Makan malam

"Persetan! Mau sopan, mau enggak, bodo'!" tekan Gibran lirih.

Kembali ke rumah Aisyah dengan di apit anak buah juga Affan yang membuntuti di belakang. Mereka memasang waspada, tidak ingin lengah dan tuan muda mereka bisa kabur lagi.

Ketika kembali ke rumah Aisyah, Abi Muhsin justru menawari makan malam bersama. Untuk menghargai pemilik rumah, Haidar menerima tawaran Abi Muhsin. Kini Haidar dan Gibran duduk di ruang makan yang sangat sederhana. Namun suasananya sangat berbeda, terasa hangat.

Abi Muhsin mempersilahkan tamunya untuk mengambil menu makanan lebih dulu. Setelah itu, barulah tuan rumah yang akan mengambil makanan.

Bukan menu kebarat-baratan. Melainkan menu masakan sederhana yang sering dinikmati orang biasa. Ada tumis kangkung bercampur udang merupakan kesukaan Aisyah. Ada pindang ikan kakap, lauk tempe dan tahu goreng, lengkap dengan sambal tomat. Sederhana namun rasa sangat memanjakan lidah. Terbukti Gibran sangat lahap menikmati makanan yang ada dipiringnya. Pemuda itu menambah tumis kangkung ke dalam piringnya.

"Kamu ketemu tumis kangkung, bisa ngabisin nasi banyak," seloroh Haidar.

"Heem, masakannya juga enak banget, seperti masakan mama," ucap Gibran tanpa sadar. Sedetik kemudian pria itu terhenyak. Mulutnya terhenti untuk mengunyah. Bukan hanya Gibran, Haidar pun turut diam dan melirik ke arah putranya.

"Alhamdulillah, kalau suka sama masakan Ibu. Ayo, nambah lagi." Umi Siti mempersilahkan. "Berati Nak Gibran sama seperti Aisyah, dia juga sangat favorit sama tumis kangkung. Apalagi ada udangnya, pasti nambah terus," cerita Umi Siti.

Mata Aisyah menyipit, ia sedikit menahan malu. Kenapa uminya harus bercerita tentang kesukaannya.

Gibran melirik ke arah Aisyah, melihat semburat kemerahan di pipi perempuan itu. Entah kenapa pemuda itu tersenyum tipis.

Suasana seperti inilah yang selalu didambanya. Berkumpul bersama dengan kemeriahan Senda gurau. Namun, sejak mama dan papanya berpisah, Gibran tak pernah merasakan kehangatan bersama keluarga. Setiap Haidar lembur di kantor, ia hanya di temani pengasuh dan beberapa pengawal.

"Tadi Aisyah yang ngajari Nak Gibran belajar bacaan shalat, loh, Bi," ujar Umi Siti memberitahu.

"Oh, ya?" kejut Abi Muhsin. Lalu beralih pada Gibran. "Maaf, saya kira Nak Gibran belum datang, jadi saya pergi memenuhi undangan di kampung sebelah."

"Gibrannya aja yang bandel. Sebenarnya pihak rumah sakit belum membolehkannya pulang, tapi anak ini maksa pengen pulang," sahut Haidar.

"Ngapain Gibran lama-lama di rumah sakit, kaki Gibran gak masih bisa jalan. Bete' kali, Pa, baring terus gak ada temennya."

"Kan, ada Affan," sahut Haidar cepat.

"Ada dia atau enggak, gak berpengaruh. Malah bikin tambah bete!" Gibran mendekus.

"Memang susah nurutin kemauan kamu. Papa tau kamu cuma pengen kabur ke rumah Arta, lalu melakukan kebiasaan burukmu!" Keduanya hampir terpancing untuk saling mendebat.

"Heem, maaf, Idar, Nak Gibran, sebaiknya kita lanjut makan dulu. Tidak baik makan dengan membicarakan hal serius." Abi Muhsin melerai.

"Maafin kami, Idar. Beginilah, terkadang kami sering berdebat hal-hal kecil." Haidar meminta maaf, baru usai menutup mulut, dikejutkan suara ponsel Gibran yang berdering.

"Bentar," ijin Gibran beranjak pergi.

"Napa?" tanya Gibran saat menjawab telpon dari Arta.

"Napa, pala lu peyang! Suek bener lu, Gib! Gue udah nungguin sampek berjamur, lu di mana sih, gak nongol-nongol? Pesan gak lu bales-bales!" kesal Arta.

"Sorry, gue susah mau kabur. Si manusia sialan itu halangin gue mulu."

"Pesan gue kenapa gak lu bales!"

