Embun turun membasahi permukaan bumi. Burung berkicau ria diatas dahan ranting-ranting pepohonan. Suara kicauan yang seperti bebas menggema disuasana pagi.
Sang mentari yang masih malu-malu untuk menampakan diri.
Ketika sang fajar itu sudah berada dipermukaan untuk memancarkan sinar, ia akan menghapus jejak-jejak embun yang tertinggal diatas dedaunan.
Menghangatkan tubuh dari udara dingin.
Pancaran fajar dipagi hari membuat semangat dihari yang baru, menjalani aktifitas dengan sebuah senyuman.
Seorang gadis mengawali hari dengan sebuah senyuman, tangan putih mulus yang selalu dibalut dengan kain panjang, tidak membiarkan kulit putihnya terekspos.
Tangan putih itu sudah terbiasa memegang sebuah sapu, membersihkan halaman rumah dari dedaunan kering yang gugur diterpa angin.
"Aisyah..." wanita paruh baya berdiri didepan pintu dengan mengamati aktivitas putrinya.
"Iya Umi," jawabnya dengan suara lembut, selembut kulit pipinya yang tidak pernah tersentuh alat make-up berat. Ia hanya menggunakan bedak tabur untuk bayi. Begitu sudah membuatnya terlihat sangat ayu.
"Belum selesai bersihin halamannya? hari ini kamu tidak kerumah sakit?" tanya Umi Siti.
"Tinggal sebentar lagi sudah selesai kok, Umi. Pergi kerumah sakitnya nanti jam setengah delapan." jawab Aisyah, tangannya masih memegangi gagang sapu panjang. Ketika berbicara dengan orang tua, ia tau harus memperhatikannya. Menghentikan aktivitas barang sejenak.
"Kalau sudah selesai, cepetan mandi terus sarapan bersama." perintah Umi Siti. Aisyah menganggukkan kepalanya beberapa kali. Setelah itu, Umi Siti terlihat kembali masuk kedalam rumah. Aisyah segera menyelesaikan aktivitasnya.
"Assalamu'alaikum, neng Ais," sapa seorang pemuda yang sedang lewat didepan jalan setapak. Pemuda yang Aisyah kenal, mereka bertetangga. Bahkan mereka menjalin hubungan pertemanan yang baik.
"Walaikum salam, mas Faris." Aisyah membalas sapaan dari seorang pemuda yang bernama Faris. Pemuda yang sangat ia kenal, sopan dan baik.
"Mas Faris baru pulang dari masjid? Abi belum pulang, mas?" tanya Aisyah, dia tidak canggung dengan lelaki itu. Mereka sudah biasa dekat, ketika sehabis sholat maghrib mereka berdua mengajar anak-anak didesa untuk mengaji.
"Belum, Abi Muhsin dan Abi-ku masih dibelakang. Sebentar lagi pulang." jawab Faris. Lelaki itu masih berdiri digerbang besi yang tidak terlalu tinggi, hanya sebatas dada orang dewasa. Belum melanjutkan langkah kakinya.
"Ais, kamu ada jadwal kerumah sakit?" tanya Faris. Tadi Umi Siti yang menanyakan, sekarang berganti lelaki didepannya ini. Padahal mereka tau jadwal Aisyah pergi kerumah sakit.
"Ini hari senin, tentu ada jadwal. Memang kenapa?" Aisyah berganti melayangkan pertanyaan.
"Jadwal pagi ya?" pertanyaan dari pemuda bernama Faris tadi membuat Aisyah sedikit kesal, Faris sudah tau tentang jadwalnya tapi selalu berbasa-basi dengan bertanya.
"Iya," menjawab singkat. Berharap pria itu tidak bertanya hal yang sudah tau jawabannya. Aisyah terlalu malas untuk menjelaskan.
"Kita bareng saja, aku ada survei disekitar rumah sakit tempatmu mengajar." kata Faris, pemuda itu sangat berharap Aisyah mau menerima ajakannya.
