"Ngomong asal lu, Ta."
"Asal gimana? Gue serius. Kalau Mbak Aisyah mau, gue langsung lamar jadi muhrimnya."
Sudut bibir Aisyah melengkung membentuk bulan sabit. Berbeda dengan pemuda angkuh di depannya, Arta lebih humoris dan ramah.
"Gimana Mbak Aisyah?" Pemuda berkemeja navi itu tak gentar, terus mengejar jawaban Aisyah.
"Mas Arta bisa aja. Jodoh sudah ada yang atur, saya gak tau jodoh saya siapa. Atau ... gak ada jodoh." Aisyah bergurau.
"Masa gadis secantik Mbak Aisyah gak ada jodohnya, sayang sekali. Pasti banyak pria yang menyukai Mbak."
"Gak tau, biar itu rahasia Allah."
"Ini nih, Gib. Bener-bener beda dari antrian tidur lu. Lu beruntung, tapi sayangnya lu bego." Arta beralih pada Gibran.
"Bangsat lu, Ta!"
"Astagfirullahalazdim," ucap Aisyah terkejut dengan ungkapan Gibran.
"Elah, keturunan Dajjal, di rem dulu kek mulutnya." Arta menyentak Gibran.
Aisyah menggelengkan kepala. Pembicaraan Arta maupun Gibran sama-sama kasar, membuatnya tidak nyaman.
"Kita ngomong pakek bahasa normal, Gib. Liat tuh, dia gak nyaman."
"Bodo'!"
"Assalamualaikum."
"Walaikum salam," jawab Aisyah dan Arta bersamaan. Ketiga pasang mata itu melihat ke arah pintu, ternyata Abi Muhsin lah yang datang.
"Abi," panggil Aisyah, "kok udah sampai sini? Gak telpon Ais."
"Enggak. Abi udah tanya sama perawat di lantai bawah." Abi Muhsin mendekat ke brankar Gibran, menaruh tupperware di atas nakas.
"Gimana keadaanmu, Nak Gibran?"
"Yah ... seperti ini, Pak Kiai."
"Abi duduk sini," kata Aisyah. Ia akan beranjak untuk menyingkir.
"Enggak usah, Ais aja yang duduk. Kakimu masih sakit, Nduk."
"Kenapa harus pakai kekerasan? Apa masalahnya tidak bisa dirunding baik-baik?" Abi Muhsin kembali bertanya pada Gibran.
"Temanku yang mulai duluan, aku hanya membela diri."
"Perkelahian tidak akan terjadi jika kedua belah pihak tidak dikuasai amarah. Sebelum melakukan sesuatu, coba untuk ditelaah baik buruknya. Kalau seperti ini, kasihan Idar, pasti cemas dan khawatir tentang keadaanmu."
"Papa gak sebaik itu. Udah sering aku begini, tapi papa biasa aja."
"Gak ada orang tua yang gak khawatir dengan keadaan anaknya. Begitupun dengan Idar, aku yakin dia begitu mengkhawatirkanmu."
"Kalau perusahaannya mengalami masalah, papa baru panik. Kalau urusanku, walau aku hampir sekarat, papa gak akan perduli."
"Astagfirullahalazdim," ucap Abi Muhsin. "Jangan berpikir buruk tentang papamu sendiri, Nak Gibran."
"Abi," sela Aisyah.
Abi Muhsin melirik Aisyah sebentar dan beralih pada tupperware yang tadi dibawa. "Nak Gibran, tadi uminya Aisyah nitip makanan buat kamu. Silahkan diicipi."
"Hem ... oh, makasih, Pak Kiai."
"Ais, urusanmu udah selesai,kan, Nduk?"
"Sudah Abi."
"Ayo kita pulang sekarang, Abi ada kunjungan dengan ayahnya Faris," kata Abi Muhsin.
"Iya Abi."
"Nak Gibran, semoga luka-lukanya lekas sembuh, maaf gak bisa lama jenguk, saya ditunggu orang."
"Iya, Pak Kiai, makasih udah jenguk Gibran. Dan makasih juga untuk umi yang repot-repot bawain makanan," balas Gibran tersenyum ramah.
"Besok kalau sudah sembuh, jangan lupa datang lagi ke rumah saya," pesan Abi Muhsin.
"Em ... i-iya, Pak Kiai."
Abi Muhsin mendekati Aisyah dan membantunya untuk berdiri. Aisyah menyempatkan untuk berpamitan. "Semoga lekas membaik, Mas. Kami permisi pulang."
"Iya, makasih."
'Tumben ngucapin makasih?' batin Aisyah. Perempuan itu meninggalkan senyum untuk Gibran, lalu beralih pada Arta. "Mari Mas Arta, saya duluan."
"Mari-mari Mbak Aisyah."
