Lelaki itu bernama Gibran

Takdir itu lucu. Ada saja cara untuk mempertemukan dua orang yang tak memiliki urusan, tapi bertemu dengan cara seolah kebetulan.

Seperti takdir yang dialami Aisyah pagi ini, bertemu dengan seorang pria angkuh dengan tutur kata kasar. Sebelumnya ia tak mungkin meminta pertemuan itu, tapi takdir Tuhan yang memberi jalan. Ada alasan kah dibalik takdir pertemuan mereka?

Itu juga rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang tau, mana yang baik dan lebih baik.

"Lo risih dengan kata-kata gue. Gue juga risih sama perempuan sok alim. Bagi gue, wanita itu sama aja, sok jual mahal tapi sekali dikasih cium seterusnya bakal ngemis-ngemis." bukan hanya bernada sinis, pemuda itupun melayangkan tatapan sinis kearah Aisyah.

Aisyah membuang pandangan kearah jalanan, meski sosok pemuda didepannya terlihat tampan, tak ada niat untuk lebih memperhatikan. Tertutup dengan kekesalan. "Astagfirullahaladzim... mas sudah terbiasa berbicara merendahkan kaum hawa? tidak semua perempuan seperti yang mas pikirkan." Aisyah melirik sebentar, apakah pemuda itu mendengarkan perkataanya.

Suara deringan ponsel mengalihkan perhatian, suara itu berasal dari balik saku celana pria angkuh, terlihat tangannya sibuk merogoh dan segera menjawab panggilan.

Berbicara sebentar ditelpon dan mengakhiri panggilan itu.

"Sudah-sudah, begini saja. Kamu yang salah sudah menabrak teh Ais. Sekarang tanggung jawab, bayar semua biaya pengobatannya sampai sembuh." Pak Baron menengahi dan memberi usul jalan keluar.

Pemuda itu memiringkan sebelah sudut bibir, seolah merendahkan. "Siapa takut, jangankan biaya rumah sakit, biaya buat beli tubuh gadis itu juga gue mampu." pemuda itu mengatakan dengan ringan, seolah perkataannya sudah sering terucap.

Aisyah perempuan yang menjaga kesabaran dan selalu bertutur kata lembut tak lagi bisa menutupi kemarahan, baginya perkataan itu sudah melampaui batas.

Kedua mata indah yang selalu memancarkan keteduhan, kini tengah menatap nyalang sosok pria dihadapannya. Jarang, bahkan hampir tak pernah Aisyah bertemu dengan pemuda dengan segala kesombongan yang merendahkan kaum hawa. Bukankah ibu yang melahirkan juga seorang wanita, lalu bagaimana pemuda itu tidak menghargai kodrat seorang wanita.

Aisyah tak habis pikir, hanya mampu mengucap istigfar berkali-kali memohon pengampunan atas dirinya dan juga pemuda itu.

Sedikit lama perdebatan berlangsung dan tak ada titik terang, pak Baron menggiring keduanya untuk masuk kedalam rumah sakit. Pinggiran telapak tangan Aisyah terus mengeluarkan darah, pak Baron tak tega melihat itu.

Aisyah tetap pada pendirian tak mau disentuh yang bukan muhrimnya, terpaksa ia menyeret sebelah kaki, membuat langkahnya melambat.

Terdengar decakan beberapa kali. Pemuda itu tidak sabar melihat Aisyah berjalan sangat pelan, ingin ia menggendong sosok tubuh didepannya, agar cepat masuk kedalam rumah sakit dan mendapat pengobatan. Tapi itu mustahil, dipegang saja tidak mau, apalagi digendong?

Sampai dipintu masuk rumah sakit, perawat berjalan menghampiri. Melihat Aisyah terluka dengan menyeret sebelah kaki, segera mengambilkan kursi roda.

"Teh Ais," anak kecil dengan rambut diikat dua tengah berlari menghampiri Aisyah.

"Jeny, jangan lari-lari begitu sayang, nanti kalau jatuh bagaimana?" meski menahan sakit, Aisyah masih bertutur lembut. Perawat menghentikan dorongan kursi roda. Otomatis langkah pemuda yang mengikuti dibelakang juga terhenti.

Tak menghiraukan perkataan wanita yang dipanggil teteh, anak kecil berumur sekitar 6tahunan itu lebih memperhatikan luka ditangan Aisyah. Luka yang mengeluarkan cairan merah lekat itu sangat kontras terlihat.

Anak kecil bernama Jeny terlihat khawatir, "Teteh kenapa?" fokus melihat tangan Aisyah yang berdarah.

"Teteh terjatuh sayang, makanya berdarah." Aisyah tersenyum, menyembunyikan rasa sakit agar anak itu tak lagi khawatir.