"Tapi mas,"
"Abi?" Faris sudah hapal dengan alasan Aisyah menolak ajakannya.
"Bukan. Aku ada urusan sebentar dijalan Kemuning, Mas pasti kejauhan kalau mengantarkan aku kesana. Besok saja kita berangkat barengnya." Aisyah sendiri tak enak hati sudah sangat sering ia menolak ajakan lelaki itu, lelaki yang menaruh perasaan untuknya tapi ia pura-pura tidak mengetahui.
Aisyah gadis lugu, polos, ia tidak suka berpacaran. Dunia pergaulannya sangat terbatas, hanya dengan Faris saja ia mau berteman. Ia tidak suka berteman dengan lawan jenis.
Faris harus menelan kekecewaan, pagi ini tidak bisa berangkat bersama Aisyah. Tapi tidak apa, Aisyah tadi sudah memberinya harapan baru. Jika hari ini ia tidak bisa berangkat bersama Aisyah, setidaknya masih ada hari esok.
"Ya sudah kalau begitu, aku pulang. Jangan lupa, aku bakal tagih ucapanmu tadi, besok kita berangkat bareng." kata Faris, pemuda itu membenarkan kopiah hitam yang dipakai.
"Iya Mas. Insyaallah, besok kita bisa berangkat bareng." jawab Aisyah.
"Assalamualaikum,"
"Walaikumsalam."
Faris melanjutkan perjalanannya untuk pulang kerumahnya yang tidak jauh dari rumah Aisyah.
Setelah Faris pergi, Aisyah membalikan badan dan berjalan lewat samping rumah. Dibelakang ia menaruh sapu didekat pintu, segera memutar kran air untuk mencuci tangan yang terkena debu.
Setiap pagi Aisyah bertugas membersihkan halaman dan juga membantu Umi-nya didapur, setelah selesai ia akan berangkat kerumah sakit. Bukan sebagai dokter, perawat atau ahli medis lainnya. Gadis berusia 20tahun itu dengan suka rela menjadi penyemangat anak-anak kecil yang menderita penyakit kanker. Penyakit yang hingga kini membuat merinding kala mendengar seseorang menyebutnya. Ada alasan kenapa ia melakukan itu, Abi dan Umi tidak mencegah Aisyah melakukannya. Sebagai orang tua, mereka selalu mendukung apa yang dilakukan oleh putrinya.
Ketika berpapasan dengan Umi Siti, Aisyah menghentikan langkahnya.
"Kenapa Nak?" tanya Umi Siti. Ia melihat Aisyah berdiri dibelakangnya.
"Asik Umi masak tumis kangkung sama goreng tempe, Ais mau bawa bekal ya, Umi." Aisyah nampak kegirangan, tumis kangkung dan tempe goreng bukan makanan mewah tapi ia sudah bersyukur dan menyukai makanan itu.
"Ya ampun, Ais. Cuma makanan seperti kamu udah seneng banget. Nanti Umi siapin bekalnya. Sekarang cepetan mandi, sudah jam setengah tujuh." Umi Siti sibuk membalik tempe goreng diatas penggorengan.
"Iya Umi, makasih." Aisyah segera berlalu menuju kekamar mandi yang ada dibelakang rumah.
Rumah yang ditinggali keluarga Aisyah hanyalah sebuah bangunan biasa, tidak terlalu besar.
Setelah selesai membersikan diri, Aisyah bergabung dengan keluarganya yang sudah lengkap duduk dikursi meja makan.
"Pagi Abi," sedari tadi Aisyah belum menyapa Abi-nya.
"Pagi Nak." jawab Abu Muhsin.
"Kakak nggak nyapa aku?" kata Arini, gadis belia berumur 15tahun berstatus pelajar diMadrasah Tsanawiyah. Ia adalah adik satu-satunya. Kini tampilannya sudah rapi dengan seragam panjangnya.
