terdengar nada keputusasaan didalam kalimat yang diucapkan Haidar. Mata tua yang beberapa detik tadi menyala kini mulai meredup. Hembusan napas panjang demi menurunkan gejolak emosi yang hampir meluap.
"Apa selama ini sikapku seperti orang tidak normal?! Papa nggak perlu sok perduli. Tetap bersikap seperti biasanya." jawab Gibran dengan cuek.
Haidar menggelengkan kepala, tidak tau lagi harus menasehati putranya seperti apa.
"Gibran, kamu anak Papa satu-satunya, penerus HA Group. Jika Papa tiada, perusahaan itu akan Papa wariskan padamu. Kalau sikap dan tingkah laku mu tidak bisa berubah, bagaimana kamu akan meneruskan usaha Papa?" Haidar berusaha untuk berbicara baik agar Gibran bisa luluh dan mulai berpikir.
"Aku memang anak Papa, tapi hanya status saja. Selama ini Papa hanya membutuhkan Affan, Affan, dan Affan! jadi, jika Papa menemukan kesulitan atau membuat daftar warisan berikan pada Affan. Dia seperti anak Papa, bukan Gibran!"
"Aku hanya anak nakal yang tidak berguna dan urakan nggak jelas. Aku tidak butuh warisan dari Papa. Aku tidak butuh semuanya, Hati dan perasaan Gibran sudah mati bersama Mama." ucapnya dengan nada tinggi.
Haidar menatap Gibran dengan pandangan yang berkaca-kaca. Hati tuanya begitu terluka mendengar suara kasar dari putranya sendiri.
Kesalahan masa lalu yang membekas dihati putranya membuat Gibran merubah sikap.
Andai waktu bisa diputar, mungkin semua bisa dirubah. Ia akan mempertahankan pernikahannya bersama mantan almarhum istrinya agar Gibran masih bisa mendapat kasih sayang dan bukan korban broken home.
Meski dia yang harus terluka dengan pengkhianatan sang mantan istri tapi setidaknya Gibran masih merasakan dekapan seorang ibu.
Hati Haidar begitu pilu, pengorbanannya selama ini tidak ada artinya dimata Gibran.
Bertahun-tahun, semenjak terjadinya perceraian itu Haidar mempertahankan statusnya agar tidak menikah lagi. Walau ada banyak wanita yang suka rela mendekati dan mengajak untuk membina hubungan serius tapi Haidar selalu menolak, semua dilakukan hanya demi putranya.
Ia takut wanita-wanita itu tidak tulus dan bisa saja menyakiti putranya.
Bertahun-tahun berlalu tapi Gibran selalu buta akan semua kebenaran, hingga Haidar sering mencurahkan isi hati dengan tangan kanannya yaitu Affan.
Affan masih muda, dia adalah anak dari Prastyo, sang asisten yang telah lebih dulu pulang ke Rahmatullah karna terkena serangan jantung.
Affan pemuda baik dan jujur, seperti almarhum ayahnya.
Haidar sangat dekat dengan almarhum Prastyo, hingga Prastyo menitipkan Affan kepadanya.
Dari itu Haidar mengangkat Affan sebagai tangan kanannya untuk menggantikan almarhum ayahnya.
"Gibran," Haidar memanggil lirih.
Tapi Gibran membuang tatapan tajam itu ke arah jendela. Meski ia bersikap berontak, tapi jauh didalam hati tidak tega melihat kedua mata ayahnya yang begitu menyiratkan kesedihan.
Ia tidak tau dengan perasaannya sendiri, terkadang benci dengan ayahnya. Tapi terkadang timbul rasa sayang dan tidak tega melihat ayahnya bersedih.
"Affan, hentikan mobilnya dirumah Kevin!" Gibran memerintah Affan. Meski umur Affan lebih tua, tapi ia tak sudi memanggil dengan sebutan kakak, mas, atau sebutan sopan lainnya.
"Tidak Affan. Kita pulang kerumah." Haidar tidak setuju dan menyuruh Affan mengemudikan mobil ke arah rumah.
"Baik Tuan." Affan menjawab perkataan Haidar.
Meski Gibran mendesah berat dengan genggaman tangan yang terkepal kuat, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Mobil berwarna putih itu telah masuki rumah megah bak istana dengan berlantai tiga.
Bangunan yang sangat kokoh dengan pilar-pilar putih menyangga di beberapa sisi.
Baru saja ban mobil terhenti, Gibran membuka pintu dengan gerakan cepat keluar dari mobil dan membanting pintu dengan kasar.
Haidar menunduk dengan jari tangan yang memijat pangkal hidung.
"Tuan, bersabarlah. Suatu saat Tuan Muda pasti bisa berubah." Affan melirik dari kaca spion.
"Aku sangat menantikan saat itu, Fan. Bertahun-tahun Gibran bersikap seperti ini. Apa aku bukan ayah yang baik?! bahkan putraku sangat membenciku?!" kalimat yang diucapkan Haidar terdengar memilukan.
***
"Akh... bren**ek...! si al...! aku benci dengan Papa! aku benci." Gibran menendang pintu kamar dengan kuat.
"Setelah aku kehilangan kasih sayang Mama, sekarang Papa juga mengabaikan ke beradaanku. Yang dia butuhkan hanya Affan, Affan dan Affan! Akh..." Gibran berteriak meluapkan kemarahan.
Barang yang tertata rapi dalam sekejap telah luluh lantah diatas lantai.
"Tuan Muda," panggil salah satu pelayan dengan kepala menunduk.
"Wanita bo doh, pergi kau! aku tidak butuh siapapun. An ji **" Gibran benar-benar seperti orang kesetanan. Tidak memperdulikan apapun. Yang ada dipikirannya hanya perasaan marah, kesal, kecewa dan benci.
Pelayan yang bekerja di rumah Haidar telah hapal dengan sikap Gibran. Tentu tak ada yang berani mendekati manusia jelmaan pangeran kegelapan.
Mereka memilih menyingkir dan akan kembali setelah si empu nya kamar sudah pergi untuk membereskan kekacauan dikamar Gibran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Sumi Sumi
ya ampun gibran arigan banget
2022-08-10
0
Alista
masukin pondok aja kak mei
2021-08-22
0
Dinda Syahira Febrianie
akhirnya 😊😊
semangat yaa
2021-05-01
0