Tuan Muda di rumah megah itu sedang menuruni anak tangga. Rumah megah bak istananya selalu sepi tanpa ada gelak tawa atau senda gurau. Yang ada hanya desas-desus beberapa pelayan yang sering bergosip.
"Tuan Muda ingin sarapan apa? Biar saya siapkan," satu kepala pelayan menyambut kedatangan Gibran di ruang makan.
Kursi-kursi berjajar rapi, tak ada yang menempati. Di meja bagian tengah masih tersisa bekas kopi juga sandwich yang tidak habis. Siapa lagi jika bukan bekas sarapan papanya.
"Bikinin susu aja," jawabnya malas.
"Tuan Muda tidak ingin sarapan?"
"Enggak,"
"Baik, tunggu sebentar." Kepala pelayan sudah kembali ke dapur untuk membuatkan susu seperti perintah Gibran.
"Selalu aja sepi," keluh Gibran meneliti ruangan. Tak mendapati apapun selain lukisan antik. "Gue bakar aja rumah ini biar rame." Pria itu mendengus.
Kepala pelayan kembali membawa satu gelas susu coklat dan menaruhnya didepan Gibran. "Ini, Tuan. Silahkan. Ohya, Tuan Besar meninggalkan pesan untuk Anda."
"Pesan?"
"Kata Tuan Besar, hari ini Anda harus masuk kuliah. Jika Anda absen lagi, Tuan Besar tidak akan mengurus syarat kelulusan Anda." Kepala pelayan tidak berani menatap ke arah Gibran. Melihat Tuan Muda mengerutkan dahi saja membuat seluruh pelayan menjadi takut.
"Ck ....!" Gibran berdecak kesal. "Kenapa harus ninggalin pesan segala? Apa udah gak mau ngomong lagi sama gue?"
"Maaf, Tuan Besar tadi sudah pergi ke kamar Anda, tapi tidak ingin membangunkan. Beliau langsung pergi."
'Benarkah?' batin Gibran.
Susu yang dibuatkan untuknya masih tersisa setengah, ia meninggalkannya begitu saja dan kembali menaiki tangga untuk pergi ke kamarnya.
Sekitar 45 menit, pria yang telah rapi dengan pakaiannya kembali menuruni anak tangga. Tapi kali ini menuju pintu keluar, mengeluarkan kunci dan akan mengendarai Bugatti Centodieci koleksi mobil sport miliknya. Kaca mata hitam digunakan untuk menghalau sinar matahari yang cukup terik meski saat ini masih pukul 10 pagi.
Bukan Gibran Aleidro Haidar jika tidak egois saat menggunakan jalanan. Pria itu mengendarai mobil sesuka hati tanpa memikirkan pengguna jalan lainnya. Yang penting hatinya senang, tanpa berpikir tentang keselamatan.
•
Tepat di lampu merah, mobil itu terhenti dengan sederet mobil lainnya. Tanpa membuka kaca mobil ia bisa melihat pemandangan sekitar.
Deg ....
Jantung seolah terhenti saat menemukan pemandangan berbeda. Ia menangkap seluet perempuan yang paling ia kenali dengan baik tengah tersenyum pada anak kecil yang sedang mengadu nasib belas kasih pengguna jalanan.
Setelah anak kecil itu pergi, mata Gibran tak dapat melihat sosok perempuan itu lagi, karena kaca mobil telah ditutup.
Tangan dinginnya terkepal di atas pegangan setir. Gelenyar tercampur menjadi satu, sakit hati, emosi, namun ada kerinduan yang masih tersimpan.
Apa dia telah kembali?
Apa dia ingat denganku?
Gibran membenturkan kepala bagian belakang pada jok mobil. Kenapa? Kenapa perempuan pertama yang berhasil membuatnya jatuh cinta itu harus kembali? Ia membenci, karena perempuan itu telah pergi tanpa alasan pasti. Ia tak tahu apa sebab musababnya.
•
Kemana lagi mobil Bugatti Centodieci itu terparkir jika tidak dihalaman rumah Arta.
"Ta ...! Ta ...!"
"Apa!" sahut Arta yang memang sudah berdiri di belakang pintu dan bersiap untuk pergi.
"Dia kembali, Ta! Dia kembali!" pekik Gibran serius ke arah Arta.
"Lu masih ngimpi? Teriak-teriak gak jelas, dia kembali, dia kembali? Siapa yang kembali?" tanya Arta dengan raut gemas.
"Dia kembali!" ulang Gibran.