"Iya adik, selamat pagi." Aisyah menyapa adiknya dengan senyuman seperti biasanya.
"Kalau diingetin aja baru nyapa." kata Arini cemberut.
"Ya Allah, dik.. mau kamu apa? kakak sapa salah, nggak disapa juga salah." Aisyah menggelengkan kepala.
"Kamu kayak nggak hapal sikap adikmu. Lebih baik kamu diamkan saja." Abi Muhsin ikut bersuara. Berbicara dengan nada hangat.
"Abi, ih..."
"Sudah...sudah! ayo kita makan." Umi Siti menghentikan pembicaraan. Dia melayani Abi Muhsin mengambilkan nasi beserta lauk pauk. Berganti Aisyah dan Arini yang bergantian mengambil makanan.
Ketika sedang menikmati makanan maka semuanya akan diam, tidak ada yang berbicara barang satu katapun.
Abi Muhsin sudah lebih dulu selesai, mengambil tissu dan membersihkan mulutnya. Ketika itu Aisyah juga telah selesai.
"Ais, kalau dirumah sakit jangan terlalu kelelahan, fikirkan juga kesehatanmu Nak. Jangan sampai menurun." pesan Abi Muhsin pada putrinya.
"Iya Abi. Ais akan jaga kesehatan." jawab Aisyah.
Sebagai orang tua yang mengetahui kondisi putrinya, Abi Muhsin selalu dihantui kecemasan, ia takut kesehatan putrinya akan menurun lagi.
"Ais berangkat sekarang ya, Abi, Umi." Aisyah berdiri disamping Abi Muhsin untuk mencium punggung tangan. Bergeser tempat berganti mencium tangan Umi Siti.
"Hati-hati ya Nak. Jangan lupa bekalnya dibawa." Umi Siti mengelus lengan Aisyah.
"Iya Umi, sudah Ais siapin. Makasih ya, Umi." ucap Aisyah. Perempuan muda yang bertutur kata lembut, pandai menjaga kesabaran.
"Kak, tunggu sebentar ya buku Arin ada yang ketinggalan." Arini berjalan cepat memasuki kamar. Hari ini Aisyah akan mengantarkan Arini kesekolah. Bila hari biasa Arini berangkat bersama temannya, entah tadi pagi Arini meminta untuk berangkat bareng dengan Aisyah.
"Kakak tunggu didepan." Aisyah berjalan keluar, mengambil sepatu putih tersimpan rapi dirak sepatu untuk ia kenakan. Kotak bekal ia taruh disamping tempatnya duduk.
Setelah selesai memakai sepatu, ia berjalan menuju garasi, berada disamping rumah bagian depan. Disamping motor matic ada mobil sedan milik Abi Muhsin. Meskipun ada mobil, ia tak pandai menyetir. Hanya roda dua yang ia gunakan untuk menempuh jarak kemanapun ia pergi.
Arini sudah keluar dan memakai sepatu. Berjalan mendekati kakaknya, meminta helm yang akan ia pakai untuk melindungi bagian kepala.
Mesin motor sudah dinyalakan, Arini membonceng dibelakang.
Ini alasan Aisyah menolak ajakan Faris, ia sudah berjanji akan berangkat bareng dengan adiknya. Gedung sekolah Arini memang terletak dijalan Kemuning, untuk itu Aisyah tidak berbohong jika mengatakan alasan seperti tadi.
Jalan Kemuning memang lumayan jauh dari rumah sakit tempat tujuan Aisyah, kurang lebih setengah jam baru sampai, setelah itu Aisyah harus putar balik arah.
Setelah sampai, Arini melepas helm dan memberikan kepada kakaknya. "Kakak makasih ya, sudah anter Arini." adik kesayangannya itu memberikan senyum. Aisyah membalas senyum.
