Senyum adalah bagian dari ibadah, menebar senyum berarti menebar seribu kebaikan. Awali hari dengan sebuah senyum yang tulus, hal sederhana yang banyak mendatangkan pahala.
Melempar senyum kepada pemancing amarah tentu sulit. Tapi, jika berhasil melakukan maka Malaikat akan mencatat.
Satu senyum tulus lebih bisa bermakna, dari pada deretan kata yang sama sekali tidak berguna.
Hanya senyum tulus yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Mengabaikan anaknya, lelaki paruh baya berjalan mendekati ranjang Aisyah.
Disudut ruangan, Gibran sedang mengintrogasi lelaki bernama Affan.
"Nak, bagaimana keadaanmu?" tanya lelaki paruh baya itu, kedua bola mata mengamati telapak tangan Aisyah yang berbalut perban.
"Tidak pa-pa Pak, tidak terlalu parah." jawab Aisyah. Tangan itu diangkat keatas, ingin menunjukan bahwa keadaanya tidak mengkhawatirkan.
"Perkenalkan, saya Haidar. Ayah dari Gibran, laki-laki yang membuatmu celaka. Saya mewakili untuk meminta maaf." Pria bernama Haidar itu tulus meminta maaf.
Firasat seorang ayah yakin jika putranya belum mengucap kata maaf. Dia seorang yang paling tau kelakuan Gibran, meski putranya melakukan kesalahan belum pernah Gibran mau mengakui, apalagi meminta maaf. Itu sangat langka.
Haidar sangat kewalahan untuk menasehati, segala upaya ia lakukan agar anaknya bisa merubah sikap, tapi itu semua sia-sia. Seringkali keduanya adu cekcok dengan pendirian masing-masing.
"Nama saya Aisyah, Pak. Tidak pa-pa, mungkin kejadian tadi memang sudah takdirnya harus terjadi. Saya ataupun mas Gibran hanya kurang berhati-hati." Aisyah mengembangkan senyum. Senyum yang selalu diberikan untuk orang-orang yang tulus.
Baru pertama kali bertemu, Haidar mengagumi kesopanan dan kelembutan pada diri Aisyah.
Belum selesai pembicaraan mereka, pintu ruangan terbuka, kedua orang tua Aisyah berjalan cepat mendekati anaknya. Tidak memperdulikan keberadaan orang-orang disekitar, Umi Siti menangis terisak dan meraih tubuh Aisyah untuk dipeluk.
"Astagfirullahaladzim... Nak, apa yang terjadi denganmu? Umi dapet kabar dari rumah sakit langsung datang kemari. Kamu tidak apa-apa 'kan? bagaimana keadaanmu?" Nampak kecemasan yang berlebih, sederet pertanyaan menggambarkan kecemasan. Umi Siti sangat khawatir dengan keadaan putrinya.
Merengkuh tubuh Aisyah dengan kedua tangan tua, tangan yang selalu mampu memberi kehangatan.
"Umi-Umi, Ais tidak pa-pa. Umi dan Abi jangan terlalu khawatir." tangan bagian sebelah, Aisyah gunakan untuk mengelus lengan Umi Siti.
"Apa ada luka yang lain, Ais? atau cuma ditelapak tanganmu saja?" Abi Muhsin ikut menanyakan pada Aisyah, mata tua yang mengamati seluruh tubuh anaknya dari atas sampai bawah.
"Telapak tangan sama bagian kaki sebelah kanan, Bi. Kata dokter tidak terlalu serius, mungkin 2minggu kedepan Ais baru bisa jalan normal." Aisyah menjawab dengan tenang, supaya kedua orang tuanya tidak lagi khawatir.
"Tapi Ais, kepala mu..."
"Umi. Percaya sama Ais. Ini tidak sakit, kalau Umi cemas begitu Ais malah nggak tega liatnya." Aisyah menunduk sedih, ia tau apa yang menjadi kekhawatiran Abi dan Umi.
"Iya Nak, Iya.. Umi nggak nangis lagi. Kalau Ais merasa sakit, bilang sama Umi dan Abi." Umi Siti menghapus sisa-sisa cairan bening yang menggenang. Aisyah memang tidak suka melihat airmatanya terjatuh. Setiap kali Umi Siti harus menyembunyikan tangis saat melihat Aisyah kesakitan.
Haidar terpaku melihat pemandangan hangat itu. Sebuah keluarga penuh dengan kasih sayang, kepedulian dan kedamaian.
Terbesit rasa iri yang menjalar, hubungan yang dijalani dengan putranya tak pernah ada kehangatan. Ia dan Gibran jarang berkomunikasi, apalagi mencurahkan kasih sayang, itu jarang terjadi. Ketika bersama hanya menimbulkan percekcokan, sebuah pendapat yang berbeda.
