Tidak memiliki sikap sopan

Suara Koko ayam terdengar nyaring, bahkan menjelang pagi kedua mata Gibran tak juga terpejam.

Meski ia sangat ingin terlelap untuk mengusir lelah tapi apa daya, kedua matanya malah terbuka lebar.

Tangan kekar yang terdapat gambar abstark di lengan sebelah kanan ia gunakan untuk menutup mata agar bisa terpejam tapi nihil, tetap saja ia terjaga.

Belum lagi suara bising dari mulut Arta bagaikan radio kehilangan fungsi begitu berisik dan memekakkan telinga. Begitu pun tidak enak didengar.

Karna kesal, Gibran memukul wajah Arta dengan bantal dan menekan bantal itu supaya temannya bisa diam.

"Ya Tuhan, Gibran... bang kek bener ini anak. Udah numpang tidur di kamar gua, lu malah gangguin tidur nyenyak gua. Huh... bener-bener nih anak!!" Arta yang langsung terbangun tengah mengomel panjang lebar.

Kesal sekali dengan teman rese' nya itu.

"Makanya kalau tidur jangan berisik! suara dengkuran Lo kayak kaleng kerupuk. Gua juga nggak bisa tidur." Gibran malah berbalik memarahi Arta.

"Ye... terserah gua lah, kamar-kamar gua. Lu yang numpang harus terima aja. Dari pada lu tidur dijalan." sungut Arta.

"Udah ah, berisik!! sono tidur di ruang depan aja." Gibran mengusir Arta dengan melempar bantal didepan wajah Arta yang terbengong.

"Eh... setan, kagak salah lu nyuruh gua tidur di depan. Ini kamar gua, harusnya lu yang tidur di depan." Arta menolak dengan mulut yang masih mengomel. Sedangkan Gibran kembali merebahkan badannya diatas ranjang.

"Awas aja lu ganggu gua lagi. Gua angkat badan lu terus gua pindahin ke emperan toko." Arta mengancam. Tangannya tengah menepuk-nepuk bantal dan mulai merebahkan badannya kembali.

Sekitar jam 9 pagi, kedua pemuda itu baru menggeliatkan badannya. Keduanya sama-sama membalikkan badan dan hampir berpelukan.

"Ih.. jijay amat sih!! ngapain lu mau peluk-peluk gua?!" Gibran mengomel.

Arta menyengir kesal. "Siapa juga yang mau meluk lu, ih... ogah amat. Gua masih normal, Cintya gua lebih enak dipeluk. Lagian gua juga nggak doyan pisang makan pisang." sungut Arta.

"Terserah, gua mau ke kamar mandi." Gibran menapaki lantai dan berlalu keluar menuju kamar mandi yang terletak didekat dapur.

"Untung hari ini jam kuliah sore, jadi aman. Tidur lagi ah..." gumam Arta yang meraih guling dan memeluknya.

Beberapa saat telah selesai dengan kegiatan didalam kamar mandi, Gibran nampak segar sehabis mandi dengan rambut yang masih meneteskan bulir-bulir air mengenai kaos hitam yang dikenakan.

Ia berjalan menuju lemari pendingin untuk mengambil ponsel yang diletakan diatasnya.

"Lima kali panggilan dari Papa." gumamnya membaca tulisan dilayar ponsel.

"Ngapain hubungin segala." ucap Gibran masih kesal.

Baru melangkahkan kaki menuju ruang depan. Ponsel yang dipegangnya kembali bergetar. Ia mendesah. Ia sangat hapal nomor ayahnya meski tidak tersimpan dengan nama yang benar. Sebenci itu kah dia dengan ayahnya?!

Gibran memutar bola mata, sangat malas untuk menjawab telpon. Saat dibiarkan telinganya begitu gatal mendengar ponselnya terus berbunyi.

"Halo, apa sih?!" bukannya mengucap salam justru bertanya dengan nada yang tidak sopan.

Diujung telpon hanya terdengar helaan napas. "Kamu dimana Nak?" tanya Haidar dengan lembut.

Sebenarnya Haidar sering berkata lembut dan mengalah dengan sikap keras Gibran.

Meski putranya tidak pernah menanggapi dengan baik tapi tak bisa dipungkiri kasih sayang orang tua terhadap anaknya tidak bisa dihilangkan.

Gibran mendengus sebal mendengar ucapan lembut dari Papanya.

"Kenapa? apa perduli Papa?! bahkan kalau Gibran kelaparan, tidur di bawah jembatan Papa nggak akan perduli, kan?!" ucapan Gibran terdengar sengit.

"Gara-gara Papa bekuin ATM, Gibran nggak bisa akses apapun!"