"Iya sama-sama, dek. Udah masuk gih, ntar telat. Kakak langsung berangkat yah, belajar yang bener, biar bisa jadi dokter seperti cita-cita kamu." Aisyah memberi pesan, tangan kanan ia sodorkan didepan adiknya untuk bersalaman.
"Iya kakak, Arini janji akan rajin belajar. Jika sudah menjadi dokter, Arini akan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan." ada siratan kesedihan dimana Arini, menatap lekat-lekat manik mata sang kakak.
Aisyah hanya tersenyum, setelah Arini mencium tangannya ia akan segera berangkat. "Assalamuaikum," Aisyah mengucap salam.
"Walaikumsalam." Arini terpaku menatap punggung Aisyah yang sudah menjauh, ia sangat menyayangi kakak satu-satunya itu. Ada perasaan sedih saat melihat sang kakak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, Aisyah sendiri mempunyai cita-cita ingin menjadi dokter tapi karna sesuatu hal ia terkendala. Kini Arini yang ingin mewujudkan cita-cita sang kakak. Semua ia lakukan karna rasa sayang dengan saudara.
Sepeda motor yang dikendarai Aisyah terjebak macet, beberapa kali mengangkat tangan kiri untuk melihat jam dipergelangan tangan. 10menit motor belum bisa melaju bebas, sudah pasti ia akan telat sampai dirumah sakit.
Melewati kemacetan panjang akhirnya roda itu bisa memutar kembali. Ia harus menambah kecepatan supaya cepat sampai.
Bangunan rumah sakit yang tinggi sudah terlihat, ia tinggal menghidupkan lampu sein sebelah kanan dan akan menyebrang. Tapi dari belakang, sebuah mobil sport menyenggol body motor bagian belakang hingga membuatnya terjatuh. Beruntung tidak melaju dengan kecepatan tinggi.
Pengemudi mobil menghentikan mobil dan terlihat keluar. Seorang pemuda mendekati tubuh Aisyah yang duduk diatas jalan beraspal, kaki kanan masih tertimpa body motor, ia meringis kesakitan. Pemuda tadi segera menolong dengan memindah motor, kembali mendekati Aisyah dan ingin memapah, sebelum itu terjadi Aisyah sudah lebih dulu mencegah. Memang dari kecil hingga dewasa tidak ada lawan jenis yang bersentuhan dengannya kecuali Abi Muhsin. Ia selalu menjaga kesucian tubuh dengan air wudhu.
Pemuda itu belum bersuara, ia merasa bingung dengan sikap gadis dihadapannya, sudah cedera tapi menolak untuk ditolong. Mengerutkan dahi, menatap aneh.
Sedikit kesusahan Aisyah bangkit dan menyeret sebelah kaki, ia harus menyingkir karna berada ditengah-tengah jalan.
Duduk dipinggir jalan, tangan kanan memegangi kaki yang tertutup rok bergaris. Aisyah bisa merasakan kaki sebelah yang nyeri, ia tau mungkin sudah bengkak dan membiru.
Tak menyadari pinggiran telapak tangan juga mengeluarkan darah.
Pemuda yang baru sadar dari lamunannya segera bangkit, menghampiri gadis yang ia tabrak tadi.
"Bagaimana keadaanmu?" berbasa-basi bertanya, padahal ia tau keadaan gadis didepannya.
"Tanganmu berdarah!" pemuda itu tanpa canggung memegang tangan Aisyah.
"Maaf mas, kita bukan muhrim jangan sentuh tangan saya." Aisyah menarik tangannya. Darah menetes mengenai rok bergaris yang ia kenakan.
"Heh, Lo bego' apa tolol? gue mau bantuin Lo tapi nggak boleh pegang!" pemuda yang tadi bertanya baik-baik kini menjadi marah.
"Astagfirullahaladzim," Aisyah beristigfar lirih. Baru ini bertemu orang yang berbicara kasar seperti itu. Menghembuskan nafas, menahan amarah.