Abi Muhsin mengangguk ke arah Arta, yang juga dibalas anggukan sungkan dari pria berkemeja navi itu.
Setelah Aisyah dan abinya pergi, Arta menempati tempat duduk bekas Aisyah. "Bekas wanginya belum ilang, ya." Arta terlihat antusias, sedangkan Gibran meniti tupperware diatas meja.
"Lu dapet kenalan begituan beruntung banget, Gib. Langka cewek yang begitu."
"Ck ... berisik Ta!"
"Lu gak tertarik sama ahli surga begitu? Siapa tahu bisa merubah sikap buruk lu. Kalau gue, nih, beh ... langsung gue sikat."
"Inget, lu punya Cintya, mau lu kemanain?"
"Ya, kan, cuma misal. Kalau gue mah, setia ama cinta dan kasih sayang gue, ituh." Arta menyandarkan tubuh pada sofa. Lalu berucap lagi, "kalau lu gak terikat sama siapapun, udah gebet aja."
"Ogah! Bisa mati berdiri gue deket sama anak Pak Kiai gitu. Semua-semua ada hukumnya, mau napas baca doa, mau pegangan tangan nunggu halal. Cih, gak bisa sang*k gue."
"Otak lu emang tercemar. Yang dipikirin cuma se*k doang! Pikirin juga masa depan, apa lu mau kawin sama bekas orang!"
"Gue gak akan kawin. Berkomitmen cuma batasi kesenangan gue. Enak gini aja, gue bebas lakuin apapun."
"Dasar bego'!"
"Sekali lagi lu ngatain gue bego', nasib lu bakal sama kayak gue!" ancam Gibran yang berhasil membuat Arta memberengut.
"Gue lapar, lu bantuin siapin makan!" perintah Gibran.
Arta menurut, pria itu cekatan membuka tutup tupperware dan melihat isinya. "Enak nih, ayam rica-rica dan tempe goreng." Arta mengambil satu potong tempe dan melahapnya.
"Woy! Ambilin buat gue, kenapa malah makan sendiri."
Gibran mengunyah makanan dengan pelan, sudut bibir yang bengkak terasa sakit jika ia mengunyah seperti biasanya. Pria itu terdiam, menikmati masakan yang sudah sangat lama tidak dirasakan. Sejak sang Ibu pergi, kenikmatan makanan jarang ia rasakan. Merasakan masakan Umi Siti membuat pria itu merindukan ibunya.
Mungkin selama ini Gibran terlihat angkuh dan tidak memiliki hati, namun mereka tidak tahu jika pria itu memiliki hati rapuh. Apapun yang dirasa selalu dipendam, mungkin satu-satunya manusia yang mengerti Gibran adalah Arta dan Kevin. Mereka berdua paham akan kerapuhan seorang Gibran.
"Ta ...." Gibran memanggil Arta tanpa beralih dari piring yang ada di pangkuannya, "gue jadi rindu dengan nyokap gue," ucap Gibran sendu.
Arta yang menghentikan kunyahannya dan beralih pada sahabat dekatnya. "Kok tiba-tiba jadi melow?"
"Masakan ini ngingetin masakan nyokap gue, rasanya hampir sama." Netra Gibran sekarang meniti keluar jendela, "beruntung banget orang-orang bisa ngerasain keluarga utuh sampai sekarang. Dari kecil gue kesepian."
"Ah, elu, melow gini gue juga rindu sama emak bapak di kampung, kan."
"Elu rindu masih ada yang lu peluk. Gue cuma bisa meluk nisan."
"Iya, sih. Tapi lu masih punya bokap, lu bisa meluk bokap lu."
"Hati gue gak bisa berdamai, Ta. Setiap kali inget bokap ngusir nyokap, rasanya sesak."
"Coba lu berdamai dulu dengan hati lu. Om Haidar bukan orang egois, Gib. Bokap lu baik, hanya elu aja yang gak mau deket. Gue yakin, ada alasan sendiri kenapa bokap lu misahin lu sama nyokap."
Ia terdiam, tidak ingin berargumen lagi dengan Arta. Jika papanya tidak egois, mungkin saat ini ia tidak akan kehilangan kasih sayang. Namun, papa yang dikenal bukanlah orang baik. Pria paruh baya itu memilih mengurus perusahaan tanpa memberikan waktu untuk memperhatikannya. Jika ia diberi pilihan, maka lebih baik hidup sederhana dengan limpahan kasih sayang, daripada hidup bergelimang harta tetapi kesepian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Sumi Sumi
jadi melow aku
2022-08-10
0
R⃟ Ratu𝓦⃟֯ ❀🌷🌷🐊
lanjut
2021-09-28
0
Alista
cap cuz kak mei
2021-09-27
0