Apa bumi sudah tua

Mobil Mercedes hitam terus melaju ditengah padatnya kendaraan. Didalam mobil tak ada percakapan hangat, saling diam dan mengunci mulut masing-masing.

Bagi Haidar, pria paruh baya itu telah lelah setiap waktu harus berdebat dengan Gibran, anak semata wayangnya.

Lamanya terdiam, namun Haidar tidak betah lagi untuk membuka mulut. Lelaki paruh baya itu harus memberi wejangan pada Gibran agar mau meminta maaf pada keluarga Aisyah.

"Gibran, sampai dirumah sakit kamu harus meminta maaf kepada Aisyah." ucap Haidar.

"Males," jawaban singkat namun mampu melukai hati Haidar.

"Nak, Aisyah anaknya teman papa, kamu udah membuatnya celaka. Pantasnya kamu mengucap maaf." Haidar berbicara dengan nada rendah. Berharap Gibran tidak memulai pertengkaran lagi.

"Ya ... "

Sampai dirumah sakit, Haidar, Gibran dan tentunya Affan, sang tangan kanan Haidar ikut masuk ke dalam ruang rawat Aisyah.

"Selamat siang, Nak Aisyah." Haidar mendekati ranjang Aisyah.

Perempuan yang masih cidera dipinggiran telapak tangan juga kakinya memberikan senyum pada Haidar. "selamat siang, Om."

"Om senang masih bisa nemuin kamu, tadi khawatir kalau kamu sudah pulang." ucap Haidar ramah. "Dimana Ayah dan Ibu mu?" tanyanya.

"Tadi masih keruangan dokter."

"Assalamu'alaikum." tepat saat itu Abi Muhsin dan Umi Siti masuk dan mengucap salam.

"Wala'ikum salam." jawab Aisyah dan Haidar bersamaan.

Gibran? menjawab salam?! tidak! lidahnya akan kebakar jika menjawab salam. Pemuda itu duduk disofa dengan pandangan angkuh dan juga cuek.

"Nak Gibran," Abi Muhsin lebih dulu menegur, pemuda itu menganggukan kepala dan tersenyum simpul.

"Gibran!" Haidar memperingati putranya agar bersikap lebih ramah dan sopan.

Gibran beranjak dan mendekati ranjang Aisyah. "Sorry," ucapnya enteng, pemuda itu pun tidak berniat memandang Aisyah.

Kaki Haidar menginjak kaki Gibran, juga melirik anaknya dengan sinis. Tersirat permohonan agar Gibran tidak membuatnya malu didepan temannya.

Abi Muhsin dan sang istri saling pandang, bingung dengan sikap Haidar dan Gibran yang seperti bukan anak dan ayah.

"Idar, ayo kita duduk dan lanjutkan mengobrol." sela Abi Muhsin untuk mencairkan suasana.

"Baiklah."

Abi Muhsin dan Haidar duduk disofa juga dengan Affan. Umi Siti berpamit untuk melaksanakan sholat dzuhur dimushola rumah sakit.

"Kaki dan tangan Lo gak begitu parah. Harusnya Lo udah pulang, kan?" ucap Gibran yang duduk di kursi dekat Aisyah.

Aisyah tidak ada niatan memandang Gibran, mendengar suaranya pun membuat malas. Mengacuhkan lelaki itu pun tidak mungkin, itu bukan sikap yang baik. "Memang harusnya udah pulang andai saja kamu nggak daftarin aku diruang VVIP."

"Memangnya kenapa?"

Aisyah menghembuskan napas, "ruangan ini terlalu mahal untuk ukuran kami. Butuh perjuangan untuk keluar dari rumah sakit." meski Abi Muhsin tidak mengatakan kepadanya tentang sulitnya melunasi biaya rumah sakit, tapi Aisyah tahu jika kedua orang tuanya sangat keberatan membayar biaya tagihan.

"Lo ternyata cuma gadis miskin? gitu belagu dan sok suci." cibir Gibran.

"Allah maha adil, menciptakan manusia baik juga manusia angkuh. Semoga cepat dapat hidayah, agar penghuni neraka berkurang." Aisyah berkata sendiri untuk menyindir Gibran. Kesabarannya harus diuji sejak kemarin bertemu dengan lelaki itu.

Beruntung deringan ponsel mengalihkan Gibran dan tidak melanjutkan makiannya untuk Aisyah.

"Hallo ... "

"Lo dimana?"

"Gue lagi ada urusan, kenapa mang nya?"

"Ada barang baru, mulus dan wow banget ini, Lo mau nggak?"

"Barang baru? masih perawan dong, ya?"

Mendengar pembicaraan Gibran lewat sambungan telpon membuat Aisyah menatap lelaki itu dengan kening mengerut.