"Mas tidak perlu pegang saya dan nggak perlu bantu saya," Aisyah berbicara sedikit ketus, berusaha bangkit sendiri.
Pemuda itu berkacak pinggang, dari mulutnya masih mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar.
Motor Astrea tua berhenti dibelakang mobil sport, lelaki berseragam satpam menghampiri mereka.
"Ya Allah, teh Ais kenapa?" pak Baron satpam rumah sakit tentu hapal dengan Aisyah. Ia melihat tangan Aisyah yang berdarah berganti melihat pemuda yang berkacak pinggang dan terlihat acuh.
"Nggak pa-pa pak, tadi terjatuh." jawab Aisyah.
"Itu tangannya sampai berdarah gitu, aduh... ngeri ah." pak Baron bergidik ngeri.
"Heh, apa jatuhnya teh Ais ada hubungannya dengan kamu?" Pak Baron menatap sinis.
"Iya. Gua nggak sengaja nabrak dia." pemuda itu tak kalah sinis.
"Yeh... malah nyolot begitu. Wah, perlu dilaporin polisi ini." pak Baron menggertak, ia mengambil ponsel ingin menghubungi pihak kepolisian.
"Eh, jangan macem-macem! berani lapor polisi gua bunuh Lo!" pemuda itu menatap tajam. Pak Baron yang tadi sangar kini menciut, ancaman itu terdengar nyata.
"Astagfirullahaladzim," lagi-lagi Aisyah beristigfar. Ia sendiri juga takut dengan pemuda didepannya. Pemuda itu berpenampilan rapi tapi sangat kasar saat berkata.
"Ya kalau udah nabrak orang sampai begitu ya harus tanggung jawab dong." kata pak Baron menutupi katakutannya.
"Gua udah mau nolong dia, tapi dianya aja yang aneh! udah tau nggak bisa jalan nggak mau dipegang. Bego' emang." pemuda itu tak mau menatap Aisyah, kini kedua tangannya dimasukan kedalam saku celana. Terlihat angkuh.
"Itu wajar, tidak ada laki-laki yang bersentuhan dengan teh Ais." setiap orang yang kenal dengan Aisyah maka ia akan paham dengan kebiasaan yang dilakukan gadis itu.
"Heleh sok suci banget, kalau udah rasain punya lelaki pasti ketagihan." pemuda itu merendahkan, memiringkan sebelah bibir.
"Tolong mas kalau berbicara itu dijaga, tidak semua orang seperti mas. Saya merasa risih dengan kata-kata anda." Aisyah bersuara tanpa melihat kearah pemuda itu. Kesabarannya pagi ini diuji oleh pemuda dihadapannya.
Takdir itu lucu. Ada saja cara untuk mempertemukan dua orang yang tak memiliki urusan, tapi bertemu dengan cara seolah kebetulan.
Seperti takdir yang dialami Aisyah pagi ini, bertemu dengan seorang pria angkuh dengan tutur kata kasar. Sebelumnya ia tak mungkin meminta pertemuan itu, tapi takdir Tuhan yang memberi jalan. Ada alasan kah dibalik takdir pertemuan mereka?
Itu juga rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang tau, mana yang baik dan lebih baik.
"Lo risih dengan kata-kata gue. Gue juga risih sama perempuan sok alim. Bagi gue, wanita itu sama aja, sok jual mahal tapi sekali dikasih cium seterusnya bakal ngemis-ngemis." bukan hanya bernada sinis, pemuda itupun melayangkan tatapan sinis kearah Aisyah.
Aisyah membuang pandangan kearah jalanan, meski sosok pemuda didepannya terlihat tampan, tak ada niat untuk lebih memperhatikan. Tertutup dengan kekesalan. "Astagfirullahaladzim... mas sudah terbiasa berbicara merendahkan kaum hawa? tidak semua perempuan seperti yang mas pikirkan." Aisyah melirik sebentar, apakah pemuda itu mendengarkan perkataanya.