"Tangan teteh pasti sakit,"

"Iya. Teteh boleh minta tolong?"

Jeny menganggukkan kepala, ia akan menolong wanita yang sangat baik itu.

"Bilangin sama temen-temen yang lain, teteh belum bisa nemenin kalian. Besok kalau teteh sudah sembuh kita bisa bermain lagi ya,"

"Iya teh, Jeny akan bilang sama yang lain. Teteh cepat sembuh ya."

"Iya sayang, makasih ya. Jeny kembali keruangan, jangan keluyuran kemana-mana." Aisyah memberi pesan, Jeny dan anak-anak penderita kanker yang lain sangat penting baginya.

Pemuda yang sedari tadi menggerutu dan berdetak kesal tak kuasa terpaku ditempat. Menyaksikan interaksi kedua wanita berbeda umur, tutur kata yang terdengar halus dan penuh kehangatan. Ia tak tau keduanya ada hubungan apa, tapi terlihat saling menyayangi.

Perawat kembali mendorong kursi roda menuju IGD. Disana Aisyah segera mendapat penangan. Kini Aisyah sedang ditangani oleh dokter.

Pemuda tadi menunggu didepan ruangan. Dengan wajah terlihat murung, tampak memikirkan sesuatu. Dikehidupan pribadi sendiri sedang terjadi masalah.

Luka yang tak seberapa parah sudah selesai diobati, dokter dan perawat keluar.

"Mas, luka ditangan teh Ais sudah selesai diobati." perawat memberitahu pada pemuda itu yang masih tampak acuh tak acuh. Reaksi yang ditunjukan tak begitu merespon, ia lalu pergi dari sana.

Sebenarnya ia malas untuk masuk kedalam, apalagi melihat wanita sok suci benar-benar membuatnya muak. Saat sudah masuk, belum apa-apa keduanya saling mengabaikan.

Pemuda itu memilih sibuk berbalas pesan WhatsApp. Tak memperdulikan wanita yang tengah duduk diatas ranjang.

Sebenarnya ia memiliki hati batu, tak perduli dengan orang lain. Tapi, entah kenapa saat ini ia tak sampai hati jika meninggalkan wanita itu sendirian. Ia akan menunggu sampai pihak keluarga ada yang datang.

Pintu ruangan terbuka, lelaki paruh baya yang masih terlihat sisa-sisa ketampanannya tengah berdiri dan mengedarkan pandangan. Seperti mencari seseorang. Dibelakangnya ada beberapa orang berpakaian serba hitam, seperti pengawal.

"Gibran..!" suara yang terdengar tegas.

"Papa..." Pemuda itu terkejut, dan segera berdiri.

"Kamu berbuat ulah apalagi? kenapa kamu membahayakan nyawa orang lain!" pria paruh baya itu memijat pelipis. Putra tunggalnya itu sering berbuat ulah.

Gibran menatap tajam pada seseorang yang ada dibalik tubuh Papanya. Menduga, lelaki berpakaian formal itu yang sudah memberitahu.

"Jangan salahkan Affan. Apapun yang dilaporkan, Papa yang menyuruh." seolah mengerti arah tatapan Gibran, lelaki paruh baya itu melindungi kedudukan sekretarisnya.

Gibran mendengus.

"Sekarang jelaskan, apa yang kamu lakukan sampai membahayakan nyawa orang lain?"

"Gibran nggak sengaja menabrak pengendara motor dari belakang, tapi wanita itu nggak terlalu parah, Pa."

Aisyah memperhatikan percakapan ayah dan anak itu, ia membatin 'Lelaki angkuh dan sombong itu bernama Gibran.' Nama yang bagus tapi tak sebagus akhlaknya yang suka berbicara asal dan merendahkan kaum hawa.

"Kamu tidak fokus menyetir? atau kamu sedang mabuk?" Lelaki paruh baya itu meneliti putranya. Mencari tau apakah anaknya dalam pengaruh minuman keras. Tapi nihil, Gibran terlihat normal, tidak tercium bau menyengat.

"Gibran nggak mabuk, Pa. Semalam, baru sampai didepan pintu kelab tapi pulang lagi." Gibran menjawab acuh.

Aisyah sedikit menilai, pemuda itu tidak pernah bertutur kata lembut, bahkan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua juga tak ada sopan santun.

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

owwww anak holang kaya pantas sombong

2022-08-10

0

ꪶꫝNOVI HI

ꪶꫝNOVI HI

sombong banget tu cow, mulutnya pengen tak kasih cabe..

2021-09-28

0

Alista

Alista

keren lak mei

2021-08-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!