"Harganya berapa? ntar gue cabut agak cepet, soalnya lagi gabut banget nih. Pas banget Lo nawarin ****** ke gue."

"Astagfullah haladzim," Aisyah beristigfar lirih dengan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tidak mengerti pergaulan seperti apa yang dijalani lelaki itu sampai melampaui batas.

"Ngapa Lo ngeliatin gue kayak gitu?"

"Manusia seperti mu gak perlu di hisab, mungkin malaikat akan langsung menceburkan ke neraka." ucap Aisyah memandang Gibran dengan raut kekesalan.

"Ya, Lo benar. Gue juga orang pertama yang akan masuk ke neraka jaham. Puas Lo!" balas Gibran.

"Apa bumi ini memang udah tua, sampai ada manusia seperti kamu yang tidak menghargai wanita. Bahkan ibu mu seorang wanita, harusnya kamu bisa menghargai keberadaan kaum hawa."

"Kalau ceramah dimasjid, jangan disini. Gak akan mempan Lo ceramahin gue." ujar Gibran santai.

"Gibran,"

Pemuda itu menoleh pada Haidar.

"Temen papa ini seorang ustad, kamu bisa belajar ilmu agama dirumah beliau." Haidar berbicara dari tempatnya duduk.

"Apa Pa? Papa gak salah nyuruh Gibran belajar ilmu agama?" Gibran terkejut melihat ke arah Haidar. "Malaikat pasti pada bengong kalau tau Gibran belajar ilmu begituan." imbuhnya.

"Nak, Papa udah tua, gak ada keinginan lain selain melihatmu bersujud pada Sang Pencipta dan bisa mendo'akan papa ketika papa udah di alam keabadian." ucap Haidar dengan wajah tuanya yang sedih dan penuh permohonan.

Gibran memutar bola matanya, kesal, mengapa harus bertemu dengan keluarga Aisyah yang sok alim. Walau dia berandalan brengsek, setiap kali melihat wajah Haidar bersedih, ia pun tidak tega. "Nanti Gibran coba,"

"Alhamdulillah ... Papa yakin kamu tidak akan mengecewakan Papa."

_______________________

Aisyah sudah pulang kerumah berkat bantuan Haidar yang melunasi semua biaya rumah sakit. Awalnya Abi Muhsin menolak, tapi Haidar memaksa dan mengatakan itu sebagai bentuk pertanggung jawaban Gibran yang membuat Aisyah cidera.

Diruang depan, Aisyah sedang menemui Faris juga Della yang datang untuk menjenguk. Della adalah perempuan seumuran dengan Aisyah, juga teman mengajar anak-anak mengaji di masjid dekat rumahnya.

"Tangan dan kaki mu cidera lumayan parah, butuh waktu lama untuk sembuh. Lalu bagaimana dengan anak-anak dirumah sakit?" tanya Faris.

"Kemarin aku udah ijin sama mereka. Sebelum benar-benar sembuh belum bisa datang ke rumah sakit lagi."

"Semoga cepet sembuh ya Aish, kita pamit dulu, siap-siapa mau ngajar ngaji." sela Della berpamitan.

"Makasih ya, Mbak Della, Mas Faris, kalian udah luangin waktu buat jenguk Aish." perempuan itu tersenyum. Membuat Faris terpaku akan wajah meneduhkan didepannya.

Della dan Faris berteman dekat, sama halnya dengan Aisyah. Namun Faris lebih care kepada Aisyah dibanding dengan Della.

Setelah kepergian mereka berdua, Aisyah mengambil tongkat penyangga dan akan masuk ke kamar. Tapi suara seseorang menghentikan gadis itu.

"Hallo, benar ini rumahnya Abi Muhsin?" terdengar suara pemuda yang sering membuat Aisyah kesal. Baru turun dari mobil sudah berteriak.

Aisyah berjalan pelan menggunakan tongkat penyangga. Berdiri didepan pintu.

"Heh, ada cewek sok suci, berati bener ini rumah temennya papa." Gibran menutup pintu mobil dan berjalan mendekati Aisyah.

"Kalau datang ke rumah orang, wajib ngucapin salam dulu."

"Ck. Baru dateng udah mau ceramah lagi Lo! gue ogah dateng ke rumah Lo kalau nggak dipaksa sama bokap gue! jadi, jangan bikin mood gue tambah ancur. Ngerti."

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

hati hati bang ke songongan mu bisa membawa mu pada kebucinan

2022-08-10

0

Alista

Alista

aisyah siapin aja racun biar kapok tu gibran

2021-08-22

0

Mita

Mita

lanjut kak cerita ny bagus

2021-07-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!