Babak Belur

"Udah puas nantangin gua?" Sudut bibir Gibran terangkat, "berapa kali nantangin gue, gak bakal lu menang. Harusnya gak usah buang waktu." Kali ini Gibran mengejek Max.

"Lain kali, gue yang akan menang," sahut Max tak mau kalah.

"Lain kali?" tanya Gibran santai, namun dengan nada merendahkan, "masih belum kapok juga? Gak mau ngakuin kalau gue jauh lebih unggul segalanya daripada lu?" sinis Gibran, "besok pagi, siap-siap terima paket, rok panjang sama baju wanita, biar lu kelihatan manis. Oke." ejeknya.

Dada Max naik turun menahan amarah yang semakin membesar. Tangan berototnya terkepal kuat hingga buku tangan memutih. Tiba-tiba ....

Buk ....

Pria yang dikuasai amarah itu meninju pangkal hidung Gibran sampai kepala Gibran menoleh secara paksa dan mengeluarkan cairan merah pekat.

"Jangan songong, lu!"

"Da mn! Bre ngsek lu, Max." Gibran yang tidak terima di pukul membalas Max dengan pukulan yang sama. Tetapi, Max mampu menghindar hingga kepalan Gibran hanya mengenai udara.

Akhirnya mereka berdua adu kekuatan, saling melempar dan membalas pukulan. Anak buah Max tidak ada yang melerai, mereka justru sorak sorai memberi semangat.

Arta dan Kevin berusaha menghalangi, tapi kekuatan Gibran maupun Max jauh lebih besar. Keduanya di selimuti emosi yang meluap-luap saling melayangkan pukulan bertubi-tubi. Meski wajah berlumur cairan pekat tak membuat keduanya terhenti. Mungkin, sebelum salah satu tumbang maka perkelahian itu belum akan usai.

Max terjatuh di atas aspal setelah kaki Gibran menendang perutnya. Tak mau kalah, Max mencengkram mata kaki Gibran dan menariknya hingga kini Gibran ikut terpental ke aspal. Saat itu, Arta dan Kevin kembali memegangi Gibran yang akan bangkit dan membalas Max.

Gerombolan muda-mudi bisa dibubarkan setelah mendengar sirine mobil patroli yang sedang menuju ke arah mereka. Sebagian kocar-kacir mencari aman, segera mungkin meninggalkan tempat kejadian agar tidak berurusan dengan pihak kepolisian.

Gibran maupun Max berusaha kabur, tetapi tubuh mereka kehabisan tenaga sehingga polisi dengan mudahnya dapat meringkus Gibran juga Max.

Ruangan bercat putih dengan nuansa sunyi, di sanalah Gibran saat ini terbaring. Bukan hanya Gibran seorang diri, namun pria paruh baya juga duduk menemani di sampingnya. Setelah dokter dan perawat keluar, ayah dan anak itu belum ada yang bersuara.

Haidar menatap lekat pada Gibran, sedangkan Gibran memalingkan wajah ke arah lain. Perasaan merekalah yang saling bersuara.

"Hampir pagi, tidurlah. Badanmu pasti terasa sakit dan pegal-pegal," perintah Haidar.

"Gibran udah gak apa, harusnya gak usah nginap."

"Kamu gak bisa jalan, mukamu babak belur, kamu masih bilang gak apa?"

"Kenapa Papa gak marah? Biasanya kasus seperti ini Papa akan langsung murka."

Terdengar embusan napas panjang dari hidung pria paruh baya itu. Gurat kesedihan bercampur khawatir masih terlihat, namun kedua mata telanjang Gibran tak mampu mengartikannya. Gibran terlanjur menutup pintu untuk memahami ayahnya sendiri.

"Semakin Papa marah, kamu semakin memberontak. Papa mau berterima kasih."

"Terima kasih?" bingung Gibran yang langsung menoleh dan menatap ayahnya.

"Terima kasih, hari ini kamu mau menuruti permintaan Papa untuk pergi ke rumah Aisyah."

"Affan!" sahut Gibran cepat. Ia bisa menebak si Tangan Kanan itulah yang melaporkan segala tindak tanduknya, termasuk balap liar yang dilakukan sampai berujung perkelahian.

Gibran bernapas kasar, memendam kekesalan untuk pria bernama Affan.

"Papa senang kamu berkunjung ke sana."

"Gibran ... cuma ... ah, iseng aja dateng ke rumah itu. Penasaran dengan kehidupan gadis sok suci yang selalu hina Gibran. Ternyata jauh dari kata layak."