"Papa lakuin itu supaya kamu diam dirumah, tapi tetap saja kamu pergi." jawab Haidar. Ia menahan diri agar tidak terpancing emosi.

"Jam satu pulang, Papa mau ngajak kamu jenguk Aisyah." tak ingin meladeni kekesalan putranya, Haidar memilih mengatakan tujuannya menelpon Gibran.

"Aisyah siapa?!" Gibran kebingungan. Ia sendiri tidak tau dan tidak menghapal nama perempuan yang kemarin ditabraknya.

"Perempuan yang kamu tabrak kemarin," jelas Haidar.

"Heh, perempuan sok suci itu?" bahkan didepan papanya Gibran tidak sungkan mencibir Aisyah sebagai wanita sok suci.

"Gibran...! jaga bicaramu, dia bukan perempuan sok suci. Ia perempuan sholehah. Kamu harus bisa membedakan." Haidar meluruskan.

"Alah sama aja. Gibran nggak mau. Papa saja yang urus semuanya. Atau suruh aja tuh si Affan yang ngurus."

"Astagfirullahaladzim," Haidar mengucap istighfar. Benar-benar harus ektra sabar menghadapi sikap Gibran.

"Po..." Haidar ingin melanjutkan ucapannya tapi sambungan itu telah diputus secara sepihak.

Haidar menghembuskan napas dan melemaskan badan untuk bersandar di kursi kebesarannya.

Di umur yang sudah tua ia masih memimpin perusahaan raksasa miliknya. Apa yang bisa diharapkan dari Gibran yang tidak mau belajar memimpin perusahaan.

"Tuan, apa perlu saya lacak keberadaan Tuan Muda dan membawanya pulang." Affan telah berdiri diseberang meja kerja yang terdapat tumpukan kertas.

"Jika melakukan itu Gibran semakin memberontak. Nanti saja jam istirahat kantor kita jemput ke rumah Arta." jawab Haidar.

"Baik Tuan." Affan menunduk sebentar sebelum keluar dari ruangan Haidar.

Tumpukan kertas yang perlu dibubuhi tanda tangannya harus terbengkalai, Haidar memijit kening karna kepalanya terasa pusing.

*****

Di ruang rawat Aisyah.

"Abi, jam berapa kita pulang?!" tanya Aisyah.

Abi Muhsin diam sejenak, sedikit kebingungan untuk memastikan kepulangan mereka.

"Kita tunggu pemberitahuan dari dokter," jawaban yang tidak meyakinkan.

Didalam hati Abi Muhsin sedang kebingungan, perekonomian yang pas-pasan membuatnya bingung untuk membiayai perawatan Aisyah. Saat ini pun ruang rawat Aisyah berada di ruang VVIP. Membutuhkan biaya yang berkali-kali lipat dari ruang biasa.

Aisyah menekuni wajah Abi Muhsin yang kentara jelas kegelisahannya.

Umi Siti hanya menunduk, ia pun tau kebingungan yang melanda suaminya. Tadi pagi telah berdiskusi untuk menjual mobil sedan yang sudah cukup tua untuk membiayai perawatan Aisyah. Dan sisanya akan disimpan jika sewaktu-waktu Aisyah harus kembali di rawat.

"Abi, di ATM Aisyah masih ada uang. Tolong Abi cairkan untuk membayar biaya rawat Ais." Aisyah menatap Abi nya dengan penuh harap.

"Tidak Ais, itu uang kamu, simpan saja. Abi ada uangnya untuk membayar biaya rumah sakit." Abi Muhsin menolak.

Kemarin sewaktu Gibran mendaftar ia belum melunasi biaya rumah sakit. Masih ada sisa tagihan yang harus dilunasi.

Dan pagi tadi perawat menemui Abi Muhsin untuk menagih pembayaran.

Sebenarnya pagi ini Aisyah sudah boleh pulang, namun harus ditahan karna belum melunasi biaya tagihan.

Meski Aisyah setiap hari datang ke rumah sakit itu tapi tidak bisa menjamin untuk dapat biaya gratis. Semua karna kesalah Gibran yang mendaftarkan Aisyah di ruang VVIP. Namun nyatanya sampai hari menjelang siang, pemuda itu tidak muncul sebagai bentuk pertanggungjawaban. Menghilang entah kemana.

Terpopuler

Comments

Sumi Sumi

Sumi Sumi

lanjut

2022-08-10

0

ꪶꫝNOVI HI

ꪶꫝNOVI HI

perlu kena azab ni Gibran

2021-09-28

0

Alista

Alista

lanjut
tetap semangat kak mei

2021-08-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!