Suara deringan ponsel mengalihkan perhatian, suara itu berasal dari balik saku celana pria angkuh, terlihat tangannya sibuk merogoh dan segera menjawab panggilan.
Berbicara sebentar ditelpon dan mengakhiri panggilan itu.
"Sudah-sudah, begini saja. Kamu yang salah sudah menabrak teh Ais. Sekarang tanggung jawab, bayar semua biaya pengobatannya sampai sembuh." Pak Baron menengahi dan memberi usul jalan keluar.
Pemuda itu memiringkan sebelah sudut bibir, seolah merendahkan. "Siapa takut, jangankan biaya rumah sakit, biaya buat beli tubuh gadis itu juga gue mampu." pemuda itu mengatakan dengan ringan, seolah perkataannya sudah sering terucap.
Aisyah perempuan yang menjaga kesabaran dan selalu bertutur kata lembut tak lagi bisa menutupi kemarahan, baginya perkataan itu sudah melampaui batas.
Kedua mata indah yang selalu memancarkan keteduhan, kini tengah menatap nyalang sosok pria dihadapannya. Jarang, bahkan hampir tak pernah Aisyah bertemu dengan pemuda dengan segala kesombongan yang merendahkan kaum hawa. Bukankah ibu yang melahirkan juga seorang wanita, lalu bagaimana pemuda itu tidak menghargai kodrat seorang wanita.
Aisyah tak habis pikir, hanya mampu mengucap istigfar berkali-kali memohon pengampunan atas dirinya dan juga pemuda itu.
Sedikit lama perdebatan berlangsung dan tak ada titik terang, pak Baron menggiring keduanya untuk masuk kedalam rumah sakit. Pinggiran telapak tangan Aisyah terus mengeluarkan darah, pak Baron tak tega melihat itu.
Aisyah tetap pada pendirian tak mau disentuh yang bukan muhrimnya, terpaksa ia menyeret sebelah kaki, membuat langkahnya melambat.
Terdengar decakan beberapa kali. Pemuda itu tidak sabar melihat Aisyah berjalan sangat pelan, ingin ia menggendong sosok tubuh didepannya, agar cepat masuk kedalam rumah sakit dan mendapat pengobatan. Tapi itu mustahil, dipegang saja tidak mau, apalagi digendong?
Sampai dipintu masuk rumah sakit, perawat berjalan menghampiri. Melihat Aisyah terluka dengan menyeret sebelah kaki, segera mengambilkan kursi roda.
"Teh Ais," anak kecil dengan rambut diikat dua tengah berlari menghampiri Aisyah.
"Jeny, jangan lari-lari begitu sayang, nanti kalau jatuh bagaimana?" meski menahan sakit, Aisyah masih bertutur lembut. Perawat menghentikan dorongan kursi roda. Otomatis langkah pemuda yang mengikuti dibelakang juga terhenti.
Tak menghiraukan perkataan wanita yang dipanggil teteh, anak kecil berumur sekitar 6tahunan itu lebih memperhatikan luka ditangan Aisyah. Luka yang mengeluarkan cairan merah lekat itu sangat kontras terlihat.
Anak kecil bernama Jeny terlihat khawatir, "Teteh kenapa?" fokus melihat tangan Aisyah yang berdarah.
"Teteh terjatuh sayang, makanya berdarah." Aisyah tersenyum, menyembunyikan rasa sakit agar anak itu tak lagi khawatir.
"Tangan teteh pasti sakit,"
"Iya. Teteh boleh minta tolong?"
Jeny menganggukkan kepala, ia akan menolong wanita yang sangat baik itu.
"Bilangin sama temen-temen yang lain, teteh belum bisa nemenin kalian. Besok kalau teteh sudah sembuh kita bisa bermain lagi ya,"
"Iya teh, Jeny akan bilang sama yang lain. Teteh cepat sembuh ya."
