"Boleh saya di sini sebentar lagi," pinta Gibran penuh harap pada Umi Siti. Pria itu ingin menghindari anak buah ayahnya yang tak sedikitpun memberinya kebebasan.
"I-iya, gak apa. Terserah Nak Gibran." Umi Siti kebingungan dengan permintaan Gibran, lalu melirik pada pria berpakaian formal yang bergeming di depan pintu.
Aisyah baru pulang dari Masjid. Ia melihat tiga pria asing di depan rumahnya. Dan sama sekali tidak mengenali mereka, di lihat dari penampilan bukan tamu dari abinya, karena biasanya yang datang pria berkopiah dan memakai baju koko.
Rasa penasaran membuatnya segera melangkah meskipun kaki yang cedera belum sepenuhnya pulih. Aisyah menganggukkan kepala saat tiba di depan Affan dan dua orang lainnya, sebagai tanda untuk menyapa. Melewati mereka, Aisyah mulai masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Netra Aisyah langsung di suguhkan dengan pria yang duduk di kursi ruang tamunya. Sedikit terkejut, namun ia tutupi dengan beralih pada Umi Siti untuk mencium punggung tangannya.
"Kamu udah pulang, Nak?"
"Kenapa Mas Gibran udah di sini?" tanya Aisyah dengan ujung mata melirik ke arah pria yang di maksud.
"Memang gak boleh," jawab Gibran menyahut.
"Bukan gitu. Maksudku, harusnya Mas masih di rumah sakit, kan?"
"Gak betah." Jawaban singkat padat dan jelas.
Aisyah merespon dengan mengernyitkan dahi, lalu menatap aneh pada pria yang duduk santai di kursi depannya. Semua orang jika berada di rumah sakit tentu tidak betah. Tetapi setiap orang tidak punya pilihan untuk itu.
"Ais, Nak Gibran mau ketemu abi, tapi Abi gak ada. Sepertinya kamu bisa nemenin dia. Atau kamu gantiin abi aja buat ajarin Nak Gibran belajar ngaji. Kasihan, udah dibelain ke sini," tutur Umi Siti memberi ide.
"Apa? Aisyah yang ngajarin dia ngaji?" pekik Aisyah terkejut. 'Yang ada cuma bakal perang aja sama pria angkuh ini,' batin Aisyah.
"Saya rasa ucapan Ibu benar juga. Bolehkan, saya belajar ngaji dengan cewek song ... eh, anak Ibu?" sahut Gibran cepat. Dan berhasil membuat Aisyah melebarkan bola matanya.
"Ya gak apa, Nak. Walaupun kalian bukan muhrim, tapi insyaallah tidak menimbulkan fitnah karena Ibu juga ada di rumah ini. Jadi kalian tidak mungkin berbuat hal aneh."
"Ta-tapi Umi ...." Aisyah ingin menyanggah, tetapi tidak bisa. Umi Siti kembali berucap.
"Umi mau masak buat makan malam ... gak enak sama Nak Gibran kalau cuma didiemin aja. Sebentar lagi adekmu pulang, nanti ada temennya." Setelah mengelus punggung lengan putrinya yang terbungkus jaket, Umi Siti berlalu masuk ke ruang tengah.
Kepergian uminya, Aisyah kembali melirik ke arah Gibran. Pemuda itu tidak perduli. Mengembuskan napas, akhirnya Aisyah duduk berseberangan dengan Gibran.
"Kenapa Mas malah setuju dengan perkataan umi?" tanya Aisyah.
"Cewek sok suci, sebenarnya gue males ke sini, cuma gara-gara anak buah bokap gue, tuh, terpaksa buat gue gak ada pilihan," desis Gibran dengan penuh tekanan.
"Memangnya ada apa? Kenapa Om Haidar nyuruh mereka buat ngawasin kamu?"
"Gara-gara gue kabur dari rumah sakit, jadinya bokap gue ngirim dia rang buat mantau gue. Lu gak tau, gue di kurung dalam kamar gak boleh kemanapun. Lebih baik gue di sini, sambil mikirin cara buat kabur," jelas Gibran dengan sedikit memelankan nada suaranya.
Aisyah menggeleng mendengar pria tampan tapi menyebalkan di depannya itu sedang memikirkan cara untuk kabur. Padahal wajah Gibran masih menyisakan luka lebam.