"Gue masih makan malam."

"Buju buset! Gue di sini kayak orang bego', lu enak-enakan makan malam!"

"Terus gimana ini?" sambung Arta.

"Ntar pulangnya gue ke rumah lu."

"Lah, ini gak jadi mau kabur?"

"Gak. Tadi papa udah kasih ijin ke rumah lu."

"Heeeeeh ... manusia satu ini!" gerutu Arta lalu mematikan telpon secara tiba-tiba. Setelah itu Gibran kembali bergabung di meja makan.

"Arta gak betah nungguin kamu di sini?" sambut Haidar, ketika Gibran kembali duduk di sampingnya.

"Kok, Papa tau?"

"Dia nunguin kamu di ujung gang," jawab Haidar.

"Serius, Pa. Kasihan dia pasti kek orang bego', Gibran susul ajalah."

"Eh ... kamu gak boleh pergi sebelum lukamu sembuh."

"Pa, bukanya tadi Papa udah ngijinin!"

"Urusan kamu dengan polisi belum selesai. Kalau kamu tetap maksa buat pergi, Papa gak akan urus. Biar jadi pelajaran buat kamu." Haidar membubuhi ancaman.

Gibran berdecak kesal.

"Kenapa kamu gak ijinin dia ketemu temannya, Idar? Kasihan temannya nungguin," sela Abi Muhsin.

"Kalau aku kasih ijin, ujung-ujungnya dia akan keluyuran gak jelas. Kasus yang kemarin belum selesai di tangani pengacara. Aku gak mau ada kasus baru," terang Haidar.

"Kasus apaan, Pa. Gitu doang," sahut Gibran merendahkan.

"Gitu doang? Ayahnya Max nuntut ganti rugi seratus juta. Masih bilang, gitu doang?"

"Orang berpendidikan tapi bego, Max duluan yang mukul Gibran, kenapa mereka yang minta ganti rugi? Aneh!"

"PT Maxindo sama-sama kuat, Gibran! Kamu jangan anggap remeh mereka. Papa paham bagaimana ayahnya Max. Dia orangnya keras. Sedikit membuat kesalahan, bakal kewalahan ngadepin dia."

Acara makan malam telah selesai, Aisyah membantu uminya untuk membereskan sisa makanan dan piring kotor. Sedangkan para lelaki melanjutkan berbincang di ruang tamu.

"Nak Gibran, kalau saya pas lagi ada acara, gak keberatankan kalau Nak Gibran belajar ngaji bareng Aisyah? Nanti ada Umi dan Arin yang menemani, jadi gak akan menimbulkan ghibah."

Gibran yang fokus pada layar ponsel terkejut tiba-tiba diajak bicara oleh tuan rumah. Pemuda itu menjawab tanpa kesadarannya. "Iya, Pak Kiai."

"Aku seneng banget ketemu keluarga kamu, Usin. Apalagi mau membantu anakku supaya belajar agama. Hal yang dari dulu aku ingini tapi belum kesampaian. Ternyata berkat takdir tak sengaja Gibran menabrak motor Aisyah, membuat silahturahmi kita tersambung."

"Alhamdulillah, Allah memang Maha Tahu mana yang baik. Pertemuan yang diatur oleh Allah memang selalu tepat dan ada kemanfaatannya. Hanya saja, kadang manusia yang sudah lebih dulu berprasangka."

"Nak Gibran, bukan saya ingin ikut campur urusan kamu dan ayahmu. Hanya berpesan, siapa tahu Nak Gibran bisa mendengar perkataan saya ... Di dunia ini orang pertama yang harus kita sayangi adalah ibu. Tetapi, jangan lupakan peran seorang ayah. Jika ibu yang mengasuh kita, peran ayah menjadi tulang punggung pencari nafkah untuk kehidupan kita. Jika ibu sudah tiada, tak salah kita menghormati dan menyayangi ayah. Patuhi ucapnya, karena seorang ayah, tidak akan menjerumuskan anaknya. Justru seorang ayah menginginkan kebaikan anaknya. Bukan begitu, Idar?" Abi Muhsin beralih menanyai Haidar.

Haidar mengangguk dengan pandangan sendu. Temannya mampu menasehati Gibran.

Sedangkan ia, tak pernah berhasil berbicara lembut di depan anaknya. Ia sedang menyadari hal itu.

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

lanjut

2022-08-10

0

Ferta Tonah

Ferta Tonah

lanjut akak mei....🤗😍😍

2021-10-04

0

Indah

Indah

lanjut lagi kak

2021-10-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!