"Iya sayang, makasih ya. Jeny kembali keruangan, jangan keluyuran kemana-mana." Aisyah memberi pesan, Jeny dan anak-anak penderita kanker yang lain sangat penting baginya.
Pemuda yang sedari tadi menggerutu dan berdetak kesal tak kuasa terpaku ditempat. Menyaksikan interaksi kedua wanita berbeda umur, tutur kata yang terdengar halus dan penuh kehangatan. Ia tak tau keduanya ada hubungan apa, tapi terlihat saling menyayangi.
Perawat kembali mendorong kursi roda menuju IGD. Disana Aisyah segera mendapat penangan. Kini Aisyah sedang ditangani oleh dokter.
Pemuda tadi menunggu didepan ruangan. Dengan wajah terlihat murung, tampak memikirkan sesuatu. Dikehidupan pribadi sendiri sedang terjadi masalah.
Luka yang tak seberapa parah sudah selesai diobati, dokter dan perawat keluar.
"Mas, luka ditangan teh Ais sudah selesai diobati." perawat memberitahu pada pemuda itu yang masih tampak acuh tak acuh. Reaksi yang ditunjukan tak begitu merespon, ia lalu pergi dari sana.
Sebenarnya ia malas untuk masuk kedalam, apalagi melihat wanita sok suci benar-benar membuatnya muak. Saat sudah masuk, belum apa-apa keduanya saling mengabaikan.
Pemuda itu memilih sibuk berbalas pesan WhatsApp. Tak memperdulikan wanita yang tengah duduk diatas ranjang.
Sebenarnya ia memiliki hati batu, tak perduli dengan orang lain. Tapi, entah kenapa saat ini ia tak sampai hati jika meninggalkan wanita itu sendirian. Ia akan menunggu sampai pihak keluarga ada yang datang.
Pintu ruangan terbuka, lelaki paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa ketampanannya tengah berdiri dan mengedarkan pandangan. Seperti mencari seseorang. Dibelakangnya ada beberapa orang berpakaian serba hitam, seperti pengawal.
"Gibran..!" suara yang terdengar tegas.
"Papa..." Pemuda itu terkejut, dan segera berdiri.
"Kamu berbuat ulah apalagi? kenapa kamu membahayakan nyawa orang lain!" pria paruh baya itu memijat pelipis. Putra tunggalnya itu sering berbuat ulah.
Gibran menatap tajam pada seseorang yang ada dibalik tubuh Papanya. Menduga, lelaki berpakaian formal itu yang sudah memberitahu.
"Jangan salahkan Affan. Apapun yang dilaporkan, Papa yang menyuruh." seolah mengerti arah tatapan Gibran, lelaki paruh baya itu melindungi kedudukan sekretarisnya.
Gibran mendengus.
"Sekarang jelaskan, apa yang kamu lakukan sampai membahayakan nyawa orang lain?"
"Gibran nggak sengaja menabrak pengendara motor dari belakang, tapi wanita itu nggak terlalu parah, Pa."
Aisyah memperhatikan percakapan ayah dan anak itu, ia membatin 'Lelaki angkuh dan sombong itu bernama Gibran.' Nama yang bagus tapi tak sebagus akhlaknya yang suka berbicara asal dan merendahkan kaum hawa.
"Kamu tidak fokus menyetir? atau kamu sedang mabuk?" Lelaki paruh baya itu meneliti putranya. Mencari tau apakah anaknya dalam pengaruh minuman keras. Tapi nihil, Gibran terlihat normal, tidak tercium bau menyengat.
"Gibran nggak mabuk, Pa. Semalam, baru sampai didepan pintu kelab tapi pulang lagi." Gibran menjawab acuh.
Aisyah sedikit menilai, pemuda itu tidak pernah bertutur kata lembut, bahkan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua juga tak ada sopan santun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!