Dulu Gibran bersikap hangat, ceria dan penuh tawa seperti anak seumurannya.
Sikap itu mengalami perubahan saat ia dan mantan istri bercerai, keduanya tidak memiliki waktu untuk menemani perkembangan putra mereka. Pada saat itu Gibran tengah duduk di bangku SMA, semenjak kejadian itu Gibran menjadi pemarah, pembangkang dan melakukan kenakalan. Apalagi, setelah wafatnya sang Ibu, sikap itu semakin sulit dikendalikan. Sebagai orang tua tunggal, hati Haidar sangat sedih. Sempat terpuruk menyalahkan diri sendiri, mungkin perubahan yang dialami Gibran karna kesalahan dirinya.
"Idar... kamu Idar 'kan?"
Suara itu memecah lamunan. Kedua mata Haidar langsung melihat kearah lelaki paruh baya yang juga melihat kearahnya. Dahi tua itu mengerut, merasa heran karna lelaki itu mengenal dirinya. Kejanggalan saat menyebut nama pendek, nama itu hanya teman-teman SMA saja yang mengetahui.
"Kamu tidak mengenaliku? aku Usin." Abi Muhsin mengingatkan, ia tau temannya itu tidak mengenali dirinya yang sekarang.
"Usin? kamu bener, Usin?" ucap Haidar, ia nampak tak percaya, ternyata lelaki paruh baya itu teman SMA dulu.
"Aku tidak mengenalimu." Haidar memutari ranjang, ia memeluk teman SMA-nya dulu. Abi Muhsin menyambut pelukan itu, keduanya tersenyum lebar.
"Alhamdulillah, kita masih bisa bertemu." kata Abi Muhsin. Pelukan itu sudah terlepas.
Haidar berganti melihat Aisyah, "Jadi, Aisyah ini putrimu?" tanyanya dengan tak percaya.
Haidar dan Abi Muhsin berteman sewaktu di SMA, keduanya sangat akrab. Penampilan Abi Muhsin yang sekarang benar-benar membuat Haidar tercengang, ia tau Abi Muhsin dulunya pemuda yang bersikap hampir sama dengan kelakuan Gibran. Brutal, suka jahil, menjadi preman yang ditakuti satu sekolah. Tapi sekarang, pria paruh baya itu seakan bukan temannya yang dulu.
"Iya, Aisyah putri pertamaku." kata Abi Muhsin.
"Kamu, kenapa bisa disini?" Abi Muhsin penasaran dengan keberadaan Haidar. Kenapa lelaki itu ada diruangan putrinya.
"Begini, sebelumnya aku minta maaf, karna putraku yang sudah membuat putrimu terjatuh."
Abi Muhsin tidak begitu terkejut, melihat raut wajah Haidar membuat Abi Muhsin tak tega untuk menghakimi. Tangan kanan terangkat untuk menepuk pundak temannya.
"Mungkin ini yang dinamakan takdir, siapapun tidak bisa mengelak dari musibah. Dengan musibah yang dialami anak kita menjadikan silahturahmi bisa tersambung. Lalu, bagaimana keadaan putramu?"
Ketika masuk kedalam ruang rawat putrinya, Ia terlalu khawatir dengan keadaan Aisyah, Abi Muhsin dan Umi Siti tidak menyadari keberadaan pria tengah duduk disofa yang ada disudut ruangan.
Mendapat pertanyaan dari Abi Muhsin membuat perasaan Haidar bersalah, karna masih peduli dengan menanyakan keadaan putranya. Anak bandel yang sudah menabrak dan membuat orang lain celaka sama sekali tidak menunjukan rasa bersalah atau berusaha untuk meminta maaf.
Dilirik putranya tengah asik bermain ponsel, Haidar benar-benar geram.
"Gibran...!"
"Iya, Pa." Gibran menjawab tanpa melihat kearah Papa-nya. Sibuk mengamati layar ponsel, tampak melirik barang sebentar.
Abi Muhsin, Umi Siti dan Aisyah melihat kearah Gibran. Laki-laki itu acuh dan tidak perduli.
Haidar sendiri tengah malu dengan sikap yang ditunjukan Gibran. Mata tua yang menyorotkan kesedihan, tidak mampu berbuat apa-apa. Sekedar menasehati tak ia lakukan, ia lebih malu lagi jika bertengkar dengan Gibran didepan keluarga Abi Muhsin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Sumi Sumi
akak tamatin dong certa ini ,, ko cuma 30 episode az
2022-08-10
0
Alista
top pokoke critane
2021-08-22
0
Herni Wati
lama g up yg ini Thor?
2021-04-15
0