"Astaga ...! Iya, siapa yang kembali? Ngomong yang jelas, lu."
"Raina kembali."
"Haha ... kehaluan dunia mimpi dibawa ke sini, nih! Bangun, woy ...! Gue kira obsesi lu sama Raina udah punah." Arta tidak percaya dan justru tertawa lebar.
"Gue gibeng bener lu ngetawain gue! Gue gak halu, bodoh!"
"Sulit dipercaya Raina kembali, mengingat skandal keluarganya yang rumit, mana berani menampakan wajah di negeri ini. Dia udah menetap di USA, kan?"
"Tapi, bisa aja mata lu salah liat gara-gara kena bogem Max kemarin? Ada perempuan lain dan lu ngiranya itu Raina," imbuh Arta yang masih belum percaya dengan berita Gibran.
"Suek, mata gue normal! Gak mungkin gue salah liat, gue kenal Raina lebih baik dari siapapun."
"Lu nyetir pakek kaca mata hitam, kan? Jangan-jangan itu yang bikin pandangan lu bureng!"
"Hist ...." Gibran yang kesal sudah mengayunkan tangan ke atas. Membuat gerakan ingin memukul Arta, tetapi pria itu telah lebih dulu kabur ke ruang dapur.
Gibran melempar tas punggung ke atas sofa, lalu tubuhnya ikut terhempas di sana. Ia mengusap rambut atas dengan pikiran yang melayang. Masih kurang percaya jika Rainanya kembali.
•
Aisyah terbatuk dengan memegang pelipis. Saat itu Umi Siti sigap mendekati putrinya. "Kamu kenapa, Nak?" tanya Umi Siti dengan khawatir.
"Kepala Ais sedikit pusing, Umi."
Umi Siti merengkuh tubuh Aisyah untuk dibimbing ke sofa. "Umi panggilin Abi." Perempuan paruh baya itu hampir beranjak. Tetapi tangannya dipegang oleh Aisyah.
"Jangan, nanti Abi gak ijinin Ais pergi," cegah Aisyah.
"Bukan hanya Abi, Umi juga gak akan ijinin kamu pergi, Ais."
"Umi, ini bukan pertamanya Ais pusing. Nanti akan hilang dengan sendirinya."
"Begitu juga dengan kamu? Kami gak ingin tiba-tiba kamu menghilang!" Tidak biasanya ibu paruh baya itu berbicara dengan nada naik satu oktaf. Umi Siti selalu lembut dalam keadaan apapun, namun kali ini rasa khawatir membuatnya begitu...
Aisyah menjatuhkan diri dipangkuan ibunya, cairan bening menetes dari celah sudut mata dan membasahi rok yang dipakai Umi Siti.
'Aku sudah berpasrah akan takdir dari-Mu, ya Rabb. Tapi kenapa masih tersisa rasa takut. Harusnya aku sudah bersiap untuk bertemu dengan-Mu. Tapi, Abi, Umi, membuatku ragu. Aku takut air mata mereka terjatuh saat kepergianku. Bukan mendahului takdir dan tidak mempercayai kuasa-Mu, hanya saja inilah gambaran nyata.'
"Mana ponselmu? Biar Umi yang bicara sama pihak rumah sakit."
"Ais udah sering ijin, anak-anak banyak yang tanya. Kasian mereka."
"Kamu kasihan dengan mereka, tapi tidak kasihan dengan kami?" Umi Siti membalikkan ucapan.
Aisyah mengembus napas panjang. "Maaf, Umi."
Abi Muhsin datang dari arah pintu ruang tengah. "Pagi-pagi udah pada tegang. Ada apa, Umi?"
"Putri kita ...," ucapan Umi Siti menguar di udara. Pasalnnya Aisyah sigap memotong.
"Gak ada apa-apa, Abi." Aisyah bangkit dari pangkuan Umi Siti. "Bi, boleh gak, hari ini Ais ke rumah sakit minta anter Mas Faris?"
Abi Muhsin mengernyit. "Tumben? Biasanya gak mau? Bareng Abi saja, hari ini ada kunjungan ke pondok Abah Sulaeman. Faris juga yang nganterin."
"Oh gitu, oke, Ais bareng Abi saja."
"Tapi, Ais ...." Umi Siti ingin mencegah lagi, tetapi Aisyah menggeleng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Sumi Sumi
sakit apa Aisyah
2022-08-10
0
Apriyanti
lanjut kak
2021-10-04
0
Yusna Zahra
akak Mey semangat....
2021-10-04
0