"Meskipun jauh dari kata layak, tapi masuk ke rumah itu hatimu akan terasa menghangat."

Gibran mendengus, dalam hati memang membenarkan perkataan ayahnya. Ketika masuk dan duduk di rumah Aisyah, perasaan hatinya menjadi menghangat. Apalagi melihat interaksi satu keluarga yang dipenuhi kasih sayang, membuat siapapun iri. Terlebih seperti ia, anak korban broken home. Jelas mendamba kasih sayang seperti keluarga Aisyah, namun tak pernah dirasakan semenjak kedua orang tuanya bercerai.

"Istirahatlah!" lagi-lagi Haidar menyuruh Gibran beristirahat. Jam tergantung di dinding menunjukkan pukul 3 pagi.

"Papa juga istirahat," balas Gibran pelan. Haidar mengangguk. Namun, pria paruh baya itu tak beranjak dari sofa yang di duduki. Melainkan mencondongkan tubuh untuk menyadarkan tubuh di brankar Gibran dan mulai memejamkan mata.

"Pa, di samping ada ranjang kosong, kalau seperti ini badan Papa bisa sakit."

"Papa cuma tidur sebentar,"

Meniti wajah tua yang baru memejamkan mata membuat perasaan Gibran bercampur aduk. Sedih, lemah, kasihan, bodoh, menyesal, muak. Semua perasaan tak menentu itu berbaur menjadi satu.

Sakit disekujur tubuh tak sebanding dengan remasan di hatinya. Di dasar lubuk, ingin sekali memeluk dan menyandarkan semua yang dirasa, namun ada jarak yang seolah mencegah untuk melakukan itu. Benci; rasa tidak terima akan perlakukan ayahnya yang menjadikan ia anak menyedihkan, mendamba kasih sayang tapi tak pernah di dapat. Setiap mengingat akan hal itu, percikan kemarahan kembali menyulut perasaanya. Itulah penyebab ia selalu memberontak dan bertindak semaunya, semua sebagai pelampiasan emosional.

Fajar menyingsing dari arah timur, Haidar telah terbangun dan melihat Gibran masih terlelap. Netranya tak berpaling dari wajah Gibran yang dipenuhi luka.

"Maafin Papa, Nak. Papa tau, semua yang kamu lakukan bukan sepenuhnya salahmu. Andai Papa bisa mengembalikan waktu, hal utama yang Papa lakuin akan mengembalikan kasih sayang ibumu dan memberikan keluarga yang utuh. Meskipun Papa yang akan menanggung kesakitan atas perselingkuhan ibumu. Tapi, semua sudah berlalu, tidak bisa untuk kembali. Papa akan berusaha memberi kasih sayang yang tidak pernah kamu dapatkan."

Saat pandangan Haidar tak beralih dari wajah Gibran, getaran ponsel di atas nakas mengejutkannya. Tertera nama Affan di sana, Haidar segera menjawab. "Ada apa, Fan?"

"Tuan, Anda akan pulang ke rumah lebih dulu atau saya langsung menjemput Anda di rumah sakit?"

Haidar menjauh agar tidak menganggu tidur putranya. "Aku berangkat dari sini. Kamu bawakan pakaian ganti!"

"Baik Tuan."

Setelah menutup telpon, Haidar melangkah keluar untuk menemui dokter. Berjalan di lorong rumah sakit tak sengaja melihat Aisyah berjalan menuju arah berbeda. Haidar mempercepat langkahnya untuk menyapa Aisyah.

"Nak Aisyah ...!"

Aisyah berhenti dan menoleh ke belakang. Di sana, melihat pria paruh baya yang tak lain teman abinya.

"Om ...." Aisyah tersenyum.

"Kamu mau check up?" tanya Haidar.

"Bukan Om, Aisyah memang sering datang ke rumah sakit ini. Ada pekerjaan yang Aisyah lakukan," jawab Aisyah penuh kesopanan, "Om sendiri sedang apa di sini?"

"Gibran dirawat."

"Dirawat?" bingung Aisyah, "maaf, bukannya kemarin baik-baik aja?"

"Semalam dia terlibat perkelahian dengan teman kuliahnya. Jadi, ya, begini ... ujung-ujungnya masuk rumah sakit," jelas Haidar.

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

makin penasaran

2022-08-10

0

🍒KURNI CACAH 🍒

🍒KURNI CACAH 🍒

kayak nya cumah paham antara Gibran dan papah nya yg selingkuh kan mamah nya

2021-10-14

0

Alista

Alista

lanjut kak mei

2021-09-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!