"Mas masih sakit begitu mau kabur kemana?" cecar Aisyah.
"Wajah gue sedikit sakit, tapi ***** gue gak sakit. Dua hari gak main bikin badan panas dingin."
"Astagfirullah ...! Kenapa di kepala Mas hanya ada pikiran kotor! Sedang diganjar kesakitan, bukannya memperbaiki diri masih aja aktip ngelakuin dosa. Mas gak takut dengan laknat Allah? Jangankan laknat-Nya, tidak disukai malaikat aja bisa mempersulit kita mencapai janah-Nya, apalagi jika Allah sampai murka ... naudzubilah, Mas." Aisyah menguraikan kekesalan sekaligus keheranannya dengan pikiran Gibran yang tak sedikitpun takut dengan Dzat yang menciptakannya. Entah bagaimana pria itu bisa tersesat begitu jauh hingga tak mengenal Sang Khalik.
"Seperti apapun gue berbuat baik, Tuhan gak akan ngirim gue ke surga. Mungkin, sudah di tulis oleh malaikat kalau gue masuk neraka tanpa timbangan dosa, karna saking banyaknya perbuatan buruk gue. Jadi, sekalian aja gue nikmatin."
"Menyentuh yang bukan muhrimnya itu zina, Mas. Dan zina termasuk dosa besar. Dalam Surat Al Isra ayat: 32 jelas diterangkan, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." Dari situ kita di haramkan mendekati bahkan melakukan zina."
"Lu sok anti sama hubungan badan, tapi sekali lu nyoba, bakal ketagihan."
"Insyaallah saya jaga aurat saya untuk Allah dan untuk calon imam saya, jika Allah menghendaki umur saya panjang."
"Udahlah, daripada debat gak ada ujung. Mending bantu gue mikir cara buat kabur. Gue harus tagih janji Max," alih Gibran tak ingin melanjutkan membahas tentang dosa zina.
"Saya tidak mau ikut campur," jawab Aisyah singkat dan tegas menolak. "Bukankah Mas tadi menyetujui perkataan Umi untuk belajar mengaji. Kalau tau niat Mas cuma untuk menghindari mereka, lebih baik saya bilang aja sama umi, biar Mas di suruh pulang." gertak Aisyah.
"Eh, jangan! Berani lu ngancem gue?!" sinis Gibran.
"Berani. Saat ini Mas lagi di rumahku, gak bisa lakuin apapun."
"Damn shi*t!" umpat Gibran kalah telak tanpa melirihkan nada suara, agar Aisyah bisa mendengar. "Terus maksud lu gimana?"
"Mas harus nepatin ucapan Mas untuk belajar ngaji. Walaupun Abi gak ada."
"Lu yang gantiin?" tanya Gibran tidak yakin.
"Iyalah, siapa lagi."
"Lu gak akan ngajarin gue ngaji, yang ada cuma ceramah mulu! Bisa budek beneran kuping gue."
"Mas serius, biar saya juga serius."
"Haes ... malesin banget, sih."
"Mau gak, nih? Kalau gak mau bakal saya laporin sama umi."
"Serah lu."
Aisyah mengulum senyum berhasil membujuk pria angkuh itu untuk belajar agama. Walau tak ada ikatan batin apapun, Aisyah yang memang memiliki hati baik dan lembut berharap Gibran bisa berubah. Mengingat beberapa waktu lalu saat mengobrol singkat dengan Haidar, pria paruh baya itu terlihat sedih dengan sikap Gibran yang salah pergaulan. Beliau meminta Aisyah untuk berteman dengan Gibran dan mengajarkan kebaikan.
"Saya tau Mas belum hapal bacaan sholat, kan?"
Seketika Gibran menatap Aisyah, terkejut bercampur rasa malu dan kesal. Mengira Aisyah sedang mengejek.
"Sepertinya kita hapalin bacaan sholat lebih dulu."
"Bacaan sholat banyak dan panjang-panjang. Mau sampai tahun berapa bisa hapal?"
"Masih protes!" tegur Aisyah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Sumi Sumi
ya kalau serius menghapalnya g lama juga hapal
2022-08-10
0
Irnaningsih
kejeer kayak bucun nihh
2021-10-01
0
Apriyanti
makasih kak uda up,,,, lanjut
2021-10-01
0